Ketika Andre Breton Menyentil Kepalaku
jendela membelalak lebar
lihat dua galaksi bertabrakan
meremah
bagai kismis
di kerut perut
panekuk hangat. se-
hangat dinding kamar
PERHATIAN PERHATIAN
Barangsiapa kena demam
lekas panggil satu sembilan sembilan
ambulan bakal datang
tidak! aku cuman teler ikan cupang
disikat-sikut lumut berumbai lapar. seminggu sekali
diberi makan
mematuk pantulan sendiri
grafiti acak, seperti itulah aku dilukiskan
seperti mabuk berat, terterokakah wajah terbakar
yihaa, waktunya menulis hehehe
kutelan aspirin tanpa takaran
kuambil kamus, kubelah seperti durian
SIMSALABIM
darah ialah api. menyala-nyala pada duri jarum jam
di ICU: dada sesak suara serak, nyamuk-nyamuk di tenggorokan
aku butuh napas buatan. tidak! setiap bibir memfobiai ciuman
cermin buram. lipstik mengotori cangkir
derap geriap sepatu setala pelecok urat budak
segera carikan aku selir! o, maaf, maksudku sisir
ambilkan aku bedak!
akan kutilik seluruh rumah duka dengan
satu dua orang riang tertawa di dalam
memperoleh tak sedikit warisan
CIIIITTT
roda truk-truk. aku polisi tidur. mungkin juga guling
menggelinding tercabik palat-palat tajam
matahari menjelma residu, proyektil telah ditembakkan
bulan kisut dilecek umpatan
kudengar gemuruh air di corong kloset
siapa kira terbit menjerit sauk terbenam
saling sabung sampai lengket jalan macet
rurutlah sasasasalju yayayang bubububuk susu
murni nasional
bayi-bayi ringkih merangkak ke arahku
kakinya sewarna uban dan tembus pandang
sementara limbubu diciptakan benar mengertakkan tulang
SCOOBY-DOO
aku bukan anjing kelaparan, kau bukan begu ganjang
dua galaksi bertabrakan
meremah bagai madat
di pipa pengisap: setangkup tema, sekubit alur, secuil latar,
dua tampin tokoh, dan bla bla bla
cuih!
pelayan! cepat ambilkan garam, tadahi gelimang keringat
air mataku barang setitis tak bersisa
DILARANG MENULIS DENGAN TERGESA-GESA
anjing edan berwujud kucing bunting
lekas melahirkan anaknya, lekas pula dikunyahnya
yummy meski hambar
liur sirihku
keluar!
2020
Kuda-kuda Tak Lagi Berpacu
Tak lagi berpacu kuda-kuda itu
Sementara Hektor curiga
“Telah kuberi perdu yang tamam tergahar
dan air paling segar.”
“Tapi bagaimana bila
perdu nyatanya belulang bayi
dan air itu ketuban paling puih?”
wajah Akhilles sumringah.
Jinjing tameng, betapa ia gagah
Walau kilap kelip darah
membutakan matanya
2019
Pertanyaan ke Kuldesak
__Basoalto,1949
Dari jendela
(mari bayangkan mawar-mawar mekar
wangi mur dan angin menyatu udara
dan ruang itu pengap, jendela itu lamur),
Ia merasa siluet pohon makin legam.
Besar. Seorang bocah ingusan merangkak dari arah belukar
Menghirup bau rumput lalu melemparkan setangkup batu
ke ujung waktu.
“Aku tulis sajak tentang buah anggir
yang diambil seorang anak dari lapak
tanpa bayar.”
Maka dilekapkannya daun jendela,
diurai tirai__ meredam ceracau gagak
(barangkali suara radio rusak) dan ia kembali ke kamar,
ke suasa malam. Dengan tempias keringat melarut air mata
oleh telapak tangan panas bergesek pena.
Ia berenang dengan setengah badan
Kram (kita dalam mimpi. seekor hiu lapar
mengangankan sebadan daging: santapan
nyaris disajikan),
Dari selat yang tak terwantah pada peta
Tak terletak di tengah samudera
Selapuk apung kayu, langit berkibar
Bulan membasuh sinarnya pada tepian.
“Havelaar. Havelaar. Aku
mencarimu. Sesuatu mengejarku!”
“Aku sejengkal dari nyawamu.”
Ia bangun seperti seorang munci menciumnya.
Seperti debar dada tak kunjung memelan selepas menatap dadanya.
Kini ia mengerti (suatu kali, Picasso membisikkan
“Jangan takut menjadi orang besar.”
Itu sungguh terjadi. Tengah ia susuri),
Lalu ia beranjak ke meja. Sekubit tembakau embal
susup pada lesung cerutu. Ia pantik api
Hablur sunyi. (Aku seorang musafir ketika Chile menjadi pedas.
