SURABAYA, Tugujatim.id – Sebaran tenaga kesehatan (nakes) di Jatim, terutama dokter spesialis, saat ini tidak merata. Penyebabnya adalah tidak adanya asesmen dari pemerintah daerah (pemda) terkait kebutuhan nakes. Hal itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Moh Adib Khomaini.
IDI mencatat, jumlah dokter di Jatim pada 2023 sebanyak 21.000 orang. Kemudian, jika mengacu pada standar yang ditentukan WHO, idealnya satu dokter melayani 1.000 penduduk, jadi 1:1000.
Tetapi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat saat ini penduduk Jatim berjumlah 41.416.407 jiwa. Artinya, menunjukkan bahwa kebutuhan dokter/nakes di Jatim masih kurang, terlebih di daerah-daerah kecil.
Menurutnya, untuk mengetahui kebutuhan dokter di setiap daerah, maka pemda wajib membuat asesmen tentang alokasi nakes, khususnya dokter spesialis. “Setiap pemda kabupaten/kota harus melakukan sebuah asesmen tentang kebutuhan dokter spesialis. Di setiap daerah, ukurannya jangan nasional karena rasio itu per kabupaten/kota,” kata Adib, pada Kamis (19/10/2023).
Sebetulnya, pemerintah pusat telah mengatur tentang alokasi nakes melalui UU No 23 Tahun 2012 tentang Pemerintah Daerah. “Disebutkan, bahwa kewenangan menempatkan tenaga kesehatan untuk kemudian di alokasi kebutuhan itu ada. Nah ini yang kemudian harus dimulai dari setiap pemda kabupaten/kota,” jelasnya.
Namun menurutnya, jika asesmen tersebut dibuat oleh pemda, maka setiap daerah yang memiliki data dapat saling mendorong untuk pemenuhan nakes.
“Kalau sudah punya asesmen, dokter daerah akan melakukan ‘lebih ayo kita dorong ke daerah lain yang masih kosong’. Sehingga daerah yang penuh bisa mengatakan ‘untuk periode satu tahun ini saya mengatakan daerah saya tutup untuk penerbitan SIP’,” bebernya.
Jika tidak, maka nakes, terlebih dokter spesialis, akan lebih memilih penempatan kerja di kota-kota besar dengan akses yang mudah dan fasilitas mumpuni. Apalagi, jika dokter tersebut berlatar belakang mahasiswa mandiri, bukan beasiswa. Sehingga, tidak terikat pada kebijakan apapun.
“Kebijakan itu belum pernah ada. Akhirnya baik dokter umum maupun spesialis, dia akan mencari tempat yang ekonominya tinggi karena sekolah kedokteran bukan dibiayai oleh negara, sebagian besar adalah mandiri. Kecuali nanti dapat beasiswa, dia kontrak daerah dan kembali ke daerah. Ini yang sekarang dilakukan walaupun secara jumlah belum cukup, tapi ini yang harus kita dorong,” ucapnya.
Meski begitu, Adib tak menampik bahwa setiap dokter pasti bersedia jika ditempatkan pada daerah terpencil. Namun, juga harus didukung oleh kesejahteraan dan fasilitas sesuai kebutuhan.
“Jenjang karir, kesejahteraan, insentif, dan sarana prasana itu menjadi jaminan sehingga kita bisa untuk mendorong teman-teman dokter mau ke daerah. Saya katakan, kami akan siap membantu daerah, me-marketing, memberikan pemahaman supaya mereka mau ke daerah. Tapi tentu ada pertanyaan, nanti bagaimana saya di sana> Ini perlu ditegaskan dari pemda,” pungkasnya
Reporter: Izzatun Najibah
Editor: Lizya Kristanti