JEMBER, Tugujatim.id – Dikenalnya Indonesia sebagai negara agraris tidak luput dari perekonomiannya yang sangat bergantung pada sektor pertanian. Sektor ini mengacu, mulai dari produksi hasil tanaman, peternakan, hingga berbagai kegiatan yang masih berkaitan.
Melansir dari berbagai sumber, setidaknya beberapa faktor menjadi alasan bangsa Indonesia disebut sebagai negara agraris. Mulai dari luasnya lahan pertanian, iklim tropis, ketergantungan penduduk, peran sektor ekonomi dalam pertanian, hingga produksi tanaman pangan.
Menyoroti hal itu, Aktivis Lingkungan di Jember Wahyu Giri lantas mempertanyakan kembali masihkah Indonesia negara agraris? Di tengah-tengah fakta memperlihatkan bahwa, bangsa Indonesia masih mendapatkan beberapa komoditas yang merupakan hasil dari sektor pertanian dengan cara impor.
Baca Juga: Wanita Lansia di Tuban Tewas di Halaman Rumahnya, Polisi Selidiki Penyebabnya
“Kita negara agraris tapi melihat fakta produk-produk agrarisnya impor semua, itu yang dilihat. Masih layakkah disebut agraris kalau semuanya itu kemudian impor,” ujar Wahyu Giri saat ditemui Tugujatim.id pada Minggu malam (29/09/2024).
Dia melihat, begitu luasnya lahan dan berbagai potensi penunjang pertanian yang dimiliki bangsa Indonesia, sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
“Urusannya, ini optimal tidak untuk kita bercocok tanam,” jelas Wahyu Giri.
Salah satu komoditas yang sampai saat ini diimpor Indonesia adalah beras. Beras-beras itu diimpor langsung dari Vietnam. Wahyu Giri menjelaskan, negara dengan julukan Negeri Naga Biru itu berguru ke Indonesia usai swasembada pangan pada 1984.
“Vietnam Thailand itu DAS (Daerah Aliran Sungai, Red)-nya dari Sungai Mekong, sedangkan Indonesia berapa DAS? Banyak sungai, kenapa tidak bisa menghasilkan beras banyak?” tanya Wahyu Giri.
Baca Juga: Top 3 Drama Korea CEO dengan Genre Romance Comedy yang Wajib Ditonton: Awas Gagal Move On!
Sedangkan di Kabupaten Jember sendiri, potensi pertanian untuk pangan, yakni penghasil beras, diiringi dengan masifnya pembangunan-pembangunan, seperti perumahan. Lantas, hal itu menimbulkan pertanyaan bagi Wahyu Giri, apakah pembangunan-pembangunan dilakukan di lahan subur atau tidak?
Selain itu, dia juga menyinggung terkait regulasi yang dibuat pemangku kebijakan pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember Tahun 2024-2044.
“Kemarin di RTRW kita kukuh minta yang disebut lahan pertanian pangan berkelanjutan itu terletak di mana, dia menyebutkan sekian berapa ribu gitu ada di RTRW, tapi di mana itu, jadi kita minta ini benar-benar riil bukan hanya sekadar ada di undang-undang,” jelas Wahyu Giri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: Diki Febrianto
Editor: Dwi Lindawati