PASURUAN, Tugujatim.id – KH Abdul Hamid atau yang lebih dikenal Mbah Hamid Pasuruan merupakan salah satu ulama besar yang kewaliannya sudah termasyhur di Indonesia. Makam Mbah Hamid di Kota Pasuruan tidak pernah sepi dari peziarah setiap harinya.
Bahkan setiap tahun, peringatan Haul Mbah Hamid Pasuruan selalu dibanjiri oleh jutaan jamaah dari berbagai penjuru wilayah Indonesia. KH Abdul Hamid sendiri sebenarnya berasal dari Rembang, Jawa Tengah.
Namun, dia banyak menghabiskan masa hidupnya di Pasuruan sebagai pengurus Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan. Jadi, orang-orang lebih banyak mengenalnya sebagai Mbah Hamid Pasuruan.
Sejak Kecil Sudah Bertemu Rasulullah
KH Abdul Hamid lahir pada 4 Muharram 1333 H atau 22 November 1914 di Desa Sumber Girang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Mbah Hamid adalah anak ke-12 dari pasangan Abdullah bin Umar dan Raihannah.
Dalam buku Percik-Percik Keteladanan KH Abdul Hamid disebutkan bahwa nama Mbah Hamid sewaktu kecil adalah Abdul Mu’thi atau sering dipanggil Dul. Abdul Mu’thi terkenal sebagai anak yang aktif, lincah, dan terkenal nakal.
Nakal yang dimaksud di sini adalah dia jarang di rumah dan sering menghabiskan waktu bermain sepak bola dan layang-layang. Karena hobinya tersebut, ayahnya karena takut rutinitas mengaji Mu’thi dengan dua ulama besar di Rembang, yakni KH. Ma’shum dan KH. Baidhawi, terganggu. Karena itu, di usia 12 tahun, dia dipondokkan di Pesantren Kasingan, Rembang, yang diasuh ulama KH Kholil bin Harun.
Saat mondok di Pesantren Kasingan, Mu’thi berganti nama menjadi Abdul Hamid. Setahun setelahnya, Mbah Hamid remaja mengabdi kepada kakeknya, Muhammad Shidiq atau Mbah Siddiq, seorang tokoh penyebar Islam di Jember. Di mana saat berada di rumah kakeknya, dikisahkan Mbah Hamid pernah didatangi oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW menanyakan siapa anak yang bersama Mbah Shiddiq, yang kemudian dijawab bahwa dia adalah cucunya. Berselang dua tahun, Rasulullah SAW kembali datang menemui Mbah Shiddiq dan berpesan agar cucunya diajak untuk pergi haji.
Di usianya yang ke-15, Mbah Hamid untuk kali pertama pergi naik haji bersama kakeknya. Konon di sana, Mbah Hamid kembali bertemu dan bersalaman dengan Rasulullah SAW saat ziarah ke makamnya.
Pernah Jadi Blantik Sepeda Angin
Setelah pulang dari ibadah haji di Makkah, Kiai Abdul Hamid mencari ilmu ke Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, yang saat itu diasuh Kiai Dimyati bin Abdullah bin Manan. Selama 12 tahun, Mbah Hamid belajar sekaligus ikut mengajarkan ilmu fikih, tafsir, dan hadis kepada santri-santri pondok Temas.
Menurut Kiai Idris Hamid, anak dari Mbah Hamid, pesantren Tremas kala itu sudah menjadi pesantren yang tergolong maju di zamannya. Di sana, Mbah Hamid mendapatkan banyak bekal ilmu-ilmu agama untuk menjadi ulama besar.
Pada usia 22 tahun, Mbah Hamid menikah dengan Nyai H. Nafisah, putri dari KH Ahmad Qusyairi, salah satu pengasuh Pondok Salafiyah Pasuruan.
Sebelumnya, Mbah Hamid bersama orang tuanya sudah terlebih dulu menetap di Pasuruan. Selama di Pasuruan, Mbah Hamid selalu rajin ikut pengajian Habib Ja’far bin Syichan, salah satu ulama besar di Pasuruan kala itu.
Dia bahkan juga dipercaya Habib Ja’far untuk menjadi juru bicara membahas permasalahan diniyah atau agama dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghozali. Sebelum menjadi ulama besar, Mbah Hamid Pasuruan pernah menjalani kehidupan yang tidak mudah. Setelah menikah, dia bekerja sebagai blantik atau penjual sepeda angin. Setiap hari, dia harus pulang pergi mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer lebih ke pasar sepeda di Porong, Sidoarjo.
Bahkan, Mbah Hamid juga pernah berjualan suku cadang delman, berjualan kelapa, hingga kedelai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meski sulit menjalani hidup, namun Mbah Hamid tidak pernah sekalipun mengeluh. Bahkan, dia berusaha menutupi segala kesulitan yang dihadapinya sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Jadi Ulama Besar di Pasuruan
Sekitar 1951, KH Abdul Hamid diangkat menjadi guru besar Pondok Pesantren Ponpes Salafiyah Pasuruan. Dia diminta mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, menggantikan KH Abdullah Ibnu Yasin sebagai jadi nazhir atau pengasuh Pondok Salafiyah.
