MALANG, Tugujatim.id – Ada dugaan kejahatan yang disengaja dan sistematis dalam tragedi Kanjuruhan yang merenggut nyawa ratusan suporter Arema FC, Aremania, pada 1 Oktober 2022 lalu.
Hal ini diungkapkan Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Mereka telah melakukan investigasi selama kurang lebih selama tujuh hari ini.
Dalam kurun waktu sepekan itu, mereka telah turun langsung ke lapangan bertemu dengan sejumlah saksi, korban, dan keluarga korban. Meski masih dalam kondisi berduka, masyarakat Kota Malang tetap menuntut keadilan.
“Dari hasil investigasi, kami mendapat temuan awal bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merupakan dugaan kejahatan yang terjadi secara sistematis. Artinya, tidak hanya melibatkan pelaku di lapangan,” ungkap Daniel Alexander dari LBH Surabaya Pos Malang, pada Senin (10/10/2022).
Dugaan itu dijabarkan Daniel dari temuan awal, bahwa terdapat mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata pada pertengahan babak kedua. ”Padahal saat itu tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan,” beber Daniel.
Hingga kemudian begitu peluit panjang ditiup, kata dia, ada sejumlah suporter yang masuk ke lapangan dengan motif sederhana untuk memberikan motivasi dan dukungan moril kepada pemain. Namun, itu direspon berlebihan oleh pihak aparat sehingga terjadi tindak kekerasan.
”Hal inilah yang kemudian membuat suporter lain ikut turun ke lapangan untuk menolong suporter lain yang mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan. Situasi seperti ini wajar terjadi dalam sepak bola,” jelasnya.
Lagipula, kata dia, dalam situasi itu, aparat keamanan juga diketahui tidak menggunakan cara pencegahan lain sebelum benar-benar memutuskan menembak gas air mata. Terlebih, gas air mata yang ditembakkan juga mengarah ke tribun, tepatnya di sisi selatan, timur, dan utara sehingga menimbulkan kepanikan luar biasa.
Sementara, dalam situasi kepanikan itu diketahui ada sejumlah pintu yang terkunci sehingga terjadi penumpukan orang. Hal ini berdampak sangat fatal yang mengakibatkan para korban sulit bernafas hingga menimbulkan korban jiwa.
Setelah mengalami rentetan peristiwa kekerasan, tambah dia, para suporter yang keluar dengan kondisi berdesak-desakan, minim mendapat pertolongan dengan segera dari pihak aparat kepolisian, para korban dengan caranya sendiri berusaha untuk keluar;
Peristiwa kekerasan dan penderitaan tidak hanya terjadi di dalam stadion, tetapi juga terjadi di luar stadion. Diketahui, aparat kepolisian juga ikut melakukan penembakan gas air mata kepada para suporter yang berada di luar stadion.
”Diketahui juga terdapat tindak kekerasan yang dialami para suporter. Mulai menyeret, memukul, dan menendang yang tidak hanya dilakukan anggota Polri tetapi juga dilakukan oleh prajurit TNI,” bebernya.
Lebih lanjut, pasca peristiwa, diketahui ada pihak-pihak tertentu yang melakukan intimidasi, baik lewat sarana komunikasi maupun secara langsung. ”Kami menduga hal ini dilakukan agar menimbulkan suatu ketakutan kepada para saksi dan korban agar tidak memberikan suatu kesaksian,” ucapnya.
Bahkan, sambung Daniel, hingga saat ini tidak ada informasi yang mendetail dari pemerintah berkaitan dengan data korban jiwa dan luka yang dapat diakses bebas oleh publik, termasuk informasi perkembangan penanganan kasus yang saat ini ditangani pihak kepolisian.
”Bahkan hingga saat ini pihaknya belum melihat kerja riil dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk menemui sejumlah saksi dan korban,” ucapnya.
Daniel menambahkan bahwa sejak tragedi terjadi, bahkan belum sampai sepekan, muncul banyak narasi yang bias, mulai temuan minuman beralkohol hingga penggunaan terminologi kerusuhan.
Menurut dia, penyampaian informasi ini dapat menyesatkan fokus penyebab kasus ini. Apalagi, tidak mungkin ada minuman alkohol di dalam stadion dikarenakan saat masuk ke dalam stadion sudah pasti dilakukan pengecekan.
Dari berbagai temuan awal tersebut, pihaknya menilai telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis, dilakukan oleh aparat keamanan, dengan tidak hanya melibatkan aktor lapangan saja, yang saat ini telah ditetapkan tersangka oleh aparat kepolisian.
”Tetapi ada aktor lain, dengan posisi lebih tinggi yang seharusnya ikut bertanggung jawab, dan perlu diproses hukum lebih lanjut,” tegasnya.
”Hingga saat ini, proses investigasi masih terus dilakukan. Kami bertemu dengan sejumlah saksi, korban yang saat ini masih kondisi parah. Ada yang mengalami gegar otak, luka memar bagian muka dan tubuhnya, ruam merah pada muka, hingga trauma yang berat,” pungkasnya.