SURABAYA, Tugujatim.id – “Cuaca” pendidikan tampak murung. Lantaran, pandemi Covid-19 sudah berjalan setahun, selama itu pula pembelajaran jarak jauh (PJJ) diberlakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim melalui Surat Nomor 2 Tahun 2020 mengenai Pencegahan dan Penanganan Covid-19 di Lingkungan Kemendikbud serta Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada Satuan Pendidikan, terhitung 3 minggu, mulai 16 Maret-9 April 2020.
Tapi, penerapan PJJ bukan tanpa persoalan. Justru banyak kendala dan hambatan yang ditemukan di lapangan selama penerapannya. Dari pihak pembuat kebijakan, pendidik, siswa, wali siswa, hingga mahasiswa tampak “kaget” dan kelimpungan, belum terbiasa dengan keterlibatan teknologi komunikasi virtual semacam Google Meet, Zoom Cloud Meeting, Skype, atau sejenis e-learning tertentu untuk menjalankan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Hiruk-pikuk hambatan penerapan PJJ yang ditemukan di lapangan seperti minimnya kompetensi pendidik, siswa, dan wali siswa dalam mengoperasikan teknologi, kendala jaringan internet yang menghambat kelancaran kegiatan belajar mengajar, terbatasnya anggaran paket data yang dimiliki siswa, efektivitas ilmu yang disampaikan pendidik ke peserta didik, hingga kurangnya pengawasan terhadap perkembangan peserta didik. Sehingga, dampak yang timbul yakni kenakalan remaja di beberapa wilayah.
Mengingat, beragam kendala itu tidak hanya dirasakan siswa pada umumnya, tapi di sekolah luar biasa (SLB) dan beberapa sekolah yang menerapkan program inklusi, dengan peserta didik dari siswa disabilitas atau berkebutuhan khusus juga terkena dampak dari PJJ. Terlebih, ada beberapa siswa berkebutuhan khusus yang tidak dapat menjalankan terapi untuk mengoptimalkan kompetensi belajarnya akibat tidak dapat bertemu pendidik secara langsung.
Sekolah Inklusi dan Cuaca Belajar Daring di Masa Pandemi Covid-19
Seperti yang disampaikan Normalia SPsi MPd selaku Koordinator Program Inklusi Sekolah Peduli Anak Hebat (SPAH) SMA Muhammadiyah 10 (SMAM X) Surabaya. Dia mengatakan, memang telah ada larangan dari pemerintah untuk menjalankan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah menyikapi pandemi Covid-19.
Saat itu, semua sekolah inklusi dan reguler dirumahkan. Begitu pula pendidiknya, diberlakukan kegiatan work from home (WFH). Setelah berjalan sekian bulan, lantas diberi sedikit kelonggaran untuk menjalankan work from office (WFO) yang tentunya jumlah pendidik yang datang ke sekolah juga dibatasi.
“Untuk sekolah reguler dan inklusi, pada awal pandemi memang dari pemerintah melarang kegiatan tatap muka sehingga semua kegiatan dilaksanakan daring. Yang awalnya guru tidak boleh masuk (WFH), kemudian beberapa bulan ini sudah bisa work from office,” terangnya pada Tugu Jatim melalui daring Rabu (19/05/2021).
Seiring berjalannya waktu, tatkala pandemi Covid-19 sedang melandai, uji coba pembelajaran sekolah berlanjut, yang sebelumnya sekadar memakai daring atau PJJ, lantas dielaborasi SMAM X dengan kegiatan belajar mengajar secara luring atau tatap muka. Uji coba pembelajaran itu berlaku untuk siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus.
Normalia menegaskan, pada Desember 2020, SMAM X mulai menerapkan konsep pembelajaran “mix” atau campuran, yakni memakai daring dan luring. Tentu, sebelum menjalankan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka, perlu persetujuan terlebih dahulu dari masing-masing wali siswa.
“Sejak akhir tahun lalu, Desember 2020, uji coba berlanjut sampai semester 2. Sudah ada mix (perpaduan, red) antara luring dan daring. Atas izin orang tua, siswa tak terbatas dan siswa reguler yang diperbolehkan masuk akan masuk dengan diatur waktu dan jumlah siswanya. Sehingga tidak terjadi kerumunan dalam jumlah besar,” bebernya.
Sedangkan teknologi yang dipakai untuk membantu PJJ saat pandemi Covid-19 ini, Normalia menegaskan, pentingnya aplikasi belajar “online”, video rapat dan laman resmi blog yang disusun SMAM X. Kendati terasa tidak mudah di awal penerapan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
“Kami juga memanfaatkan e-learning, YouTube, Zoom Cloud Meeting, Video Call, laman blog untuk memberi informasi pembelajaran secara daring. Nah, karena kami ini unik ya, ‘sekolah keberbakatan’, jadi esensi sekolah itu terdapat komunitas (pengembangan bakat, red) yang jumlahnya sekitar 60. Banyak sekali komunitas kami,” jelasnya.
