SURABAYA, Tugujatim.id – Sekitar satu jam dari pusat Kota Surabaya, sebuah bangunan bernama Padepokan Sukmo Limo Indonesia menjadi tempat bagi kelompok Penghayat untuk mengadakan pertemuan.
Seperti hanya saat peringatan 1 Suro pada Rabu (19/7/2023). Lokasi yang tempatnya berada di Kecamatan Rungkut, Surabaya, itu ramai oleh kelompok Penghayat dari berbagai daerah di Jawa Timur dengan penuh khidmat melantunkan doa-doa ritual yang mereka sebut sebagai bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu kelompok Penghayat yang hadir, Buddho Jawi Wisnu.
“Ini hanya salah satu hari-hari besar menurut Buddho Jawi Wisnu dan orang-orang yang masih melestarikan tradisi yang dijalankan oleh para leluhur, kalau secara umum menyebutnya sebagai Suro. Esensinya sama, ini hari besar yang tujuannya bakti terhadap Sang Pecipta,” kata Penanggung Jawab Buddho Jawi Wisnu, Andy Krino, pada Rabu (19/7/2023).
Sejak siang, para anggota mulai datang secara bergantian. Mayoritas, mereka menggunakan pakaian adat serba hitam peranakan untuk pria dan kebaya bagi wanita. Bukan tanpa tujuan, bagi mereka setiap simbol memiliki makna dan nilai yang mendalam. “Hitam itu tanah. Tanah juga menjadi bagian dari bumi alam semesta,” jelas Andy.
Bagian tengah diisi meja yang kira-kira berukuran 3 meter memanjang dipenuhi bahan “sajen”. Setiap komponen juga sebagai simbol aktualisasi berkomunikasi dengan Tuhan.
Selain hitam busananya, hitam juga salah satu bubur yang merupakan bahan sesaji. Lainnya, bubur putih menjadi simbol udara, bubur kuning artinya daging, dan merah yang merupakan darah setiap makhluk hidup.
Di meja itu, juga dipenuhi buah pisang. Kata Andy, pisang dalam pemaknaan Jawa juga disebut sebagai gesang yang artinya hidup. Lalu ada bunga empat macam, juga satu ekor ayam jago utuh yang sudah dibumbuhi dengan posisi telungkup mengartikan kehidupan bayi di dalam kandungan.
“Karena orang Jawa mengaktualisasikan bakti terhadap Tuhan lewat media makanan, sebagai wujud bakti,” tutur pria berambut ikal tersebut.
Seluruh sesaji yang berjumlah 13 tersebut paling utama adalah ditujukan kepada Sang Pencipta, Gusti Yang Maha Kuasa. Namun, juga ditujukan kepada Badari Sri sebagai ibu yang memberi rezeki melalui berbutir-butir padi.
“Banyak untuk Batari, Dewa-Dewi juga Ibu Kanjeng Ratu, hingga kepada Sedulur Papat Limo Pancer,” lengkapnya.
Sebelum memulai bakti, Andy menjelaskan bahwa seluruh kelompok Penghayat melakukan ibadah puasa untuk menahan hawa nafsu dengan tidak memakan daging dan ikan. “Karena sebulan sebelumnya kita nggak makan daging dan ikan. Kita jadi vegetarian,” jelasnya.
Menurut Andy, banyak versi perihal penanggalan Suro. Namun, Buddho Jawi Wisnu sendiri mempercayai bahwa saat ini telah memasuki tahun 8856.
“Tahun 8856 kita menyebutnya sebagai Tahun Ismoyo, Tahun Semar. Artinya, orang-orang Buddho Jawi Wisnu itu mengenal Tuhan jauh sebelum masehi. Tapi kita tidak memperdebatkan itu, ini sebagai tradisi turun temurun untuk ucapan bakti terhadap Tuhan, semua ciptaanNya,” paparnya.
Dari seluruh rangkaian acara, Andy menjelaskan bahwa setiap sesi mengandung nilai yang sakral. Tidak hanya fasih ketika diucapkan, tetapi juga harus menjadi aktualisasi diri dalam kehidupan sehari-hari.
“Ada mantra menyembah Tuhan. Kedua pengleburan dosa untuk semua hal, ketiga keutamaan hidup. Persoalan ini banyak karena masyarakat di luar masih mempertanyakan apakah kami ini punya Tuhan? Kami memvisualisasikan Tuhan melalui berbagai makna,” pungkasnya.
Reporter: Izzatun Najibah
Editor: Lizya Kristanti