KEDIRI, Tugujatim.id– Kesenian Tiban pada awal terbentuknya merupakan suatu upacara ritual yang sakral dan bertujuan untuk memanggil atau meminta hujan ketika kemarau panjang. Namun kemudian, kesenian ini berubah fungsi menjadi seni pertunjukan yang dipertontonkan dan dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri sebagai kesenian khas Kabupaten Kediri.
Seperti pada pertunjukan yang digelar pada Selasa ( 1/3 /2022) di daerah Rembang Witiran Kecamatan Ngadiluwih Kabupaten Kediri, yakni digelar seni tradisional Tiban dan Jaranan Kediren Setyo Budoyo.
Seni tradisional Tiban memang sudah jarang tampil. Tampilan biasanya dilakukan di saat ritual permohonan hujan dan acara bersih desa atau merti desa. Apalagi pandemi yang sudah berjalan selama dua tahun, nyaris mereka tidak pernah ada “tanggapan”.
Kegiatan pertunjukan yang digelar pada Selasa siang itu adalah apresiasi dari kegiatan Pokir anggota DPRD Kabupaten Kediri bekerjasama dengan Disparbud Kabupaten Kediri.
Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4) yang bertindak sebagai pemantau penyelenggara diwakili Dekky Susanto, penanggungjawab Seni Tari dan Jaranan, mengapresiasi kegiatan pertunjukan Tiban ini.
“Di wilayah Kabupaten Kediri ada beberapa desa yang melestarikan kesenian Tiban ini selain di Purwokerto. Yakni kesenian Tiban di Desa Jambean Kecamatan Kras dan Desa Surat Kecamatan Mojo,“ kata Dekky Susanto, anggota Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri yang membidangi tari dan jaranan.
Ada hal aneh bila ritual ini meski disambar dengan cemeti berupa pecut yang terbuat dari lidi aren, setelah berlangsung pemain yang mengalami luka-luka berdarah dan kulit mengelupas. Setelah dilumuri ramuan dari pawang/dukun/gambuh langsung mengering, dan setelah itu tidak selang beberapa saat pasti turun hujan.
“Karena ini sudah menyebar, sudah selayakannya kesenian Tiban ini di-HAKI-kan oleh Pemkab Kediri,” ungkap Imam Mubarok Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri.
Ditambahkan Mubarok, kesenian ini sempat mengalami kemunduran. Tetapi saat ini, mulai diminati kembali. Kesenian Tiban diharapkan bisa menjadi bahan ajar apresiasi terhadap budaya lokal di sekolah-sekolah dasar daerah Kabupaten Kediri.
Pertunjukan kesenian Tiban dari awal hingga sekarang mengalami berbagai perubahan, mulai struktur penyajian. Awalnya digelar dan menjadi kesenian rakyat yang disertai arak-arakan. Ada sesaji dan doa, khusus untuk sesaji disiapkan oleh seluruh kaum perempuan dan doa dihaturkan dengan antaran/wasilah kepada dhanyang desa untuk mendatangkan hujan.
Untuk tempat dan waktu harus dilaksanakan pada saat kemarau panjang dan di halaman yang luas atau persawahan. Pada bentuk pertunjukan, terdapat arak-arakan yang hanya diikuti oleh pemain Tiban, sesepuh desa, pladhang dan pembawa sesaji.
“Sejarah kemunculan Tiban secara turun temurun menjadi cerita rakyat dan dimulai masa kerajaan Kadiri, berkuasa seorang raja yang otoriter, sang raja ingin disebut dewa dia adalah Raja Dandang Gendis atau Kertajaya dengan nama Kerajaan Katang-Katang,” ujar Mubarok.
Sang Raja menuntut rakyat menurut perintahnya dan membuat ketakutan. Wilayah kerajaan Kediri termasuk kademangan Ngimbang (sekarang Ngadiluwih) mempunyai 4 kademangan yaitu, Kademangan Ngimbang, Megalamat, Jimbun, Ceker.
