Oleh: Ya’qud Ananda Gudban
Hari menjelang siang. Jam besuk akan berakhir sebentar lagi. Anak lelaki itu meraung, mencampur kekecewaan sekaligus kemarahan, akibat ayahnya masih juga belum selesai menyelesaikan “urusan”-nya di “kantor”. Sang ayah sengaja meletakkan rompinya di pundak. Rompi khusus bagi warga binaan alias narapidana.
Tak jauh dari situ adik si bocah lelaki, perempuan berumur sekitar enam tahun, hanya bisa tercenung. Dia seperti tak mampu memahami sebab mengapa kakaknya menangis dan ayahnya lagi-lagi masih harus kembali ke “ruang rapat”. Betapa pun matanya tidak berkedip, pertanda dia berpikir keras, gadis mungil itu tak kunjung berhasil menemukan kosakata yang bisa diucapkan untuk mengekspresikan isi hatinya.
Pemandangan anak beranak itu boleh jadi hanya secuil dari pengalaman serupa yang dilalui oleh ribuan narapidana yang juga terpaksa berpisah dari keluarga mereka. Dan menjadikan sekian banyak hasil studi sebagai rujukan, tersedia alasan untuk membayangkan bahwa ribuan anak-anak dari orang tua yang berstatus pesakitan juga akan menyongsong kondisi yang jauh dari membahagiakan.
Para ilmuwan yang menyimpulkan bahwa, antara lain, anak-anak semacam itu memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan watak antisosial dan problem psikologis semisal depresi. Sejelek-jeleknya akibat perceraian terhadap anak, tetap lebih buruk dampak pemenjaraan orang tua terhadap anak-anak mereka. Setali tiga uang ketika yang menghuni hotel prodeo adalah figur ibu. Pengalaman ibu berada di dalam penjara berhubungan dengan kenakalan, buruknya pencapaian akademik, bahkan putus sekolah anak-anak mereka. Dengan berbagai konsekuensi negatif yang harus ikut ditanggung oleh anak-anak para narapidana, terlebih narapidana dari kalangan sosial ekonomi bawah, negara sudah hadir bagi anak-anak itu. Dasar untuk itu tertulis dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, bahwa anak-anak tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif. Jadi, betapa pun orang tua mereka bermasalah, namun anak-anak tetap harus terpenuhi hak-haknya.
UU memuat ketentuan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang mengalami stigmatisasi akibat perbuatan orang tua mereka. Artinya, negara berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang, misalnya, dikucilkan teman-temannya dan dikeluarkan dari sekolahnya manakala perlakuan-perlakuan tersebut dilatari oleh status orang tua mereka, termasuk orang tua yang bermasalah dengan hukum.
Tapi di luar situasi stigmatisasi, tentu kita berharap negara berperan besar untuk memperlakukan anak-anak para narapidana setara dengan anak-anak dari orang tua yang bukan warga binaan.
Harapan
Kembali ke dampak buruk yang bisa dihadapi oleh anak-anak dari para narapidana, memang tak serta-merta situasi pemenjaraan berefek negatif terhadap anak-anak.
Orang tua yang melakukan kekerasan di dalam keluarga, ketika mereka kemudian dikirim ke bui, tidak ditemukan ada pengaruh yang merugikan bagi proses tumbuh kembang anak-anak mereka. Memenjarakan orang tua semacam itu justru melindungi anak-anak sehingga membuka peluang lebih tinggi bagi mereka untuk berkembang secara lebih wajar.
Kemungkinan anak-anak mengalami kondisi buruk bisa ditekan ketika akses bagi narapidana untuk bisa berkomunikasi secara lebih intens dengan buah hati mereka. Paling tidak, peluang itu diprioritaskan bagi para warga binaan yang memiliki anak-anak yang masih duduk di bangku TK, SD, dan SMP.
Komunikasi yang dimaksud, misalnya, difasilitasi dengan pemberian waktu lebih untuk menelepon maupun melakukan pertemuan virtual, dibanding waktu bagi warga binaan yang belum punya anak.
Kegiatan-kegiatan tersebut memang tetap tidak dapat menggantikan kehadiran orang tua secara fisik. Juga tidak menyelesaikan segala kompleksitas terkait anak dan para orang tua yang menjadi pesakitan di lembaga pemasyarakatan. Namun, setidaknya itulah jalan paling realistis agar relasi anak dan orang tua mereka hingga derajat tertentu tetap dapat terpelihara.
Tidak hanya manfaatnya yang dapat dirasakan anak-anak. Dengan tetap memiliki ruang untuk menjalankan peran pengasuhan, diharapkan terasah pula moralitas para warga binaan. Dengan moralitas yang semakin baik dari waktu ke waktu, semakin lebar pula prospek mereka menjadi warga negara yang lebih bertanggung jawab nantinya.
Yang paling mendasar adalah bagaimana sistem peradilan pidana di Tanah Air semakin intens meninjau ulang ragam hukuman yang dikenakan bagi para pelaku kejahatan dan pelanggar hukum. Salah satu poin yang patut menjadi bahan kajian adalah apakah para pelaku kejahatan nirkekerasan memang harus dikenakan hukuman badan berupa pemenjaraan.
Pembahasan ulang tentang hukuman tersebut sesungguhnya kian menemukan relevansinya saat ini. Pertama, seiring dengan pembahasan revisi KUHP di parlemen, penting ditemukan perlakuan-perlakuan yang tidak mencederai secara serius hubungan antara pelaku pidana dan keluarga khususnya anak-anak mereka.
Kedua, salah satu komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit adalah mengedepankan penyelesaian pertikaian lewat mekanisme keadilan restoratif. Manakala keadilan restoratif telah melandasi kerja seluruh unsur dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, patut diharapkan bahwa misi pemasyarakatan (reintegrasi) akan lebih dapat menjadi kenyataan. Tak terkecuali reintegrasi antara orang-orang yang terhukum dan buah hati mereka.