SURABAYA, Tugujatim.id – Revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) tengah digodok DPR RI. Pasal-pasal kontroversial di dalamnya memantik reaksi publik, terutama kalangan Jurnalis.
Akademisi Pakar Media Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Irfan Wahyudi ikut menyoroti RUU Penyiaran ini terutama pasal yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif. Upaya pembungkaman ini dinilai meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap Jurnalis seperti di masa orde baru.
“Media harus berhati-hati untuk tidak kembali ke masa pembredelan pers seperti era Orde Baru. Ketika mengkritik pemerintah, media harus bertanggung jawab dalam menjaga integritas dan independensi institusi,” kata Irfan Wahyudi.
Akademisi lulusan Edith Cowan University, Australia tersebut juga menyoroti implikasi dari RUU Penyiaran terhadap independensi pers.
Sebagaimana yang kita tahu, salah satu pasal yang kontroversial termaktub dalam Pasal 56 Ayat 2 C. Pemerintah berhak mengatur pelarangan media untuk penauangan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi.
“Pasal ini menjadi perkara yang signifikan. Sebab, jurnalisme investigatif telah memberi nuansa yang kuat pada proses politik maupun sosial di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, upaya pembungkaman pers dan ekspresi media juga terlihat jelas sehingga menimbulkan keresahan publik. Padahal, menurutnya sebagai wujud penyempuranaan, RUU itu harus mengikuti zaman.
Sementara itu, terkait penyelesaian sengketa jurnalistik akan dilakukan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) juga akan menimbulkan masalah. Padahal, pemerintah memiliki dua regulasi terkait penyiaran. Pertama keputusan Presiden dalam Omnibus Law, yang mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran dan UU ITE.
“Permasalahannya terletak pada RUU Penyiaran yang memiliki fungsi serupa dengan UU ITE dalam implementasinya. Sehingga, antar UU ITE dan RUU Penyiaran ini saling tumpang tindih dan memicu kebingungan dalam penanganan sengketa jurnalistik,” terangnya.
Menurutnya, sengketa pers harus dilakukan oleh lembaga yang menanganinya. Dalam hal ini adalah Dewan Pers.
“Penyelesaian masalah pers seharusnya melibatkan lembaga yang menangani etika pers. Jadi ada hak jawab dari narasumber yang merasa keberatan. Tidak serta merta langsung masuk ke pidana,” tegas Irfan.
Menurutnya, dalam RUU Penyiaran, kebebasan pers patut dipertanyakan. Sebab jurnalisme menjadi pilar penting dalam demokrasi di Indonesia.
“Kritik itu hal yang wajar, tapi kemudian jangan sampai malah shoot the messenger gitu. Yang mana, malah mengkriminalisasi jurnalistik itu sendiri. Saya kira ini masih menjadi PR bagi Indonesia,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Reporter : Izzatun Najibah
Editor : Darmadi Sasongko