Tugujatim.id – Tradisi pemakaman suatu daerah kadang berbeda dengan daerah lainnya bahkan di daerah lain hal itu terlihat unik. Salah satunya, pemakaman di Pulau Dewata Bali yang terkenal kentalnya tradisi dan budaya yang masih terus dipertahankan oleh warganya.
Dilansir dari duniapendidikan.com, ada satu desa tua yang masih memegang teguh warisan dan tradisi leluhur yang disebut Desa Trunyan di Bali. Desa Trunyan merupakan desa kecil yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Jika menilik ke belakang, desa ini memiliki sejarahnya sendiri sekaligus sebagai salah satu dari tiga suku asli Bali.
Tercatat dalam prasasti Trunyan bahwa pada tahun Saka 813 Masehi, Raja Singhamandawa memberikan izin kepada penduduk setempat untuk mendirikan pura Turun Hyang atau Pura Pancering Jagat.
Pura ini kemudian akan dijadikan sebagai tempat pemujaan Betara Da Tonta (Hyang Pancering Jagat). Pura Turun Hyang juga dilengkapi meru tumpang pintu (tujuh) serta dipercaya sebagai pura pertama di Bali.
Masyarakat Trunyan menyebut diri mereka Bali Turunan Ratu Sakti Pancering Jagat atau orang yang pertama kali turun dari langit dan menempati Pulau Bali.
Sedangkan masyarakat Bali lainnya mereka sebut sebagai Bali Suku yang artinya keturunan dari penduduk kerajaan Majapahit pada zaman dahulu yang tinggal dan menetap di Bali.
Masyarakat Trunyan memang menganut agama Hindu, namun mereka juga memiliki kebudayaan yang berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Warga desa ini tidak melakukan acara Ngaben (pembakaran jenazah).
Keunikan Desa Trunyan
Keunikan tradisi pemakaman jenazah Desa Trunyan hingga saat ini menjadi tradisi yang secara turun temurun dilakukan oleh warganya.
Pemakaman di Desa tersebut dilakukan dengan membungkus jenazah menggunakan kain kafan, kemudian ditaruh di bawah taru menyan yang dikelilingi anyaman bambu yang disebut ancak saji.
Jenazah kemudian diletakkan begitu saja di area pemakaman tanpa dikubur atau melalui ritual ngaben seperti umumnya masyarakat di Pulau Bali. Jenazah justru dibiarkan terbuka, membusuk hingga menyatu dengan tanah secara alami.
Yang membuat aneh, mayat tidak mengeluarkan bau busuk sedikitpun. Bau ini kemungkinan sudah diserap oleh pohon menyan yang tumbuh besar di areal pemakaman.
Bila semua sangkar sudah terisi atau penuh, maka jenazah yang paling lama akan dikeluarkan dan dipindahkan untuk memberi ruang bagi mayat yang baru dengan meletakkannya di atas tumpukkan. Tubuh mayat ini akan hancur jika terkena matahari ataupun hujan, tulang-tulangnnya akan diletakkan di sebuah altar di bawah pohon suci.
Tak hanya itu, ada hal unik lainnya jika Anda berkunjung ke Desa Trunyan. Di desa ini Anda tidak akan menemukan perempuan asli desa Trunyan berkunjung ke pemakaman. Warga setempat percaya jika perempuan berkunjung ke pemakaman maka akan terjadi gempa bumi atau letusan gunung berapi.
Desa ini kemudian menjadi salah satu destinasi wisata yang acap kali dikunjungi oleh warga nonlokal. Di sana pengunjung akan melihat jenazah-jenazah yang berjejer rapi, tebaran, tulang belulang yang berjejer hingga barang yang akan dibiarkan begitu saja bersama jenazah.
Tiga Jenis Kuburan di Desa Trunyan
Di Desa Trunyan tidak semua jenazah diletakkan dalam satu area pemakaman. Dilansir dari regional.kontan.co.id, Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang diklasifikasi berdasarkan umur orang yang meninggal.
Yang pertama, Seme Bantah yang diperuntukkan bagi mereka yang meninggal tidak wajar. Kedua, Seme Wajah diperuntukan bagi mereka yang meninggal secara wajar. Ketiga, Seme Muda diperuntukkan bagi bayi, anak kecil dan mereka yang belum menikah.
Akses Wisata Desa Trunyan
Akses untuk bisa sampai ketempat ini tidaklah mudah. Wisatawan harus menggunakan perahu untuk bisa menyeberangi Danau Batur dan menghabiskan waktu 45 menit menuju Trunyan. Namun demikian, perjalanan ini cukup menyenangkan karena bisa menyaksikan hal-hal menarik dengan mata kepala sendiri.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim