“Ya Allah… Balikin lagi saya ke Masjid Salman,” Muhammad Kamal Muzakki berdoa di surau saat sedang magang kuliah di perusahaan batu bara.
Tugujatim.id – Kamal Muzakki kecil hidup di lingkungan pesantren di Kajen. Kesehariannya, putra pasangan Ahmad Farhan Rifai-Nurul Mauludah itu biasa mengaji dari pondok ke pondok, sekitar tempat tinggalnya.
Sejumlah kitab klasik Kamal Muzakki pelajari dari guru-guru di berbagai pondok di Kajen. Meski kata Kamal, dirinya tidak seperti santri pada umumnya yang menginap di pondok.
“Rumah saya kan dekat, jadi ngajinya itu ya tidak nginap. Hari ini ngaji di pondok A, besoknya di pondok B. Santri kalong,” ujarnya mengawali cerita kepada wartawan tugujatim.id, Selasa (17/10/2023).
Bagi Kamal Muzakki, belajar ilmu agama merupakan kewajiban. Maka Kamal sangat bersyukur bisa hidup di lingkungan yang menurutnya, masyarakatnya secara umum berdampingan di pesantren.
“Saya itu bahkan merasa terasing saat masuk SMAN 1 Pati. Teman-teman saya di Kajen libur Jumat, saya libur Ahad sendiri,” terangnya, sembari tertawa.
Namun di sekolah yang menurutnya favorit saat itu, Kamal mulai aktif berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Apalagi lanjut Kamal, dirinya merupakan satu-satunya siswa di angkatan itu yang berasal dari Kajen.
Kamal pun aktif di kegiatan Rohani Islam (Rohis), Paskibraka, Pramuka, dan lain-lainnya. Tidak hanya itu, di sekolah menengah tersebut Kamal terus aktif di berbagai organisasi. Termasuk menjadi pengurus Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Keaktifan Kamal di berbagai organisasi dan lembaga, tidak membuatnya memiliki niat yang kuat untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi favorit.
“Waktu lulusan itu, semua teman-teman Rohis diterima di kampus keren. Ada yang di UI. Nah, saya mikir, mau ke mana ya? Ke Bandung sajalah,” kata pria kelahiran Rembang tersebut.
Institut Teknologi Bandung (ITB) menurutnya kampus favorit, yang menurut Kamal, saat itu tidak ada banyak mahasiswa dari Kajen, lingkungan tempat tinggalnya.
“Biar beda kali, ya…,” imbuhnya.
Pria kelahiran 1990 tersebut kemudian meminta restu orang tuanya untuk pergi ke Bandung. Kamal ingin kuliah di Bandung, meski saat itu, dirinya tidak punya banyak informasi tentang ITB.
Di Bandung, Kamal pun mengikuti bimbingan belajar masuk ITB. Namun saat itu, skor bimbel Kamal tidak naik-naik. Namun Kamal tetap optimistis, bisa kuliah di ITB.
Lanjut bercerita, Kamal jalan-jalan lihat kampus ITB. Nah, saat masuk waktu Duhur, Kamal tidak menemukan masjid. Setelah tanya-tanya, ternyata ketemulah masjid tanpa kubah.
“Saya salat Duhur ya, setelah salat saya mendengar suara-suara menggema seperti kerumunan lebah. Itu suara orang-orang pada ngaji. Saat itu saya betul-betul kagum, ternyata di kampus ITB, aktivitasnya begitu (mengaji) luar biasa. Saya langsung berdoa. Ya Allah, saya mantapkan untuk bisa kuliah di sini supaya bisa zikir dan mengaji sama mereka di sini,” tuturnya.
Kamal meyakini, dirinya diterima di Jurusan Biologi Fakultas Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB 2008, berkat doa tersebut. Kamal pun mulai mendekatkan diri dengan Masjid Salman yang merupakan masjid kampus Indonesia pertama.
“Masjid Salman ini keren. Dibangun susah payah, bahkan perlu restu Presiden Soekarno. Jadi yang merestui sekaligus jadi pengampu pembagunannya ya Presiden Soekarno,” lanjutnya.
Di Masjid Salman, Kamal sudah memupuk cinta sejak pertama kali berjumpa. Pada prosesnya pun, Kamal aktif di berbagai kegiatan Masjid Salman, sama aktifnya seperti Kamal saat sekolah menengah.
Pada 2008 itu, Kamal langsung tergabung di Panitia Qurban Masjid Salman. Menurutnya, di masa-masa awal kuliah itu, menjadi panitia kegiatan di Masjid Salman baginya sebuah prestasi.