Mbah Hamid harus membina Pondok Salafiyah mulai dari nol karena di awal kepemimpinannya tidak banyak santri yang tersisa. Sebagian besar dari mereka keluar karena tidak mampu menjalani aturan disiplin ketat yang diterapkan oleh pengasuh pondok sebelumnya.
Semenjak dipimpin Mbah Hamid Pasuruan, Pondok Salafiyah mulai kembali ramai didatangi santri.
Lambat laun, kamar-kamar pondok tidak mampu menampung para santri. Jadi harus dibangunkan bangunan baru, termasuk fasilitas pendidikan Madrasah Klasikal yang mengikuti kurikulum pendidikan terbaru di masanya.
Menurut anak Mbah Hamid, Kiai Idris Hamid, ayahnya dikenal sebagai ulama yang sabar dan tidak pernah memarahi anak maupun santrinya. Dia selalu mendidik dengan cara memberikan contoh sikap atau keteladanan dibandingkan melalui lisan.
Mbah Hamid juga terkenal akan sikap tawadu atau rendah hatinya. Meski sudah menjadi pengasuh pondok, ketika mendatangi pengajian, Mbah Hamid selalu memilih duduk di pojokan berbaur dengan masyarakat biasa. Dia juga selalu menghormati dan melayani siapa pun tamu yang datang tanpa membedakan pangkat, usia, maupun jabatannya.
Pernah suatu ketika, seorang ulama muda yang terkenal asal Makkah, Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, sowan ke Pasuruan. Meski usia ulama tersebut jauh lebih muda, Mbah Hamid tetap sibuk melayaninya, mulai menyuguhkan makanan hingga memijatinya.
Dia mulai diakui oleh banyak orang sebagai waliyullah sejak 1960. Banyak kisah yang menceritakan karomah atau keistimewaan Mbah Hamid sebagai wali. Salah satu hal yang meligitimasi status kewalian Mbah Hamid Pasuruan adalah perjumpaannya dengan Rasulullah Nabi Muhammad SAW.
Selain pernah dua kali ditemui Rasulullah saat kecil, Mbah Hamid juga kembali dipertemukan dengan baginda Nabi Muhammad di kediamannya di dekat Ponpes Salafiyah. Dikisahkan saat itu Mbah Hamid menggelar pengajian memperingati Maulid Nabi di pondoknya. Masyayih dan ulama besar NU juga diundang, di antaranya Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo dan Kiai Ahmad Sidiq dari Jember.
Ketika ribuan jamaah berdiri saat membaca selawat Mahalul Qiyam, Mbah Hamid justru tetap duduk.
Seusai pengajian, Kiai As’ad sempat menegur dan menanyakan alasan Mbah Hamid Pasuruan tidak berdiri saat membaca selawat.
Mbah Hamid seketika menangis seraya menjawab: “Saya tidak memiliki daya untuk berdiri karena Kanjeng Nabi berdiri tepat di hadapanku! Saya merasa kehabisan akhlak. Jangankan ilmu, ibadah dan mujahadah saya, pakaian pun saya malu bertemu dengan Kanjeng Nabi.”
Dimakamkan Ratusan Ribu Jamaah
Berdasarkan buku Percik-Percik KH Abdul Hamid dituliskan bahwa KH Abdul Hamid Pasuruan wafat hari Sabtu, 9 Rabiul Awal 1403 H atau 25 Desember 1982 M. Mbah Hamid mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya setelah dirawat akibat penyakit jantung.
Mbah Hamid berpulang dalam usianya yang ke-68. Kabar wafatnya Mbah Hamid dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut hingga lewat radio. Disebutkan bila ratusan ribu jamaah berbondong-bondong datang untuk melayat ke rumah duka sejak pagi hari.
Jamaah dari berbagai daerah memadati Masjid Jami Al Anwar hingga meluber keluar kawasan alun-alun sejauh radius 1 kilometer. Konon saking banyaknya jamaah, keranda jenazah Mbah Hamid dibawa dari kediamannya dengan cara berpindah satu tangan ke tangan yang lain hingga ke Masjid Jami’ Al Anwar.
Salat jenazah dipimpin KH Ali Ma’shum, putra salah satu pendiri NU yaitu KH Maksum Ahmad dari Lasem, Jawa Tengah. Setelah Asar, jenazah Mbah Hamid dimakamkan di kompleks makam ulama dan keluarganya tepat di sebelah barat Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan.
Mbah Hamid disemayamkan di antara makam gurunya, Habib Ja’far bin Syichan Assegaf KH, mertuanya, Achmad Qusyairi, dan KH Ahmad Sahal, saudara iparnya. Keberadaan makam Mbah Hamid juga membawa berkah bagi kemakmuran masjid dan para pedagang di sekitar Alun-Alun Kota Pasuruan.
Hampir setiap hari, makam Mbah Hamid Pasuruan selalu dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.
Bahkan, setiap malam Jumat Legi kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan selalu dipadati warga yang ingin membaca yasin dan tahlil di depan makam Mbah Hamid.