BOJONEGORO, Tugujatim.id – Masyarakat Jawa mempunyai tradisi turun temurun dalam menolak musibah atau dikenal dengan tolak bala. Bahkan tak jarang setiap daerah memiliki tradisi berbeda namun tetap dengan tujuan yang sama.
Tradisi tolak bala dilakukan saat bulan Dzulqa’dah atau dalam Bahasa Jawa disebut bulan Selo. Karena bulan ini dianggap bulan tidak baik, sebab Selo merupakan kepanjangan dari “keseselan olo (kemasukan sesuatu yang buruk)”. Di bulan ini juga masyarakat Jawa tak ada yang menggelar resepsi pernikahan, sangat bertolak belakang dengan bulan sebelum dan sesudahnya yaitu bulan Syawal dan Dzuhijjah.
Namun di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, ada juga masyarakat Jawa, terkhusus di wilayah Bojonegoro menggelar tradisi tolak bala pada bulan Dzulhijjah.
Untuk melakukan tradisi tolak bala, setiap rumah diharuskan membuat sepiring bubur. Yang menjadi ciri khas bubur tolak bala adalah bahan yang digunakan berbeda dengan bubur yang dijual pada umumnya. Bubur tolak bala berbahan dasar tepung beras. Sama halnya dengan membuat bubur sum-sum, namun tanpa diberi garam, santan, atau campuran bumbu lainnya.
Sedangkan untuk penyajiannya, bubur tesebut diletakkan pada piring yang telah beraskan daun pisang. Kemudian di atas bubur tolak bala ditaburi bubuk kopi hitam yang dibentuk silang. Hal ini diartikan masyarakat menolak bala atau musibah.
Kemudian pada sore atau malam hari, masayarakat akan berkumpul di tempat terbuka, seperti jalan pertigaan atau perempatan yang ada di desanya. Mereka akan membawa bubur yang telah dibuat. Selain itu, masyarakat ada yang membawa nasi beserta lauk pauk atau disebut nasi ambeng.
Warga yang telah berkumpul akan membaca yasin dan tahlil bersama-sama, tak lupa juga doa tolak bala sebagai tujuan utama, rangkaian ini disebut dengan istighosah tolak bala. Salah satu doa yang dibacakan, yaitu
“Allahummadfa’ ‘annal ghalaa’a wal walbalaa-a walwabaa-a walfahsyaa-a walmunkara was suyuufal mukhtalifata wasy syadaa-ida wal mihana maa zhahara minhaa wamaa baathana mim baladinaa khaashshataw wamim buldaanil muslimiina ‘aam-mah. Innaka ‘alaa kulli syai-in qadiir.”
Artinya: Ya Allah, hindarkanlah kami dari kesulitan ekonomi, musibah, penyakit, kekejian, kemunkaran, bencana peperangan, kesulitan-kesulitan, dan berbagai petaka, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, khususnya dari negeri kami ini dan dari negeri-negeri kaum muslim pada umumnya; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Saat pemimpin membacakan doa penutup, setiap individu bisa meminta apapun yang di inginkan dengan mengadahkan tangan kepada Allah SWT.
Setelah doa selesai, sepiring bubur yang telah dibawa tadi akan dibuang, ini memiliki makna masyarakat membuang bala atau musibah. Setelah itu mereka akan menyantap nasi ambeng bersama-sama.