Oleh: Muhammad Hilal*
Tugujatim.id – Seon Gi-hun adalah lelaki yang payah. Dia gagal membina keluarganya. Istrinya menikah lagi dengan laki-laki lain yang kaya. Anak Gi-hun dirawat oleh keluarga baru itu. Gi-hun juga payah dalam pekerjaan. Dia suka main judi pacuan kuda hingga dililit hutang yang mencekik.
Lelaki itu tentu mengecewakan ibunya, sebab kehidupannya hanya merepotkan saja. Gi-hun tahu itu, tapi dia pura-pura tegar.
Hingga suatu saat dia bertemu seorang agen yang menawarinya ikut suatu permainan yang menjanjikan hadiah fantastis. Permainan itu dilakukan di tempat rahasia. Peserta diangkut dalam keadaan tidak sadar.
Di lokasi permainan itulah Gi-hun bertemu para peserta lainnya. Jumlah pesertanya 456 orang dan Gi-hun mendapat nomor terakhir.
Di tempat itu, Gi-hun bertemu Cho Sang-woo (218), tetangga dan teman bermainnya sewaktu kecil. Sang-woo terkenal cerdas di kampungnya, lantas dia berhasil lulus dari Seoul National University dan bekerja di luar negeri. Ibunya sangat bangga padanya. Tapi kenapa dia ada di tempat permainan itu? Dia diburu polisi karena tidak sanggup melunasi hutangnya pada kliennya. Dia ikut permainan itu karena butuh duit.
Ada pula Kang Sae-byeok, perempuan pemilik nomor 067 yang berwajah dingin. Dia ikut permainan itu karena dia adalah imigran gelap dari Korea Utara. Adiknya di panti asuhan. Orang tuanya tertangkap polisi Korut saat mau menyeberang ke Korsel. Dia ikut permainan itu karena butuh uang untuk menyelundupkan orang tuanya dan menyatukan kembali keluarganya.
Abdul Ali yang bernomor 199, si imigran asal Pakistan, adalah pekerja pabrik yang tak kunjung dibayar gajinya. Dia berkelahi dengan bosnya hingga tangan bosnya tergiling mesin, lalu Ali melarikan seamplop duit bosnya yang bernoda darah. Uang itu diserahkannya kepada istrinya agar dia dan anaknya bisa pulang ke negeri asalnya, sedangkan Ali bersembunyi ke tempat permainan itu untuk mendapatkan uang dan menyusul keluarganya.
Si preman yang bernomor 101, Jang Deok-su, juga kena masalah keuangan. Dia adalah anggota gangster yang punya utang banyak karena masalah perjudian. Dia dikhianati anak buahnya dan hampir dibunuh. Beruntung dia berhasil melarikan diri dan mengikuti permainan ini.
Lalu ada si tua bangka, Oh Il-nam, yang bernomor 001. Dia mengaku punya tumor di kepalanya dan datang ke situ karena sudah bosan hidup menanggung penyakit. Dia hanya ingin bermain, katanya.
Singkat kata, semua peserta dalam permainan film Squid Game adalah orang-orang yang dapat masalah, terutama masalah keuangan. Mereka putus asa dan tidak punya apa-apa sebagai jaminan pelunasan utang mereka. Mengetahui bahwa ada permainan yang menawarkan hadiah uang sebanyak itu, siapa yang tidak akan tergiur?
Namun siapa sangka, permainan itu ternyata adalah pertaruhan hidup dan mati. Siapapun yang kalah dalam permainan itu harus menyerahkan nyawanya saat itu juga. Tidak ada belas kasihan. Begitulah peraturannya.
Pada mulanya, para peserta begitu kaget mengetahui peraturan itu di permainan pertama: red light, green light. Melihat orang-orang dieksekusi mati karena kalah permainan sungguh membuat mereka bergidik ngeri. Mereka protes dan diizinkan melakukan pengundian. Jika mayoritas peserta memilih berhenti, maka permainan dihentikan. Saat itu, mayoritas peserta setuju agar permainan itu dihentikan. Mereka lalu dipulangkan.
Tapi kehidupan di luar permainan ternyata tidak kalah menyengsarakan. Sama seperti dalam permainan itu, di luar permainan mereka juga harus berjuang mempertahan hidup mereka. Mereka kembali menghadapi neraka yang tidak kalah kejam daripada permainan itu. Akhirnya, setelah mendapat undangan kembali untuk mengikuti permainan itu, mereka kembali dengan kesadaran penuh akan risikonya.
Inilah yang membuat film seri ini begitu seru. Para peserta mengikuti permainan itu untuk kedua kalinya bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran penuh akan risikonya. Mereka terlibat permainan hidup-mati justru karena tidak tahan menghadapi hidup yang tidak lebih daripada neraka. Judul dari episode kedua, “neraka,” adalah gambaran ironis dari kehidupan orang-orang yang tidak berdaya.
Gambaran itulah yang tampaknya secara tersirat hendak ditampilkan oleh film seri ini. Dunia ini betul-betul tidak nyaman ditinggali oleh mereka yang terhimpit dan tersingkir, karena sistem sosial betul-betul tidak berpihak pada mereka. Lalu ada orang-orang super kaya berpura-pura tampil sebagai penyelamat, dengan membuat kaum tidak berdaya itu berkompetisi untuk mendapat santunan dan menjadikan mereka tontonan. Demikianlah yang dihadapi oleh para peserta permainan itu: mereka hanyalah tontonan yang menghibur bagi kaum elit.
