BATU, Tugujatim.id – Sejumlah pihak menilai lamban proses penanganan kasus SMA SPI di Kota Batu. Pasalnya, dari sejumlah perkara yang dilaporkan masih belum ada kejelasan.
Beberapa pihak tidak bisa berbuat apa-apa karena terkendala oleh regulasi yang mana SMA SPI bernaung di bawah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Inilah yang membuat Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Batu dan DPRD Kota Batu hanya bisa geleng-geleng kepala.
Sebelumnya, pemiliknya JEP dilaporkan atas dugaan praktik pelecehan seksual. Kasusnya saat ini masih mandek di tangan Polda Jatim. Terbaru, pengelola asrama, Akhmad Akhiyat dipolisikan atas dugaan tindak kekerasan fisik terhadap murid-murid di sana yang rata-rata adalah yatim piatu.
Ketua LPA Kota Batu, Fuad Dwiyono, mendesak agar seluruh pihak, terutama Dinas Pendidikan Provinsi Jatim untuk bergerak mengawal kasus ini. Apalagi menyangkut hak-hak anak yatim. Sampai hari ini, aku Fuad, dirinya tidak melihat keterlibatan mereka sama sekali.
”Itu kan kewajiban mereka, karena SPI ada di bawah naungan mereka. Terus terang ini bukan sekolah, itu hanya kamuflase, sebagai tameng untuk melindungi kebutuhan pribadi atau kelompok,” jelas Fuad, usai hearing dengan DPRD Kota Batu, Selasa (23/11/2021).
Hasil hearing, lanjut Fuad, diusulkan pembentukan tim investigasi independen di Kota Batu yang mana di dalamnya terdiri dari eksekutif, legislatif dan juga elemen masyarakat. Fuad berharap usulan itu tidak hanya jadi wacana.
”Kami mendesak agar pihak legislatif dan eksekutif ikut turun tangan dalam kasus ini. Tak hanya secara hukum, tapi juga ikut mengawal hak dasar pendidikan, keamanan hingga pendampingan trauma healing bagi korban,” tegasnya.
Terbaru, laporan terkait dugaan tindak kekerasan yang dilakukan pengelola asrama sepekan lalu kini juga masih di tahap pemanggilan saksi korban dari pihak SPI. Senin (22/11/2021), kata Fuad, Polres Batu memanggil 2 saksi korban dengan didampingi kuasa hukum SMA SPI.
”Dipanggilnya mereka saya kira akan melemahkan fakta dan bukti yang disampaikan korban yang mengadu ke LPA. Oke gak masalah, tapi kami tetap akan mengawal kasus ini, secara independen sesuai bukti dan fakta yang ada,” tandasnya.
Kekhawatiran terkait objektivitas hukum yang sama muncul dari Ketua Komisi A DPRD Kota Batu Dewi Kartika. Sepanjang pengawasannya selama ini di SMA SPI Kota Batu tidak menerapkan asas keterbukaan data dan informasi publik. Padahal itu lembaga pendidikan.
Menurut Kartika, selalu ada cara dari pihak sekolah untuk menutup-nutupi sesuatu.
”Saya pernah ke sana itu saja harus agak memaksa. Saat di dalam, semua seperti sudah ditata. Mulai siapa yang menemui kami, siapa anak-anak yang menyambut, sampai isi testimoni yang hampir seragam,” kisah Kartika.
”Hampir semua kompak bilang baik-baik saja, sangat bertolak belakang dengan apa yang kita dengar dari korban, baik korban baru maupun korban lama (alumni, red),” imbuhnya.
Tak sekedar itu, dirinya mendapati banyak laporan miring dari masyarakat umum terkait bagaimana anak-anak di sana diperlakukan. Dari banyak laporan itu, dugaan eksploitasi ekonomi semakin menguat.
”Banyak anak-anak di sana disuruh jualan pernak-pernik kerajinan di Alun-Alun. Bahkan mereka agak sedikit memaksa untuk dibeli artinya mereka kan ada target. Ada unsur dugaan eksploitasi,” bebernya.
”Dari alumninya, banyak juga cerita kalau di sana lebih banyak kerjanya daripada belajar. Pakai seragam itu hanya pas ada tamu, ada kunjungan, kalau ada pemeriksaan,” tambah politisi PKB ini.
Dari semua itu Kartika berharap seluruh pihak bisa turun tangan menangani bersama perkara ini. Kata dia, harus ada penataan ulang sistem di sekolah itu, mulai dari rekrutmen hingga pembelajaran yang selama ini dikenal ekslusif.
”Sebenarnya ya bisa ditutup kalau terbukti benar, tapi kan kasihan karena ada banyak anak yatim piatu juga butuh pendidikan. Perlu diperbaiki sistemnya saja,” ujarnya.
Sebagai alternatif, Kartika akan mengusulkan pembaharuan Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
”Sehingga nantinya Pemda bisa ikut turun tangan mengawal dan mengakses masuk ke sekolah-sekolah ‘ekslusif’ maupun di bawah naungan provinsi jika ada kasus tertentu, apalagi menyangkut kemanusiaan. Selama ini gak bisa karena regulasi itu tadi,” paparnya.