SURABAYA, Tugujatim.id – Membahas Perpustakaan Medayu Agung Surabaya dan juga sang pendirinya Oei Hiem Hwie, tak akan lengkap jika tidak membahas jajaran koleksinya.
Hwie memiliki banyak koleksi mulai dari naskah cetak pertama ‘Mein Kampf’ yang ditulis Adolf Hitler, buku hadiah perkawinan Hwie yang diberi oleh Adam Malik, buku-buku Soekarno, sampai naskah asli ‘Tetralogi Pulau Buru’ milik Pramoedya Ananta Toer yang sengaja diberikan pada Oei Hiem Hwie untuk dijaga.
“Saat itu saya dan Pram (panggilan Pramoedya Ananta Toer, red) ditahan di Pulau Buru. Karena kami dianggap Soekarnois. Di sana kepala Pram sempat dipukul, sampai membuat dia sedikit susah mendengar. Pram selalu menjadikan saya teman diskusi saat ia menulis ‘Tetralogi Pulau Buru’ itu,” cerita Hwie pada Tugu Jatim sembari menyimak dengan baik, Selasa (19/01/2021), pukul 10.45 WIB.
Hwie mengajak Tugu Jatim untuk melihat etalase yang berisi naskah asli ‘Tetralogi Pulau Buru’ milik Pramoedya Ananta Toer. Tampak tulisan latin di kertas tua itu, berwana cokelat dan sepertinya sudah agak rapuh. Jadi perlu hati-hati saat memegangnya. Tetralogi Pulau Buru terdiri dari empat buku Pram yang berjudul ‘Bumi Manusia’, ‘Anak Semua Bangsa’, ‘Jejak Langkah’ dan ‘Rumah Kaca’.
“Kamu tahu artinya ‘Bumi Manusia?” tanya Hwie pada Tugu Jatim yang kemudian menyatakan tidak.
“Jadi, Bumi Manusia itu diperoleh dari pemahaman bahwa semua dari kita ini adalah manusia yang menempati bumi, tanpa ada ketidakadilan (pandangan diskriminasi, red) pada ras, suku, agama, antar golongan. Entah itu orang Eropa atau Pribumi, semua sama-sama manusia yang tinggal di bumi,” jelas pria kelahiran Malang, 28 November 1938, tersebut.
Oei Hiem Hwie dan Pramoedya Ananta Toer sempat dipenjara di Pulau Buru bersama 4.288 orang lainnya. Hwie dibebaskan tahun 1978, sedangkan Pram dipulangkan pada 1979. Selisih setahun. Setelah keduanya bebas, mereka bertemu di Jakarta sembari membahas soal Tetralogi Buru yang ditulis Pram saat ada di tahanan. Perjuangan Hwie dan Pram untuk menyelamatkan naskah itu memang luar biasa.
“Dulu saat di tahanan, setiap Pram selesai menulis naskahnya. Itu disembunyikan di bawah tanah. Jadi tanah ini digali sedikit, sampai semua naskah itu masuk. Kemudian ditutupi oleh semen (ukuran balok kecil sekitar 30 cm x 20 cm, red) yang sudah dibentuk mirip penutup ‘septic tank’. Jadi saat ada yang memeriksa, mereka tidak tahu kalau bukunya ada di dalam situ, justru tempat itu dikira ‘septic tank’ hahaha,” ungkap mantan wartawan Terompet Masyarakat, media ternama di Surabaya saat era 1930-an.
Dulu saat akan diterbitkan, naskah asli Tetralogi Pulau Buru sengaja diberikan ke Oei Hiem Hwie, sedangkan Pramoedya Ananta Toer hanya membawa fotokopi naskah saja. Agar saat digeledah dan ditangkap, yang dirampas hanya naskah fotokopi saja, bukan naskah aslinya.
“Dulu memang sengaja diberikan ke saya, agar bisa disimpan. Pram hanya membawa fotokopi naskah saja, agar saat ditangkap, naskah aslinya masih selamat. Hingga menjadi salah satu koleksi di Perpustakaan Medayu Agung Surabaya saat ini. Tidak lain untuk generasi muda, agar bisa belajar sejarah dan mengenal sejarah, karena sejarah itu penting,” jelas Hwie pada Tugu Jatim yang begitu antusias bercerita mengenai kisahnya bersama Pram, Selasa (19/01/2021), pukul 10.50 WIB.
Selain itu, Oei Hiem Hwie juga bercerita pada Tugu Jatim mengenai arti dari 3 judul buku Pram lainnya, yaitu Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Semua judul itu ternyata memiliki arti yang luar biasa, entah sudah diketahui oleh khalayak pembaca karya Pram atau belum.
“Jadi, kalau ‘Anak Semua Bangsa’, di Indonesia ini ada beragam suku dan etnis, jadi walau kita semua berbeda, dari keturunan dan daerah yang berbeda, kita semua tetap satu bangsa. Itulah mengapa diberi judul ‘Anak Semua Bangsa’. Kalau ‘Jejak Langkah’, perjalanan sejarah pasti bisa ditelusuri ke belakang untuk tahu apakah sejarah/seseorang itu baik atau tidak. Sedang untuk ‘Rumah Kaca’, kaca kan bening dan tembus pandang, artinya kita bisa melihat segala sesuatu, baik dan buruk seseorang secara jelas,” jelas Hwie pada Tugu Jatim sambil duduk di sofa.
Sampai saat ini, Bumi Manusia milik Pram sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing. Sudah dicetak ulang berkali-kali, bahkan sampai diterbitkan ke layar lebar dengan judul yang sama, yaitu ‘Bumi Manusia’ tahun 2019, disutradarai Hanung Bramantyo. Semua itu, tidak lain berkat jasa dan kemuliaan sosok Oei Hiem Hwie yang bersikeras melindungi naskah asli ‘Tetralogi Pulau Buru’ hingga berhasil disebarluaskan hingga saat ini.
Setelah selesai berkeliling Perpustakaan Medayu Agung, melihat semua koleksi yang dimiliki Hwie, Tugu Jatim berpikir bahwa perpustakaan ini merupakan pengarsip luar biasa mengenai sejarah Belanda, Jepang, Indonesia, dan berbagai situasi dunia saat itu, yang tidak pernah dimiliki naskahnya oleh perpustakaan lain. Tugu Jatim pamit pulang, sembari swafoto berdua dengan Oei Hiem Hwie. (Rangga Aji/gg)
Mengenal Oei Him Hwie, Pendiri Perpustakaan Medayu Agung dan Penyelamat Naskah Sejarah