Rabu, Januari 20, 2021
Tugujatim.id
Advertisement
  • Home
  • News
  • Featured
  • Bisnis
  • Pendidikan
  • Wisata
  • Budaya
  • Entertainment
  • Pilihan Redaksi
  • Olahraga
  • Tugu TV
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Featured
  • Bisnis
  • Pendidikan
  • Wisata
  • Budaya
  • Entertainment
  • Pilihan Redaksi
  • Olahraga
  • Tugu TV
No Result
View All Result
Tugujatim.id
No Result
View All Result
Home Sastra & Budaya

Sepilihan Puisi Agung Wicaksana

Redaksi Penulis Redaksi
Agustus 27, 2020
in Sastra & Budaya
Sepilihan Puisi Agung Wicaksana

Ilustrasi puisi Agung Wicaksana

Share on FacebookShare on TwitterShare Whatsapp

Ketika Andre Breton Menyentil Kepalaku

jendela membelalak lebar
lihat dua galaksi bertabrakan
meremah
bagai kismis
di kerut perut
panekuk hangat. se-
hangat dinding kamar

PERHATIAN PERHATIAN
Barangsiapa kena demam
lekas panggil satu sembilan sembilan
ambulan bakal datang

tidak! aku cuman teler ikan cupang
disikat-sikut lumut berumbai lapar. seminggu sekali
diberi makan
mematuk pantulan sendiri

         grafiti acak, seperti itulah aku dilukiskan
         seperti mabuk berat, terterokakah wajah terbakar

yihaa, waktunya menulis hehehe
kutelan aspirin tanpa takaran
kuambil kamus, kubelah seperti durian

         SIMSALABIM
darah ialah api. menyala-nyala pada duri jarum jam

di ICU: dada sesak suara serak, nyamuk-nyamuk di tenggorokan
aku butuh napas buatan. tidak! setiap bibir memfobiai ciuman
                           cermin buram. lipstik mengotori cangkir
derap geriap sepatu setala pelecok urat budak
segera carikan aku selir! o, maaf, maksudku sisir
                                             ambilkan aku bedak!
         akan kutilik seluruh rumah duka dengan
         satu dua orang riang tertawa di dalam
         memperoleh tak sedikit warisan
                                                         CIIIITTT
roda truk-truk. aku polisi tidur. mungkin juga guling
                                    menggelinding tercabik palat-palat tajam
         matahari menjelma residu, proyektil telah ditembakkan
                                                      bulan kisut dilecek umpatan
         kudengar gemuruh air di corong kloset
siapa kira terbit menjerit sauk terbenam
saling sabung sampai lengket jalan macet

rurutlah sasasasalju yayayang bubububuk susu
murni nasional
bayi-bayi ringkih merangkak ke arahku
kakinya sewarna uban dan tembus pandang
sementara limbubu diciptakan benar mengertakkan tulang
         SCOOBY-DOO
aku bukan anjing kelaparan, kau bukan begu ganjang

dua galaksi bertabrakan
meremah bagai madat
di pipa pengisap: setangkup tema, sekubit alur, secuil latar,
dua tampin tokoh, dan bla bla bla
cuih!
                                    pelayan! cepat ambilkan garam, tadahi gelimang keringat
                                    air mataku barang setitis tak bersisa

         DILARANG MENULIS DENGAN TERGESA-GESA
                  anjing edan berwujud kucing bunting
           lekas melahirkan anaknya, lekas pula dikunyahnya
yummy meski hambar
                                                                        liur sirihku
                                                                        keluar!

 

2020

 

 

 

Kuda-kuda Tak Lagi Berpacu

 

Tak lagi berpacu kuda-kuda itu
Sementara Hektor curiga
“Telah kuberi perdu yang tamam tergahar
dan air paling segar.”

 

“Tapi bagaimana bila
perdu nyatanya belulang bayi
dan air itu ketuban paling puih?”

wajah Akhilles sumringah.
Jinjing tameng, betapa ia gagah
Walau kilap kelip darah
membutakan matanya

 

2019

 

 

 

 

 

Pertanyaan ke Kuldesak
                                                             __Basoalto,1949

 

Dari jendela
(mari bayangkan mawar-mawar mekar
wangi mur dan angin menyatu udara
dan ruang itu pengap, jendela itu lamur),
Ia merasa siluet pohon makin legam.
Besar. Seorang bocah ingusan merangkak dari arah belukar
Menghirup bau rumput lalu melemparkan setangkup batu
ke ujung waktu.

 

“Aku tulis sajak tentang buah anggir
yang diambil seorang anak dari lapak
tanpa bayar.”