Keaktifan dan keuletan Kamal pun berbuah kepercayaan lebih dari ITB. Kamal menjadi Ketua Panitia Ramadhan Masjid Salman pada 2010. Menurutnya, kegiatan ramadhan Masjid Salman merupakan kegiatan bergengsi, yang dikenal oleh banyak warga kampus ITB. Begitu pula menjadi ketua panitia, bagi Kamal adalah suatu kebanggaan.
“Jadi Ketua Ramadhan itu saya dimentorin Ibu Fenny Mustafa yang waktu beliau sebagai Ketua Rumah Amal Salman. Saya pun diminta cari-cari sponsor, alhamdulillah sekian dana bisa terkumpul. Jadi setiap hari kami bisa siapkan nasi bungkus untuk warga kampus berbuka di Masjid Salman,” ujarnya.
Keaktifan Kamal di berbagai organisasi dan lembaga di ITB, termasuk di Masjid Salman, membuatnya merasa tidak betul-betul kuliah di kelas. Bahkan pernah menurutnya, dirinya merasa tidak bermakna di ruang kelas.
“Pernah pas kuliah itu saya tidur di kelas karena capek. Tiba-tiba kelas sudah selesai, saya bangun,” kata Kamal yang pernah dapat IPK 2,4 di salah satu semester.
Apalagi saat aktivitasnya sudah disibukkan dengan tugas akhir, Kamal seolah mengurangi kegiatan organisasi di Masjid Salman. Seperti saat dirinya magang di kebun kelapa sawit grup perusahaan di Pangkalan Bun selama 3 bulan. Begitu juga saat magang tugas akhir di perusahaan batu bara.
Kamal merasa dipertemukan dengan lingkungan praktik-praktik yang tidak cocok dengan nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Kamal melihat dan merasakan perilaku-perilaku culas yang merugikan manusia dan alam.
“Ya Allah… Balikin lagi saya ke Masjid Salman,” Kamal berdoa di surau saat sedang magang kuliah di perusahaan batu bara.
Selesai magang, Kamal kembali ke kampus dan lulus kuliah dengan waktu 4,5 tahun. Baginya bukan masalah, karena Kamal mengakui, keaktifan mahasiswa di sebuah organisasi juga banyak menguras energi dan pikiran.
Namun telat lulus kuliah, menurut Kamal, tidak perlu ditiru mahasiswa lainnya. Kegiatan yang luar biasa banyaknya menurutnya, bagaimana bisa diseimbangkan dengan keaktifan perkuliahan di kelas.
“Ya saya lulus juga nggak masuk perusahaan. Saya kerja jualan frozen food. Karena memang ingin jadi pengusaha waktu itu, saat kuliah juga jualan bandeng presto dan lain-lain buat bantu kebutuhan keuangan pas kuliah,” jelasnya.
Namun apa yang diperbuat Kamal di Masjid Salman, tidak sia-sia. Pada Agustus 2013, Kamal dihubungi kembali oleh mentornya saat menjadi Ketua Ramadhan Masjid Salman dulu, Fenny Mustafa.
“Saya dihubungi sama mentor saya yang keren itu, Bu Fenny. Saya diminta jadi Direktur Rumah Amal Salman,” lanjutnya.
Mungkin bagi Kamal, doanya untuk kembali beraktivitas di Masjid Salman saat magang di surau perusahaan batu bara, betul-betul terjawab. Di umurnya yang saat itu 23 tahun, Kamal menjadi Direktur Rumah Amal Salman.
Rasa syukur dan bahagia yang dirasakan Kamal saat itu. Namun, dirinya juga memikirkan bagaimana Rumah Amal Salman bisa terus berkembang.
Selama 3 tahun memimpin, atau satu periode, Kamal melakukan eksplorasi dan penataan sistem. Namun data-data kemudian menunjukkan, ada laporan keuangan yang tidak seimbang, tidak sesuai.
“Ternyata memang sudah lama itu terjadi, saya pun hanya punya niat untuk tanggung jawab, bagaimana bisa menyelesaikan masalah itu hingga tuntas. Rumah Amal Salman pun terus berkembang,” tambahnya.
Apalagi pada medio 2015, Kamal menikah dengan Nur Afida Fauziyah yang merupakan putri dari Direktur Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB, Fatchul Umam.