Meskipun diperintah oleh sang raja yang otoriter namun keadaan masyarakat makmur, segala masalah diselesaikan secara gotong royong. Masyarakat yang lebih dahulu panen membagi kepada tetangga, semua. Tidak dapat lagi perhatian oleh rajanya, bahkan Brahmana pun diminta untuk menyembah dan mendewakan dia.
Matahari berputar, siang berganti malam, sedangkan malam dapat berganti siang, kata para Brahmana. Artinya keadaan di dunia tidak kekal adanya yang semula kaya dapat juga menjadi miskin, yang gagah perkasa dapat menjadi lemah tak berdaya.
Begitu pula gambaran kerajaan Kadiri yang semula dalam keadaan makmur, lumbung-lumbung desa penuh padi berangsur-angsur menipis cenderung habis.
Hal ini terjadi karena kemarau berlangsung sangat panjang. Para petani menganggur karena sawahnya tak dapat diolah, sungai-sungai mengering. Musim kemarau seakan-akan tidak ada selesainya.
Segala upaya sudah diusahakan untuk mendapatkan air, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengairan, yang didapat hanya sebatas kebutuhan minum dan kebutuhan dapur.
Kemarau yang berlangsung panjang tersebut merupakan kutukan kepada manusia atas ketidakpercayaan dan ketidaktakwaan terhadap kekuatan Yang Lebih Tinggi.
Untuk itu para demang bermusyawarah dengan para pinisepuh, beberapa usul, saran dan pendapat, untuk menebus kutukan tersebut. Rakyat Ngimbang dengan sisa hartanya sedikit diberikan untuk digunakan sebagai syarat pelaksanaan upacara adat.
Bagi yang masih mempunyai padi dimohon memberikan seikat, dan bagi yang memiliki lembu membawa pecutnya sebagai lambang kekayaanya.
Setelah semua siap kemudian rakyat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Memohon pengampun kepada kekuatan yang lebih tinggi, supranatural tersebut.
Selanjutnya sebagai ritualnya masyarakat menyiksa diri dan berjemur dipanas terik. Sarana ini dirasa belum dapat berkomunikasi dengan kekuatan super natural, maka penyiksaan diri tersebut lebih dipertajam dengan menggunakan pecut yang terbuat dari sodo aren (lidi dari tumbuhan berbuah kolang-kaling/pohonnya menghasilkan ijuk).
Prosesi ritualnya di antara para peserta upacara tradisi ini saling mencambuk secara bergiliran. Sudah barang tentu dalam permainan ini banyak cucuran darah, karena kekhusukannya maka segala yang diderita tidak terasa.
Dalam suasana religi inilah kemudian turun hujan yang tidak pada musimnya. Hujan yang semacam inilah yang disebut Hujan Tiban.
Kegembiraan rakyat Ngimbang beserta pinisepuh tidak dapat digambarkan, bersyukurlah mereka atas Rahmat-Nya.
Demikian kejadian itu yang kemudian upacara tersebut dinamakan Tiban, dan diteruskan oleh masyarakat setempat secara turun temurun. Penyelenggaraannya dilaksanakan pada setiap musim kemarau dan diselenggarakan di tengah persawahan sewaktu sawah dalam keadaan kering.
“Kalau membaca seting sejarah sebenarnya derah Purwokerto Ngadiluwih di masa kerajaan Singosari adalah wilayahnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan ambang pintu berangka tahun 1148 Saka yang sekarang berada di Museum Airlangga Kota Kediri. Jika yang menjadi bahan utama kisah di balik lahirnya Tiban adalah sosok Kertajaya maka ini pas dengan cerita permusuhannya dengan Ken Arok/Ken Angrok,” tandas Imam Mubarok.
Tujuan penyelenggaraan upacara Tiban dengan harapan turunnya hujan. Sampai saat ini upacara ini terus berlangsung meskipun telah beralih fungsi yang semula sebagai media religi berubah menjadi suatu permainan rakyat sekaligus sebagai tontonan.
“Sayang sekali kesenian ini belum diminati oleh kaum muda sebagai penerus. Kita lihat pemain yang ada saat ini sudah sepuh. Inilah pentingnya pelestarian seni tradisi. Semua bertanggungjawab untuk keberlangsungannya,” pungkas Mubarok. (*)