 

Maka dilekapkannya daun jendela,
diurai tirai__ meredam ceracau gagak
(barangkali suara radio rusak) dan ia kembali ke kamar,
ke suasa malam. Dengan tempias keringat melarut air mata
oleh telapak tangan panas bergesek pena.
Ia berenang dengan setengah badan
Kram (kita dalam mimpi. seekor hiu lapar
mengangankan sebadan daging: santapan
nyaris disajikan),
Dari selat yang tak terwantah pada peta
Tak terletak di tengah samudera
Selapuk apung kayu, langit berkibar
Bulan membasuh sinarnya pada tepian.

 

“Havelaar. Havelaar. Aku
mencarimu. Sesuatu mengejarku!”
“Aku sejengkal dari nyawamu.”

 

Ia bangun seperti seorang munci menciumnya.
Seperti debar dada tak kunjung memelan selepas menatap dadanya.

 

Kini ia mengerti (suatu kali, Picasso membisikkan
“Jangan takut menjadi orang besar.”
Itu sungguh terjadi. Tengah ia susuri),
Lalu ia beranjak ke meja. Sekubit tembakau embal
susup pada lesung cerutu. Ia pantik api
Hablur sunyi. (Aku seorang musafir ketika Chile menjadi pedas.
Seperti cabai dalam bahasa Inggris__ dan istriku, Maruca,
Argentina belum punya Maradona..)

 

Ya, tapi ini rumah yang pertama
Sekaligus terakhir meneduhkannya.

 

(Bagaimana aku lindung oleh telikung. Di luar,
sebenih kelongsong harap pecah di keningku),
Serenggat surat telah ditamamkan tapi tak pernah ia kirimkan.
Cukup ia ringkas dalam saku abaya hitam.
Sementara waktu bergulir seperti koin terakhir di rumah bola
Seperti sibiran besi pada gisik rebana.

 

“Di sini (mari bayangkan geligi akasia
berselimut salju, alun minuet menyatu udara
dan ruang itu sesak, jendela itu semu),
Aku ingin menulis larik-larik sajak terlirih malam nanti
Ketika asam memasung lambung
Dan bau rumput laut pada ranjang
seolah alum poplar pada batu.”
Mungkinkah ia seorang diri?

 

“Keningku merekam apa saja. Instrumen: desing peluru
rintih violin, salah satunya. Betapa asin hatiku.”

 

Ia tak ingin duduk, kepala sedikit menunduk.
Mungkinkah ia benar ada di situ?

 

“Matahari tak perlu bertatah suluh
sekadar merapal siangku.”

 

Adakah yang menyimpan sajak itu
kecuali waktu?

 

Di sini (mari bayangkan seorang bocah tadi
mencari batu yang telah ia lemparkan
ke ujung waktu. buah anggir yang tak ia bayar,
tak seharusnya ia curi), bukan umpama ditembak mati.

 

2019

 

 

 

 

Sebelum Pantai, Hujan, Daun, Laut, Pantai Tak Lagi Dituliskan

 

(kami sampai sebagai semesta
merebus air, menanak garam
sebagai putih buih samudera)

*

pada pantai, kuap mulut para perawi
semacam palung laut. sejarah karam
sementara ikan-ikan bergigi tajam
tak kami tahu menyelam berapa dalam.

*

kami temukan berjejak kaki. anasir
berbondong, bertandan pisang berenteng kacang
pada bahu dan tangan. betapa kami jamu
seperti daun-daun nyiur merungkupi embun.
datanglah, mukimlah, sekalipun kami monyet ekor panjang
selama ini makan ranting basah badai dan hujan.

*

o, kini kami ciut
seperti kapal berani labuh takut sandar
masa lalu yang kecut pencit pedas sambal
kami lahap tengah geliang gelombang
yang letup nasi dalam dandang.

*

ah, cuman itu yang kami ingat dan lestari.
tak ayal, rumah-rumah didirikan
dari palet kargo yang dibuang, kami bakar
sebagai unggun bagi gosong ikan kembung,
memar anak-anak tak henti membagi demam
cahaya mercusuar.

*

ziarah maupun tilikan ialah uluran panas lengan.
meski tak seperih tak sengajanya lidah berkali
menyesap keringat, untuk itulah sauk dicatat.
menimbun jasad kami sampai muskil ada lahad
sisihkan tengkorak.

