Oleh: Abd. Aziz, Ketua Umum Konsorsium Alumni Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (KAUM-PTKIN) Se-Indonesia
Tugujatim.id – Pasca membincang isu kebangsaan bersama Ketua PWNU Jatim, Kiai Marzuki Mustamar di Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek, Karangbesuki, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat malam (09/07/2021) berbicara terkait pemimpin yang tidak elitis.
Esensi kepemimpinan adalah seni memengaruhi, mengarahkan, memotivasi, dan mengawasi orang lain demi tercapainya misi yang dicanangkan dan terwujudnya visi yang diimpikan. Salah satu karakter pemimpin masa depan adalah menyatu dengan masyarakat, merakyat.
“Sejatinya pemimpin tidak elitis. Karena dia membawahi umat. Masyarakat butuh sosok sederhana, rendah hati, dekat dengan rakyat. Dengan demikian, kehadirannya kerap dinanti dan dirindukan,” kata kiai yang tak canggung makan bersama santri ini.
“Pemimpin itu harus benar-benar dianggap ada. Bukan sebaliknya. Wujuduhu kaadamihi, adanya sama dengan tidak ada,” tambah tokoh asal Blitar ini.
“Benar, Kiai. Saat ini tak sedikit pemimpin yang istilah saya, melangit. Duduk manis di singgasana. Jarang turun gunung,” respons penulis pelan.
“Tak saja eksistensinya yang diragukan . Gaya tutur pun sulit dipahami orang awam, kebanyakan. Sehingga, apa yang disampaikan tak ada atsar-nya, jauh dari ke-berbekasan. Pemimpin seperti ini, sekadar dianggap ada. Tak lebih,” timpal penulis.
“Masyarakat harus dibimbing. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Selain itu, beri contoh yang baik agar ada kesediaan untuk mencontoh. Persoalan bangsa ini tak lain krisis keteladanan,” tandas kiai karismatik ini.
“Contoh yang paling efektif adalah datang dari seorang pemimpin. Jika sudah demikian, akan lahir pemimpin yang berwibawa,” urai kiai yang cukup bisa berbahasa Madura ini.
“Setuju. Wibawa seorang pemimpin bukan karena serta merta tampil wibawa. Seperti, mematut-matutkan diri dan atau memantas-mantaskan diri sebagai pemimpin yang layak dihormati dan disegani. Merasa penting dan cenderung minta dilayani,” koreksi penulis pada fenomena pemimpin masa sekarang.
“Pada dasarnya, pemimpin semacam itu tergolong sakit! Tentu bukan soal fisik. Tapi cara berpikir, bersikap, dan berbuat (yang) jauh dari kepantasan dan kepatutan untuk dihormati,” kritik penulis meyakinkan.
Tak terasa, jarum jam menunjukkan pukul dua puluh satu lewat sepuluh menit. Sedangkan teh panas tinggal tegukan terakhir. Kolega penulis, yang legislator Bangkalan, Nur Hasan (NH) memberi isyarat bahwa dia akan langsung bertolak ke Madura.
Akhirnya, diskusi tentang pemimpin dan kepemimpinan ini pun terpaksa disudahi. Selain bersama Sekjen KAUM-PTKIN, NH., sahabat asal Kediri, M. Lutfi Khoirudin, penulis ajak berpamitan dan bergegas.
Terima kasih atas sambutan dan jamuan malamnya, Kiai. Semoga Panjenengan selalu dianugerahi kesehatan yang prima, senantiasa dalam lindungan Allah SWT.