Tugujatim.id – Penyebab Garuda Indonesia bangkrut menjadi topik yang hangat dibicarakan. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah dinyatakan bangkrut secara teknis, namun secara legal, perusahaan yang berdiri sejak sejak 1949 ini belum bisa dinyatakan bangkrut.
Hal itu diungkap Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara, Kartika Wirjoatmojo. Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat maskapai pelat merah tersebut mengalami kebangkrutan.
Dia mengatakan bahwa saat ini liabilitas atau utang Garuda Indonesia totalnya mencapai US$ 9,75 miliar atau setara Rp 138,45 triliun (kurs Rp 14.200). Sementara aset Garuda Indonesia saat ini hanya US$ 6,92 miliar.
Adapun ekuitas atau modal Garuda tercatat minus US$ 2,8 miliar atau setara Rp 39,7 miliar. Modal Garuda yang negatif ini bahkan mengalahkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Dia menjelaskan, liabilitas Garuda Indonesia mayoritas berasal dari utang kepada lessor yang nilainya mencapai 6,35 miliar dollar AS. Selebihnya ada utang ke bank sekitar 967 juta dollar AS, dan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar 630 juta dollar AS.
“Jadi memang utang ke lessor paling besar, 6,35 miliar dollar AS. Ada komponen jangka panjang dan komponen tidak terbayar dalam jangka pendek. Tentunya dengan kondisi seperti ini, mengalami ekuitas negatif,” katanya.
Bahkan dia mengatakan bahwa biaya sewa pesawat Garuda memang lebih mahal, yaitu 4 kali lipat lebih tinggi dari rata-rata. Ini salah satu penyebab Garuda Indonesia bangkrut.
“Dan ini juga menyebabkan kontrak-kontrak dengan lessor Garuda ini cukup tinggi dibandingkan dengan airline-airline lain. Bahkan, data dari Bloomberg menyampaikan bahwa kalau kita bandingkan rental cost dibandingkan revenuenya Garuda masuk yang terbesar. Aircraft rental cost dibagi revenue mencapai 24,7%, empat kalilipat dari global average,” terangnya.
Penyebab lain yang membuat Garuda kesulitan terbang dengan normal, yaitu karena banyaknya rute penerbangan yang menjadi penyebab Garuda Indonesia bangkrut. Sebelumnya, Garuda memiliki 437 rute dan akan dikurangi menjadi 140 rute.
“Ini jadi tantangan karena mungkin akan banyak airport yang akan mengalami kelangkaan jumlah flight karena rutenya akan kita kurang signifikan karena rutenya fokus kepada rute yang menghasilkan positif margin,” kata Kartika.