 

2019

 

 

 

 

 

 

Elegi Akhir Commanche

I

bersama kepalan tangan
doa menguar ke angkasa
udara semacam berombak
di tanah
ingatan-ingatan berontak

dalam dirimu kudengar melodi angin
jiwa yang merangkak mengerosong senja
cercah gumam menggunung
bagai tumpukan jerami atau gandum di lumbung
tak sanggup kau tanggung

nun jauh di puncak bukit
hanya kabut hanya kudus
bersenandung
mengasah deduri kaktus
dedenting kultus

tapi cahaya muasal unggun api
kencang gemeretak kayu di hadapanku:
meleleh, meleleh sunyi
semburat darah dari arteri
hangus lekat
pada kemah tersisa
tanah mengagakan rahangnya
menawarkan petak berbagi liang
jasad-jasad berlinang

 

II

perang besar perang kecil
puing-puing karun
mayat-mayat memanjang
tandu tak berkurun

sebiji peluru pelesat panah
rubah-rubah hutan berduyun
pohon-pohon menundukkan kepala
langit altar dewa-dewa

kau diam
menghitung aku yang waktu
ketika kemah meremah
luput terpungut satu per satu
aku berdentang kencang
mengusirmu
selamanya, hutanlah yang tersesat
“bukan aku”
apalagi aku? yang tak lebih dari persekutuan kutu
pada rimba kepala
yang oleng tengah tuntang mesiu

2019

 

 

 

Agung Wicaksana (Foto: Dokumen)

Agung Wicaksana

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,. Penulis Fanatorium (2017). Puisinya sempat dimuat di Koran Tempo, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Riau Pos, dan media lain.

Tags: PuisiSastra
Previous Post

Taman Flora San Terra, Wisata Instagramable Ala Luar Negeri di Malang

Next Post

Paguyuban Pengrajin Gula Kabupaten Malang Dukung Hasan Abadi Maju Pilkada Malang 2020

Next Post
Paguyuban Pengrajin Gula Kabupaten Malang Dukung Hasan Abadi Maju Pilkada Malang 2020

Paguyuban Pengrajin Gula Kabupaten Malang Dukung Hasan Abadi Maju Pilkada Malang 2020

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
kampus UM

Banyak Diincar Calon Mahasiswa, Ini Kampus Terbaik di Klaster 1 dan 2 Jawa Timur

Agustus 27, 2020
Polisi amankan barang bukti motor Pelaku Pembacokan di Malang: Teman Dekat Sekaligus Tetangga

Pelaku Pembacokan di Malang: Teman Dekat Sekaligus Tetangga

November 19, 2020
one piece 991 one piece volume 97

Spoiler One Piece 991: Jack Tumbang, Kinemon Tebas Napas Api Kaido

Oktober 15, 2020
Mencari Corona Lewat Puisi Marhalim Zaini

Mencari Corona Lewat Puisi Marhalim Zaini

Agustus 27, 2020
biduan kena tipu

Modus Investasi Tembakau, Biduan Asal Malang Kena Tipu Rp 350 Juta

5
Kondisi pengungsian akibat erupsi Gunung Semeru. (Foto: BEN/Tugu Jatim)

Dua Desa di Lumajang Bertahan di Pengungsian Pasca-Erupsi Gunung Semeru

4
ilustrasi obesitas

Awas, Obesitas Tingkatkan Risiko Kematian COVID-19 hingga 48 Persen

4
senjata api

Polisi Bekuk Sindikat Senjata Api di Malang, Sita Belasan Pucuk Pistol

3
Sekda Prov Jatim, Heru Tjahjono menerima bantuan Rp 300 Juta dari Persatuan Rumah Sakit BUMN Jawa Timur yang tergabung dalam Pertamina Bina Merdeka. (Foto: Dokumen/Pemprov Jatim)

Pemprov Jatim Kembali Salurkan Bantuan Rp 300 Juta untuk Korban Gempa Sulbar

Januari 20, 2021
Bupati Malang Muhammad Sanusi saat mengunjungi Desa Ampeldento. (Foto: Rap/ln)

Bupati Malang Sanusi: 378 Desa di Kabupaten Malang Wajib Punya Satu Produk Unggulan

Januari 20, 2021
Ilustrasi UMKM di Surabaya. (Foto: Pemkot Surabaya)

UMKM di Surabaya Dinilai Lebih Bisa “Survive” saat Pandemi COVID-19

Januari 20, 2021
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP), M Taswin sedang menemui wartawan di Balai Kota Surabaya pada Rabu (20/01/2021). (Foto: Humas Pemkot Surabaya)

Investasi di Surabaya Capai Rp 64 Triliun Walau Diterpa Pandemi COVID-19

Januari 20, 2021
Tugujatim.id

© 2019 - IT TUGUJATIM.

Pilihan Kami

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Info Kerjasama

Ikuti Kami

No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Featured
  • Bisnis
  • Pendidikan
  • Wisata
  • Budaya
  • Entertainment
  • Pilihan Redaksi
  • Olahraga
  • Tugu TV

© 2019 - IT TUGUJATIM.

Go to mobile version
We would like to show you notifications for the latest news and updates.
Dismiss
Allow Notifications