“Project Festival”, Cara SMAM X Menjalankan Ujian Tengah Semester di Era Pandemi Covid-19
Saat berbincang, Tugu Jatim menemukan hal menarik dari SMAM X, Normalia menyampaikan, untuk mengembangkan kreativitas, potensi, bakat dan minat siswa, ujian tengah semester (UTS) dikonsep menjadi “project festival”. Yakni, siswa berkebutuhan khusus (siswa tak terbatas) dan siswa reguler diminta membuat “project” yang nantinya dapat menjadi konten pameran.
“Kemudian untuk hal lain, selama daring, adanya ‘project festival’. Kalau di sekolah kami, ujian tengah semesternya bukan mengerjakan soal, tapi siswa baik yang inklusi atau reguler, diminta membuat satu ‘project’ yang nanti ada rumpun dari beberapa mapel,” ucapnya.
Normalia menyebut, jenis-jenis “project” itu seperti membuat majalah dinding (mading) 3 dimensi hingga hand craft berupa gerobak makanan. Pembuatan miniatur juga dipakai siswa tak terbatas dan siswa reguler menjadi konten pameran.
“Ada yang bikin ‘project’ mading 3 dimensi, ada yang buat gerobak makanan. Ada juga yang buat miniatur dan sebagainya, ‘project’ itu dipamerkan pada kelas internasional yang terletak di BG Junction Mall. Jadi, kami menggunakan mal untuk pameran ‘project’ itu,” ungkapnya.
Selain itu, ada lagi yang menarik. Normalia menyampaikan bahwa SMAM X punya panggilan tersendiri untuk siswa berkebutuhan khusus, yakni memakai istilah “siswa tak terbatas” dan “siswa peduli anak hebat” (SPAH).
“Termasuk siswa kami yang SPAH (siswa peduli anak hebat, red). Nah, itu juga sama untuk siswa berkebutuhan khusus, targetnya disesuaikan dari anak-anak, mendapat bimbingan dari GBK (guru pendidik khusus, red),” jelasnya.
Siswa Peduli Anak Hebat (SPAH)
SPAH sendiri merupakan grup yang berisi 65 siswa tak terbatas. Normalia menjelaskan, SPAH sudah terdaftar secara resmi di Dinas Pendidikan Jawa Timur pada 2017 sebagai upaya merapikan manajemen.
“SPAH terdaftar resmi di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur sejak 2017. Sebelum 2017 sudah menerima siswa, kami lebih menata manajemen pada 2017. Kami punya tim berjumlah 9 orang, total 10 orang sama saya sebagai koordinatornya,” terangnya.
Ada dua divisi, Normalia menjelaskan, divisi terapi untuk guru jurusan pendidikan luar biasa (PLB) untuk menangani kasus-kasus atau disabilitas kategori reterdasi mental atau tambahan gangguan khusus seperti “autism” dan “celebralpalsy” yang akan memperoleh terapi.
“Lalu, ada juga divisi psikologi, untuk gurunya lulusan psikologi, mendampingi anak-anak dengan hambatan intelektual saja. Reterdasi mental ringan, ‘slow learner’, ‘border line’ tanpa ada gangguan khusus. Jadi, pengembangan potensi dan emosi mereka ditingkatkan,” imbuhnya.
Normalia menjelaskan, Kepala SMAM X menekankan konsep bahwa menerima siswa dalam kondisi apa pun itu menjadi bagian dari amanah program inklusi.
“Di sekolah kami, ada 65 siswa berkebutuhan khusus, semua ada, dari intelegensi normal, hambatan ringan, sedang, dan berat juga ada dengan beragam jenis. ‘Low hearing’, ADHD, yang belum ada tuna netra,” jelasnya.
Ragam kemampuan ini, Normalia membeberkan, menjadi tantangan program inklusi di SMAM X. Pihaknya menyebut dengan istilah “siswa tak terbatas”, “siswa hebat”, dengan beragam kemampuan yang dimiliki SMAM X, imbuh Normalia, program SPAH mempunyai pemetaan dan assessment, dimasukkan dalam klasifikasi.
“Membahas soal klasifikasi, ada 2 macam, yakni ‘full inclusive class’ untuk kelompok siswa yang masih mampu mengikuti kurikulum SMA. Sedangkan berikutnya, ‘integrated class’ untuk siswa dari hasil assessment tersebut tampak kesulitan untuk mengikuti kurikulum SMA karena kategori sedang atau berat,” ujarnya.