MALANG, Tugujatim.id – Momen kerinduan itu akhirnya terbayar dengan tuntas ketika kami bersepakat untuk bertemu dan silaturahmi di salah satu kafe di Kota Malang. Kafe itu berada tidak jauh dari kampus Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang. Pada Sabtu (14/08/2021), sekitar pukul 18.00, saya dan Ach. Faisol akhirnya nyeruput kopi bersama seperti dulu, pada masa-masa pasca kuliah S-1. Suatu momen yang kami rindukan bersama sejak lama.
“Gimana kabarnya, Bung?” sapanya tersenyum sembari mengulurkan tangan untuk salaman.
Kami biasa saling panggil bung, suatu panggilan yang biasa digunakan oleh Presiden Soekarno. Faisol adalah salah satu aktivis pergerakan mahasiswa. Dia pernah menjadi ketua Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kampus Unitri. Satu organisasi yang membesarkan kami berdua dalam dunia pergerakan.
Beberapa kali kami terlibat diskusi yang panjang, baik di warung-warung kopi atau di forum-forum yang diadakan oleh PMII. Lalu pada 2017, kami berpisah. Saya melanjutkan studi di UGM Yogyakarta, sementara pemuda asal Sumenep itu melanjutkan studinya di UIN Malang.
Hampir tiga tahun kami tidak saling tatap muka secara langsung meski sering memberi kabar lewat chat WhatsApp. Ditambah pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, membuat rencana silaturahmi saya selalu tertunda.
Tapi akhirnya, pertemuan spesial itu berhasil kami wujudkan meski dengan waktu yang terbatas. Pada momen itu, kami saling bercerita tentang perkembangan pengalaman masing-masing. Alumnus Pesantren Annuqayah itu rupanya sudah merambah dunia digital dengan sangat pesat.
Dia berhasil mendirikan beberapa lembaga yang fokus dengan dunia digital. Misalnya, Malang Mega Properti (MMP), salah satu lembaga marketing perumahan-perumahan yang ada di Malang. Lembaga ini telah dirintis sejak dia menjadi pegawai bank pada 2014 lalu. Tapi, baru diresmikan pada 2017.
“Untuk MMP, saya sudah kerja sama dengan Perumahan Ijen, Dimension di Singosari, dan satu lagi di Karangploso,” katanya sambil membakar sebatang rokok.
Selain MMP, dia juga berhasil mendirikan lembaga bisnis “Hamdalah” yang khusus menangani penjualan fashion secara online. Lembaga ini sudah mempekerjakan sebanyak tujuh orang. Dengan penghasilan yang terbilang cukup setiap bulan.
“Hasilnya, cukuplah buat hidup, Bung,” katanya merendah.
Dia pun mengatakan, meski begitu tetap ingin merasa adil soal sistem pembagiannya.
“Kami tetap menggunakan sistem bagi hasil biar adil dan tak ada pemerasan,” imbuhnya.
Bahkan belum lama ini, dia melebarkan sayap bisnis digitalnya ke sekolah internet marketing yang diberi nama Kelas Internet Marketing Malang (KIMM). Sekolah ini sudah berhasil meluluskan sebanyak 50 orang yang semuanya sudah bekerja online saat ini.
“Untuk apa lagi mendirikan sekolah marketing, rakus amat,” celetukku nyindir.
Sambil tertawa dia menjawab, dirinya sudah punya “cukup” ilmu tentang marketing, maka ilmu itu harus disebarkan agar memberikan manfaat pada orang lain.
“Dulu kan kita di PMII belajar bagaimana bisa bermanfaat bagi orang lain dan mengabdi pada masyarakat. Nah, sekarang saya menerapkan itu,” katanya.
Silaturahim itu pun semakin gayeng, karena penulis merasa sangat penasaran dengan dunia marketing.
“Apa perbedaan dunia pergerakan dan dunia marketing, Bung,” tanyaku lagi pengen tahu.
Menurut dia, hakikatnya sama-sama menggerakan massa, hanya saja yang berbeda adalah targetnya. Kalau di dunia pergerakan PMII, targetnya adalah menggerakkan agar para kader menjadi pengabdi masyarakat, berjiwa sosial, dan religius.
Tapi, dalam dunia marketing berkaitan dengan dunia bisnis, di mana targetnya adalah bagaimana mendorong orang menjadi supporting system dalam bisnis atau perusahaan. Hal itu agar target perusahaan tercapai.
“Jadi, secara prinsip bisnis dan pergerakan sama-sama menggerakkan. Kalau kamu gimana, Bung,” dia bertanya balik.
Saya tidak banyak bergerak di dunia digital. Saya menceritakan bagaimana dunia aktivisme antara di Malang dan di Yogyakarta. Aktivisme mahasiswa Yogyakarta sepertinya lebih hidup dari di Malang. Di Yogya, kita masih melihat mahasiswa berdiskusi di warung-warung kopi. Suatu pemandangan yang mungkin jarang sekali saya temukan di Malang, bahkan sejak 2015 lalu.
“Di Yogya, banyak sekali forum-forum diskusi yang diselenggarakan secara publik, baik di kampus maupun di tempat-tempat tertentu. Dan, itu gratis, Bung,” paparku.
Sambil terus berbincang, saya menceritakan soal harga-harga buku di Yogyakarta.
“Di Yogya, kami lebih leluasa juga mencari buku-buku yang dibutuhkan dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang di Malang,” lanjutku.
Teman saya pun mengajak bercanda sambil nyeletuk seperti ini.
“Atau mungkin karena Malang ini dingin, Bung, sehingga mahasiswa lebih enak berada dalam kamar daripada di luar untuk berdiskusi,” katanya sambil tersenyum.
Jam pun sudah menunjukkan pukul 20.00. Beberapa kali petugas kafe memberikan kode jika sebentar lagi kafe akan ditutup. Maklum PPKM Level 4 masih diperpanjang hingga 16 Agustus 2021. Sekalipun masih ada banyak hal yang belum kami ceritakan, tapi pertemuan itu sudah menjadi obat kerinduan bagi kami berdua.