Oleh : Lutfa Putri Valentina*
Remaja merupakan generasi emas penerus bangsa karena remaja inilah yang akan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa Indonesia di semua bidang, baik ekonomi, sosial, dan lain-lain.
Namun saat ini, remaja dihadapkan dengan tantangan yang luar biasa yaitu kenakalan remaja. Kenakalan remaja atau yang disebut juga juvenille delinquency merupakan suatu tindakan remaja yang melenceng atau berlawanan dengan norma umum, yaitu norma yang ada di kehidupan baik lingkup keluaraga maupun masyarakat.
Kondisi remaja saat ini penuh tantangan. Salah satunya adalah Triad KRR (tiga ancaman dasar kesehatan reproduksi remaja), yakni pernikahan dini, seks bebas, dan penyalahgunaan Napza.
Di Indonesia, terdapat satu dari sembilan perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun (Susenas; 2016). Dari 62.558.408 keluarga di Indonesia (hasil pemutakhiran BDKI; 2018), 2,66 persen di antaranya dikepalai oleh laki-laki yang berusia di bawah 19 tahun (Profil Keluarga Indonesia; 2018).
Berbagai kajian menunjukkan bahwa remaja perempuan usia 10-14 tahun berisiko meninggal saat hamil dan melahirkan lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun.
Selain permasalahan tentang pernikahan dini, tantangan seks bebas juga sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang ada, anak yang sudah melakukan hubungan seks sebelum menikah pada usia 11-14 tahun mencapai 6 persen. Sedangkan kelompok usia 15-19 tahun, sebanyak 74 persen laki-laki dan 59 persen perempuan juga mengaku pernah melakukan hal tersebut. Kemudian, pada usia 20-24 tahun, jumlah yang sudah berhubungan seks sebelum menikah mencapai 12 persen untuk laki-laki dan 22 persen untuk perempuan (Hasto Wardoyo; 2022).
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada 2021 sebanyak 36.902 kasus. Dari jumlah itu, mayoritas penderitanya merupakan usia produktif. Penderita kasus HIV paling banyak berasal dari rentang usia 25-49 tahun dengan persentase 69,7 persem pada 2021. Lalu disusul rentang usia 20-24 tahun sebesar 16,9 persen dan penderita HIV di atas 50 tahun sebesar 8,1 persen. Sementara itu, sebanyak 3,1 persen penderita HIV berasal dari usia 15-19 tahun dan usia di bawah 4 tahun sebanyak 3,1 persen dan 1,4 persen. Kemudian, persentase terkecil penderita HIV yang dilaporkan terdapat pada usia 5-14 tahun sebesar 0,7 persen.
HIV merupakan virus yang menginveksi serta merusak sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, mengakibatkan daya tahan tubuh akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.
Ketika HIV tidak segera ditangani makan akan semakin parah dan menjadi kondisi serius yang disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). AIDS merupakan stadium akhir dari virus HIV. Pada saat itu kemampuan tubuh untuk melawan virus telah hilang sepenuhnya.
HIV menular melalui cairan, seperti darah, sel sperma, cairan vagina, cairan anus, serta asi. Dan perlu diketahui bahwa HIV tidak menular secara exsternal atau dari luar, seperti udara, air, keringat, air mata, gigitan nyamu, air liur, maupun sentuhan fisik.
HIV biasa disebut dengan penyakit abadi atau penyakit seumur hidup. Itu artinya penyakit HIV akan menetap di tubuh penderita sepanjang hidupnya. Sampai saat ini belum ada metode pengobatan yang bisa menyembuhkan penderita HIV. Akan tetapi ada obat yang bisa digunakan untuk memperlambat perkembangan penyakit ini dan dapat meningkatkan harapan hidup penderita.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2019, terdapat lebih dari 50.000 kasus infeksi HIV di Indonesia. Dari jumlah tersebut, kasus HIV paling sering terjadi pada heteroseksual, diikuti lelaki seks lelaki (LSL) atau homoseksual, pengguna NAPZA suntik (penasun), dan pekerja seks.
Selain itu, jumlah penderita HIV di Indonesia semakin hari terus meningkat. Berdasarkan catatan, di tahun 2019 terdapat 7.000 lebih penderita AIDS dengan angka kematian mencapai lebih dari 600 orang setiap tahunya.
Meskipun angka penderita AIDS di Indonesia semakin tinggi, pada tahun 2005-2026 tingkat kematian penderita AIDS semakin berkurang. Hal ini membuktikan bahwa di Indonesia pengobatannya berhasil menurunkan tingkat kematian penderita AIDS.
Gejala yang dialami oleh penderita positive HIV yaitu mengalami flu ringan sekitar 2-6 minggu setelah terinveksi. Ketika flu juga bisa disertai dengan gejala-gejala yang lainnya selama 1-2 minggu. Setelah flu membaik, gejala-gejala yang lainnya mungkin tidak akan terlihat selama bertahun-tahun, meskipun virus HIV telah merusak system kekebalan tubuh. Dan pada akhirnya akan berkembang sampai pada stadium lanjut yaitu AIDS.
Pada kebanyakan kasus, seseorang baru mengetahui bahwa dirinya terserang HIV setelah memeriksakan diri ke dokter akibat terkena penyakit parah yang disebabkan oleh melemahnya daya tahan tubuh. Penyakit parah yang dimaksud antara lain diare kronis, pneumonia, atau toksoplasmosis otak.
Pada peringatan hari AIDS sedunia tanggal 1 Desember 2022 ini, mengangkat tema “EQUALIZE”. Tema ini mempunyai arti besar yaitu sebagai tindakan menyetarakan akses dan fasilitas layanan pengobatan HIV, terutama untuk anak-anak, pekerja seks serta pengguna narkoba. Ini artinya, tema Equalize menuntut adanya undang-undang atau kebijakan yang mengatur stigma dan eksklusi yang dihadapi pengidap HIV. Dengan demikian, kehadiran penderita HIV bisa dihormati dan diterima dengan layak oleh publik.
Penderita yang telah terdiagnosis HIV harus segera mendapatkan pengobatan berupa terapi antiretroviral (ARV). ARV bekerja mencegah virus HIV bertambah banyak sehingga tidak menyerang sistem kekebalan tubuh. Dan lebih parahnya kalau tidak segera diobati akan timbul penyakit-penyakit dan sampai di puncaknya menjadi AIDS.
*Penulis merupakan Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam IAI Al-Qolam