SURABAYA, Tugujatim.id – Dinas Kesehatan Kota Surabaya menargetkan 51 kelurahan bisa stop buang air besar sembarangan (BABS) sampai akhir 2022. Karena larangan BAB sembarang, dinkes gencar giat sosialisasi pentingnya jamban sehat.
Kadinkes Surabaya Nanik Sukristina mengatakan, sampai saat ini ada 82 kelurahan yang sudah ODF (open defection free, red) per September 2022. Data tersebut diharapkan bertambah seiring sosialisasi dampak BAB sembarangan oleh dinkes.
“Di setiap kelurahan di Surabaya melalui puskesmas tidak kurang-kurangnya kami lakukan sosialisasi dari dampak kesehatan BAB sembarangan dan pentingnya jamban sehat,” katanya saat dikonfirmasi Tugu Jatim pada Sabtu (24/09/2022).
Untuk diketahui, Kecamatan Tenggilis Mejoyo merupakan wilayah yang tercatat terendah dalam kasus BABS, sementara Kecamatan Semampir menjadi yang paling tinggi.
Dia melanjutkan, jika sistem monitoring ODF di setiap kelurahan dimulai dari identifikasi rumah yang masih melakukan BABS melalui Kader Surabaya Hebat (KSH). Selanjutnya hasil identifikasi tersebut diverifikasi BABS oleh puskesmas, kelurahan, dan kecamatan. Hasilnya akan dikoordinasikan dan disinkronkan dengan OPD (organisasi perangkat daerah) terkait yang memiliki program pembangunan jamban sehat.
Seperti halnya dinas lingkungan hidup (DLH), dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman serta pertanahan (DPRKPP), dan dinas sumber daya air dan bina marga (DSDABM).
“Pernah saat pengecekan ternyata masih ada rumah yang saluran pembuangan BAB-nya langsung ke selokan atau sungai,” jelasnya.
Perilaku BABS yang dilakukan masyarakat bukan tanpa sebab. Nanik menyebut beberapa faktor yang memengaruhi. Di antaranya faktor ekonomi, keterbatasan lahan, demografi (rumah yang berada di sepanjang aliran sungai ditemukan BABS karena saluran pembuangan tinja dialirkan ke sungai), dan sosial budaya (BABS sudah dilakukan turun temurun).
“Faktor keterbatasan lahan di sini yang paling dominan. Jumlah rumah melakukan BABS yang menempati lahan bukan miliknya ada sebanyak 66,29 persen,” ucapnya.
Nanik juga menyebut, dampak yang ditimbulkan dari perilaku BABS ada berbagai macam. Mulai dari pencemaran air dan tanah, gangguan status kesehatan masyarakat sekitar, hingga timbulnya beberapa penyakit.
“Dalam konteks ini ada dampak yang ditimbulkan yaitu kerentanan terhadap beberapa penyakit. Seperti penyakit diare, disentri, typus, kolera, cacingan, dan hepatitis,” terangnya.
Untuk ke depan dalam percepatan wilayah ODF ini, Nanik berharap ada penerbitan SE dari Wali Kota tentang Percepatan Kelurahan ODF. Selain itu, juga melibatkan berbagai OPD terkait, pergururan tinggi, dan organisasi sosial dalam sosialisasi percepatan ODF dan dampak buruk BABS.
“Setiap kelurahan disebut ODF jika masyarakat di setiap KK bisa mengakses jamban sehat,” ujarnya.