PASURUAN, Tugujatim.id – Setiap 20 Mei selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Tentu saja, Kebangkitan Nasional Indonesia agar terbebas dari penjajah ini tidak dapat dilepaskan dari peran penting para pemuda. Termasuk tokoh nasional dalam organisasi Boedi Oetomo yang mampu menggugah semangat perjuangan bangsa menuju kemerdekaan.
Kemunculan Boedi Oetomo sebagai aktivis intelektual pemuda tidak terlepas dari salah satu kebijakan politik etis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Di mana kebijakan Pemerintah Belanda untuk membangun sekolah di tanah air secara tidak langsung telah menciptakan kemajuan dalam pendidikan kaum bumiputera.
Kebijakan tersebut yang memicu lahirnya tokoh-tokoh intelektual yang menjadi perintis dalam pergerakan nasional.
Stovia, Sekolah Kedokteran Belanda Cikal Bakal Lahirnya Aktivisme Kebangkitan Nasional
Melansir dari laman Kemdikbud.go.id, Stovia atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sebuah sekolah kedokteran Belanda-lah yang justru menjadi awal dari pergerakan nasional. Di mana di akhir abad ke-19, kala itu berbagai wabah penyakit menyebar luas di Pulau Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda pun sulit menangani masalah ini karena biaya yang tinggi untuk mengundang dokter dari Eropa. Karena itu, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan Stovia dengan tujuan melahirkan dokter-dokter yang berasal dari kalangan pribumi.
Stovia didirikan di sebuah gedung rumah sakit militer pada 1851. Stovia memberikan kesempatan pendidikan gratis bagi para mahasiswa untuk menarik minat kaum bumiputera untuk bersekolah kedokteran.
Mahasiswanya difasilitasi dengan peralatan kuliah dan seragam gratis. Bahkan, mereka mendapat uang saku sebesar 15 gulden per bulan. Karena itu, Stovia dikenal dengan sebutan sekolah orang miskin.
Terlepas dari julukan dan stigma yang diberikan, Stovia mampu hanya menghasilkan dokter-dokter yang cakap di bidang kesehatan. Tidak hanya itu, keberadaan sekolah kedokteran ini juga memicu sikap kritis dari para pemuda pribumi.
Bahkan, ini menjadi tempat lahirnya para aktivis, cendekiawan, dan intelektual. Para aktivis kritis ini membuka jalan menuju kemerdekaan Indonesia.
Aktivis tersebut di antaranya dr Sutomo, dr Cipto Mangunkusumo, Gunawan, Suraji, dan R.T. Ario Tirtokusumo. Mereka semua adalah aktivis intelektual sekaligus pendiri Boedi Oetomo, organisasi pertama dalam pergerakan nasional.
Stovia menjadi tempat yang subur bagi para pemuda pribumi untuk menumbuhkan semangat nasionalisme. Di sana, mereka saling bertukar pikiran dan ide untuk memajukan bangsa dan melawan penindasan dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Melalui peran aktivis mahasiswa Stovia, semangat kebangkitan nasional terus hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi muda hingga terlahirlah Boedi Oetomo.
Boedi Oetomo, Organisasi Pelajar yang Bangkitkan Perjuangan lewat Pendidikan
Boedi Oetomo, sebuah organisasi pelajar yang lahir dari gagasan dr Sutomo dan mahasiswa Stovia, menjadi simbol semangat perjuangan di Indonesia. Pada 20 Mei 1908, organisasi ini didirikan di Jakarta dengan tujuan mendorong perkembangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan tanpa memiliki afiliasi politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran dr Wahidin Sudirohusodo, seorang alumni Stovia, turut memberikan sumbangsih penting dalam berdirinya Boedi Oetomo. Sebelumnya, Wahidin telah berdiskusi dengan dr Sutomo dan Suraji untuk berbagi ide-ide cerdas dalam membangun kehidupan bangsa.
Mengikuti pertemuan tersebut, dr Sutomo mengadakan pertemuan informal dengan para pelajar Stovia guna membahas pendirian sebuah organisasi nasional. Hasilnya sangat menggembirakan, lahir “Perkumpulan Boedi Oetomo” yang menjadi tonggak awal gerakan pemuda di Indonesia.
Sebagai organisasi pelajar, Boedi Oetomo merumuskan tujuannya secara samar-samar, yaitu kemajuan Tanah Air. Awalnya, cakupan geraknya terbatas di Pulau Jawa dan Madura, namun kemudian diperluas untuk melibatkan masyarakat di seluruh Tanah Air tanpa memandang perbedaan keturunan, jenis kelamin, atau agama. Boedi Oetomo secara tegas tidak terlibat dalam kegiatan politik, fokus pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
Meski beberapa anggotanya, seperti dr Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), keluar dari Boedi Oetomo karena menginginkan gerakan yang lebih militan dan terlibat langsung dalam politik, organisasi ini tetap teguh pada prinsipnya. Mereka terus berjuang dalam bidang sosial-budaya dan pendidikan, dengan semboyan yang diusung, “Biar lambat asal selamat, daripada hidup sebentar mati tanpa bekas.” Boedi Oetomo menggunakan filosofi pohon beringin sebagai simbolnya, di mana pertumbuhannya mungkin lambat, namun seiring waktu semakin kokoh, besar, dan memberikan teduh.
Boedi Oetomo telah memberikan sumbangsih berharga dalam menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan pemuda Indonesia. Sebagai tempat pertemuan dan saling bertukar ide, organisasi ini melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Melalui peran mereka, semangat Boedi Oetomo terus hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi selanjutnya dalam membangun Indonesia yang lebih baik.