Seperti cabai dalam bahasa Inggris__ dan istriku, Maruca,
Argentina belum punya Maradona..)
Ya, tapi ini rumah yang pertama
Sekaligus terakhir meneduhkannya.
(Bagaimana aku lindung oleh telikung. Di luar,
sebenih kelongsong harap pecah di keningku),
Serenggat surat telah ditamamkan tapi tak pernah ia kirimkan.
Cukup ia ringkas dalam saku abaya hitam.
Sementara waktu bergulir seperti koin terakhir di rumah bola
Seperti sibiran besi pada gisik rebana.
“Di sini (mari bayangkan geligi akasia
berselimut salju, alun minuet menyatu udara
dan ruang itu sesak, jendela itu semu),
Aku ingin menulis larik-larik sajak terlirih malam nanti
Ketika asam memasung lambung
Dan bau rumput laut pada ranjang
seolah alum poplar pada batu.”
Mungkinkah ia seorang diri?
“Keningku merekam apa saja. Instrumen: desing peluru
rintih violin, salah satunya. Betapa asin hatiku.”
Ia tak ingin duduk, kepala sedikit menunduk.
Mungkinkah ia benar ada di situ?
“Matahari tak perlu bertatah suluh
sekadar merapal siangku.”
Adakah yang menyimpan sajak itu
kecuali waktu?
Di sini (mari bayangkan seorang bocah tadi
mencari batu yang telah ia lemparkan
ke ujung waktu. buah anggir yang tak ia bayar,
tak seharusnya ia curi), bukan umpama ditembak mati.
2019
Sebelum Pantai, Hujan, Daun, Laut, Pantai Tak Lagi Dituliskan
(kami sampai sebagai semesta
merebus air, menanak garam
sebagai putih buih samudera)
*
pada pantai, kuap mulut para perawi
semacam palung laut. sejarah karam
sementara ikan-ikan bergigi tajam
tak kami tahu menyelam berapa dalam.
*
kami temukan berjejak kaki. anasir
berbondong, bertandan pisang berenteng kacang
pada bahu dan tangan. betapa kami jamu
seperti daun-daun nyiur merungkupi embun.
datanglah, mukimlah, sekalipun kami monyet ekor panjang
selama ini makan ranting basah badai dan hujan.
*
o, kini kami ciut
seperti kapal berani labuh takut sandar
masa lalu yang kecut pencit pedas sambal
kami lahap tengah geliang gelombang
yang letup nasi dalam dandang.
*
ah, cuman itu yang kami ingat dan lestari.
tak ayal, rumah-rumah didirikan
dari palet kargo yang dibuang, kami bakar
sebagai unggun bagi gosong ikan kembung,
memar anak-anak tak henti membagi demam
cahaya mercusuar.
*
ziarah maupun tilikan ialah uluran panas lengan.
meski tak seperih tak sengajanya lidah berkali
menyesap keringat, untuk itulah sauk dicatat.
menimbun jasad kami sampai muskil ada lahad
sisihkan tengkorak.
2019
Elegi Akhir Commanche
I
bersama kepalan tangan
doa menguar ke angkasa
udara semacam berombak
di tanah
ingatan-ingatan berontak
dalam dirimu kudengar melodi angin
jiwa yang merangkak mengerosong senja
cercah gumam menggunung
bagai tumpukan jerami atau gandum di lumbung
tak sanggup kau tanggung
nun jauh di puncak bukit
hanya kabut hanya kudus
bersenandung
mengasah deduri kaktus
dedenting kultus
tapi cahaya muasal unggun api
kencang gemeretak kayu di hadapanku:
meleleh, meleleh sunyi
semburat darah dari arteri
hangus lekat
pada kemah tersisa
tanah mengagakan rahangnya
menawarkan petak berbagi liang
jasad-jasad berlinang
II
perang besar perang kecil
puing-puing karun
mayat-mayat memanjang
tandu tak berkurun
sebiji peluru pelesat panah
rubah-rubah hutan berduyun
pohon-pohon menundukkan kepala
langit altar dewa-dewa
kau diam
menghitung aku yang waktu
ketika kemah meremah
luput terpungut satu per satu
aku berdentang kencang
mengusirmu
selamanya, hutanlah yang tersesat
“bukan aku”
apalagi aku? yang tak lebih dari persekutuan kutu
pada rimba kepala
yang oleng tengah tuntang mesiu
2019
Agung Wicaksana
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,. Penulis Fanatorium (2017). Puisinya sempat dimuat di Koran Tempo, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Riau Pos, dan media lain.