Para peserta itu bermain di tempat misterius itu. Seiring mereka berupaya memenangkan permainan demi permainan: gula-gula dalgona (ppopgi), tarik tambang, main kelereng, lompat kaca, dan permainan cumi-cumi (ojingeo), satu per satu pula mereka berguguran mati atau dieksekusi.
Dalam perjalanan para peserta melewati permainan-permainan itu, penonton disuguhi berbagai karakter manusia dalam menyelesaikan masalahnya. Ada yang culas dan licik, ada yang hangat dan suka membantu, ada pula tipikal individualis yang tidak peduli nasib orang lain. Namun, hanya ada satu kesimpulan dalam kompetisi seperti itu: semuanya terpaksa menjalani persaingan yang kejam dan minim rasa kemanusiaan.
Satu-satunya kesimpulan yang mengejutkan dari film seri ini adalah di permainan terakhir, yaitu permainan cumi-cumi. Di situ pesertanya hanya tinggal dua: Gi-hun dan Sang-woo. Menjelang akhir permainan, Sang-woo sudah tergeletak tidak berdaya dan Gi-hun sudah tinggal selangkah untuk menang. Gi-hun terdiam di situ, seperti berpikir hendak mengambil keputusan. Tapi ternyata dia memilih tidak menginjak kepala cumi-cumi dan kembali kepada temannya yang tergeletak tidak berdaya. Dia memilih mengajak temannya pulang dan mengakhiri permainan itu tanpa ada pemenang. Namun Sang-woo bunuh diri dengan menusuk lehernya sendiri. Akhirnya kemenangan diraih Gi-hun dengan tanpa dikehendakinya.
Di antara semua peserta permainan, Gi-hun memang digambarkan sebagai sosok yang memiliki rasa kemanusiaan meski di tengah-tengah kompetisi yang kejam itu. Dia terlihat geram pada peserta lain yang culas dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dia juga digambarkan sebagai sosok yang membangun rasa saling percaya di antara anggota timnya. Ini berkebalikan dengan peserta lain yang begitu larut dalam kompetisi, hingga kepada sesama anggota timnya pun tidak ada rasa saling percaya.
Konsistensi Gi-hun pada prinsipnya terus diperlihatkan hingga dia dipulangkan dengan hadiah kemenangan. Gi-hun terlihat merasa sangat bersalah hingga selama setahun penuh dia tidak menggunakan uang hadiah yang sangat banyak itu.
Itu berlanjut hingga Gi-hun bertemu sosok di balik permainan misterius itu. Aktor di balik semua itu tidak lain adalah Oh Il-nam, peserta tua bangka nomor 001. Gi-hun bertemu dengannya di sebuah lantai di gedung tinggi. Il-nam sedang berbaring dan memakai masker oksigen bantuan. Dia terlihat sekarat.
Gi-hun bertanya kepada si tua bangka itu kenapa dia membuat permainan kejam itu. Namun, Il-nam menantangnya untuk bermain lain. Jika Gi-hun bersedia, si tua bangka itu akan menjawab semua pertanyaan yang menghantui Gi-hun. Permainannya sederhana, di luar gedung terlihat ada lelaki gembel buta yang tergeletak di trotoar. Saat itu musim dingin, jika tidak ada yang menyelamatkannya maka dia akan mati kedinginan di situ. Jika selama setengah jam ternyata ada yang menyelamatkannya, maka Gi-hun menang. Sebaliknya, jika tidak ada yang mau menyelamatkan gembel itu hingga dia mati di situ, maka Il-nam menang.
Sambil melihat lelaki itu dan orang-orang berlalu lalang melewatinya, terjadi obrolan antara Gi-hun dan Il-nam. Di situ alasan kenapa Il-nam membuat permainan kejam itu diungkap. Singkat kata, permainan kejam itu dibuat oleh para elit super kaya yang tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mendapat kebahagiaan.
Tepat menjelang akhir setengah jam, Il-nam menghembuskan nafas terakhirnya tanpa diketahui oleh Gi-hun. Dan tepat setelah kematian Il-nam, Gi-hun melihat seseorang memanggil polisi untuk membantu gembel tidak berdaya di trotoar itu. Adegan itu sungguh simbolis dan menyiratkan pesan yang menyibak sikap film ini.
Adegan itu memperlihatkan bahwa dunia ini masih bisa jadi harapan untuk orang-orang berprinsip seperti Gi-hun, yakni orang-orang yang tidak terlena dengan kompetisi dan tidak rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Semetara itu, adegan itu juga seperti hendak memperlihatkan bahwa harapan seperti itu kerap luput dari amatan orang-orang seperti Il-nam, yakni orang-orang yang sangat menikmati kompetisi kejam karena memiliki privilese berupa kekayaan dan fasilitas berlebih.
Namun Gi-hun bukanlah tokoh antagonis yang menarik jika hanya berharap pada dunia yang dia tinggali ini dan berhenti di situ. Dia justru menjadi tokoh yang memesona karena di akhir film dia menunjukkan amarahnya pada pengelola permainan, The Front Man, yang menistakan kemanusiaan. “Itu sebabnya,” kata Gi-hun pada The Front Man melalui telepon, “Aku tidak bisa memaafkan kalian atas segala yang kalian lakukan.”