“Ceritanya kan lucu. Saya mengadu ke Pak Fatchul, ingin menikah tapi tidak punya calon. Lalu beliau bilang, akan segera mengabarkan saya kalau ketemu calonnya,” ingat Kamal tentang proses pencarian pendamping hidup tersebut.
Sebulan kemudian, Kamal ditanya Fatchul, terkait pencarian pendamping hidup tersebut.
“Pak Fatchul tanya, kalau calonnya bukan NU gimana? Saya jawab tidak apa-apa, saya mau persatukan umat dimulai dari keluarga,” tuturnya sambil tertawa.
Tak lama kemudian Kamal diminta ikut makan malam di Warung Ampera. Fatchul saat itu ternyata juga mengajak calon istri Kamal, yang tak lain adalah putri Fatchul.
“Dalam hati saya langsung bilang. Cocok,” ungkap Kamal menceritakan proses pencarian pendamping hidupnya.
Dengan begitu, Kamal seolah tidak bisa jauh dari Masjid Salman. Aktivitas kerja, pendamping hidupnya, semua berkaitan dengan Masjid Salman.
Kamal pun harus melanjutkan periode kepemimpinannya untuk yang kedua. Masalah-masalah manajemen dan keuangan menurutnya bisa terbilang tuntas menginjak tahun keenam kepemimpinannya, dan aktivitas Rumah Amal Salman pun berkembang.
“Ya namanya masalah kan ada saja. Waktu sudah klir itu, ada double kepemimpinan (divisi zakat dan divisi wakaf). Saya rasa saat itu, sudah saatnya saya keluar dari Rumah Amal Salman,” begitu niat Kamal.
Tapi, perkembangan Rumah Amal Salman yang bisa dibilang pesat saat itu, membuat Kamal tidak dibolehkan oleh anggota. Dirinya tetap diminta untuk bertahan sebagai pimpinan di lembaga tersebut.
Pada 2019, Kamal bertemu dengan salah satu donatur Rumah Amal Salman, Salman Subakat dan ibunya yang merupakan Founder PT Paragon Technology and Innovation. Bincang-bincang dengan tokoh pengusaha hebat tersebut, Kamal diminta untuk melanjutkan studi magister di ITB.
“Saya kagum pas ketemu Pak Salman dan Bu Nur. Kok ada ya pengusaha yang begitu hebatnya, bukan karena saya dikuliahkan, tapi karena beliau giat berdonasi sepanjang waktu, dan jumlahnya juga luar biasa,” terang Kamal.
Akhirnya Kamal pun mantap untuk tetap bertahan di Rumah Amal Salman. Kuliah lagi di ITB, yang merupakan rumah kedua Kamal. Kerja di ITB, keluarga juga dari kalangan ITB.
Banyak prestasi yang tercatat pada periode tersebut. Seperti peningkatan kesejahteraan para amil, peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya amil, kenaikan setoran donasi tahunan dari Rp4 miliar menjadi Rp24 miliar (naik 600 persen), dan distribusi zakat ke berbagai sektor penting.
“Bagi saya yang juga penting adalah mensejahterakan amil (zakat). Dari situ akan ada semangat untuk mensejahterakan orang lain,” kata Kamal.
Padahal, dia melanjutkan, tidak mudah untuk merekrut amil zakat saat itu. Mungkin bagian itu kata dia, bukan sebuah aktivitas yang keren di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Padahal, di lembaga tersebut menurut Kamal, dirinya merasa seperti belajar mengelola pemerintahan, mengelola APBN.
Kamal pun terus memimpin Rumah Amal Salman hingga 3 periode atau hingga 2022. Dan saat ini terang Kamal, Rumah Amal Salman sudah banyak diisi oleh alumni ITB.
Saat ini, Kamal dipercaya CEO NSEI (Nurhayati Subakat Entrepreneurship Institute) Salman Subakat untuk ikut mengembangkan institusi tersebut. Kamal memimpin Entrepreneurship and Leadership Factory NSEI.
Sebagai kepala keluarga, Kamal dan pasangannya, Nur Afida Fauziyah, dikaruniai dua orang anak. Yaitu Sanabila Mahira dan Maher Ahmad Muzakki.
“Nama Muzakki bagi saya itu anugerah, saya bisa mencintai kegiatan berzakat. Meskipun orang tua saya sebenarnya memberi nama itu terinspirasi dari teman bapak saya saat kuliah di UIN Surabaya, Prof Muzakki (saat ini Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya),” ujarnya.
Writer: Fajrus Sidiq
Editor: Dwi Lindawati