Tugujatim.id – Friedrich Nauman, pelopor politik asal Jerman pernah berkata, “jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya”. Inilah salah satu kalimat inspiratif yang mengilhami seseorang memilih terjun ke dunia politik. Nah, suatu waktu, penulis pernah diajak oleh seorang kepala daerah untuk turun ke gelanggang politik. Tepatnya, merebut hati publik dengan cara ber-kontestasi yang sehat dalam ikhtiar sungguh-sungguh (ijtihad) menjadi wakil rakyat. Menurutnya, penulis sudah cukup menyatu (berkelindan) dengan dunia aktivis dan dinamikanya. Bersuara dari luar sistem selama dua puluh satu tahunan. Volumenya cukup kencang. Tak jarang juga keras. “Waktunya masuk sistem,” tandasnya.
Tentu, yang mengajak penulis adalah seorang tokoh sekaligus pendiri Partai, yang juga punya nama besar di kawasan Jawa Timur. “Saya yakin, jika anda mampu memenangkan hati masyarakat (terpilih), pasti dapat mewarnai. Bahkan, secara bertahap akan mampu berkontribusi dalam memulihkan citra wakil rakyat yang kian terjerembab,” ungkapnya meyakinkan. Singkat cerita, penulis menganggukkan kepala. Mengiyakan ajakannya dengan menjadi politisi dadakan, tepatnya ‘politisi sehari’. Kok demikian? Iya. Seketika itu penulis dibikinkan kartu tanda anggota (KTA) Partai. Awam politik? Tidak juga.
Jujur, dunia politik tak asing buat penulis. Beberapa kali didapuk sebagai konsultan politik walaupun tak punya riwayat sarjana ilmu politik. Bahkan, sesekali diposisikan sebagai penyerang (striker) untuk suatu pertarungan jabatan tertentu. Dan, beberapa kali pula, sukses! Kembali ke soal politisi instan tadi. Praktik menjadi politisi sehari, sejauh yang penulis tahu, terjadi hampir di mayoritas parpol. Ini bukan cerita baru. Mengapa? Karena Partai politik sulit melakukan pengkaderan yang serius dan sistematis untuk disiapkan, misalnya calon kepala daerah maupun calon legislatif. Bahkan, walaupun sudah ada kader sendiri, tak jarang partai memilih non kader dalam ritual perhelatan demokrasi atas pertimbangan rasional. Melewati tahapan sebagai kader Partai, bukan jaminan dipinang untuk pagelaran demokrasi. “Rumput tetangga lebih hijau”. Demikian obrolan para politisi. Itulah politik. Penuh misteri, sarat intrik, dan berpotensi saling gigit!
Kilas cerita penulis di atas, relevan dengan apa yang menjadi hiruk-pikuk tiga-empat hari ini. Seorang jenderal diduga akan melakukan kudeta terhadap seorang mayor. “Apa, iya?” gumam penulis sambil meneguk kopi hitam. Terhadap ungkapan satire tersebut, penulis yakin seyakin-yakinnya bahwa, seseorang tak akan dapat melakukan kudeta terhadap suatu jabatan di partai politik tanpa dua hal utama, yakni pertama, ada yang secara sengaja mengajak yang bersangkutan untuk bergabung sebagai anggota Partai; kedua, ia diundang atau dilamar untuk menduduki jabatan dengan pertimbangan tertentu, bersifat jangka panjang. Misalnya, demi menaikkan elektabilitas, Partai membutuhkan sosok yang diterima pelbagai kalangan, visioner, dan memiliki gagasan segar (yang) sarat kebaruan dan berkemajuan.
Nah, bagi penulis, yang terhampar di layar kaca saat ini (isu kudeta) dan kini menggelinding dan ramai didiskusikan, tergolong biasa saja. Termasuk, tak ada korelasinya dengan siapa (telah) memberi jasa apa (karier Moeldoko muncer di era SBY), mempunyai etika politik atau sebaliknya, dan sederet sopan santun (fatsun) politik yang dipedomani para politisi. Singkatnya, gemuruh politik yang muncul ke permukaan itu, analisa penulis, lebih merupakan kegelisahan sebagian kader akan nasib Partai Demokrat menuju pemilu yang akan datang. Mungkin juga karena faktor ketidaksiapan atau tidak percaya diri (unconfident) dipimpin oleh seorang AHY. Secara kebetulan, mungkin sosok Moeldoko dianggap memikat untuk ‘diikat’: memiliki daya pikat bagi partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu. Tentang, apakah kemudian sang Kepala Staf Presiden (KSP) akan diterima sebagai kader atau sebaliknya, itu soal lain.
Jika merunut pada pemberitaan yang tersaji, ada sederet tokoh partai (aktif dan non aktif) yang membuka komunikasi politik dengan tokoh asal Kediri, Jawa Timur, yang notabene di luar kader. Pastinya, membincang Partai dan dinamikanya. Tak berhenti di situ, konon, bukan kader itu sengaja disowani (didatangi), diajak berdiskusi, dan dilamar untuk menduduki jabatan strategis di Partai berlambang mercy itu. Gayung bersambut. Tak ada penolakan. Tak pula mengiyakan. Artinya, dalam politik melekat karakter dinamis.
Alhasil, realitas yang demikian itu tak dapat disebut sebagai upaya perebutan kekuasaan dengan cara paksa (kudeta). Sejatinya kudeta datang dari dalam. Bukan dari luar. Hanya mereka yang secara kepartaian memiliki KTA, pengikut yang signifikan, mampu mempengaruhi, dan piawai meyakinkan para kader. Kenyataanya, yang diduga akan melakukan kudeta hingga saat ini belum mengantongi KTA Partai yang pernah berkuasa itu. Dari sini, insting politik musti jalan, dan diluruskan. Bukan jalan di tempat alias mabniyyun (tetap). Kecuali, ada agenda tersembunyi (hidden agenda), seperti mengais dukungan dengan politik iba sebagai senjata. Tampil sebagai korban (playing victim) yang bermuara pada naiknya elektabilitas Partai pada 2024 nanti.
Hemat penulis, untuk yang terhormat Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, lakukan evaluasi kepemimpinan sesegera mungkin. Contoh, mengapa orang di sekitar anda melabuhkan dukungan pergantian Ketua Umum pada SDM non kader. Mungkinkah kepercayaan (trust) yang melekat selama ini mulai tergerus (distrust) karena suatu hal. Apa yang harus dilakukan dalam mengatasi dua hal krusial tersebut.
Kemudian, dalam waktu yang tidak terlalu lama, gelarlah konsolidasi internal. Lakukan pendekatan persuasif pada mereka yang mulai bergerak (moving), bersuara lantang soal kudeta. Yakinkan, bahwa era kepemimpinan anda baik-baik saja. Dengan peningkatan usaha yang terencana, terukur dan terprediksi, elektabilitas Partai akan tetap terjaga ritmenya hingga pesta demokrasi yang akan datang. Pastikan, bahwa anda masih layak dan patut dipercaya untuk menuntaskan tugas pucuk pimpinan hingga ujung, kongres tiba. Jangan lupa, mintalah nasihat pada Pak SBY, ayah anda yang sudah berpengalaman sebagai Ketua Umum Partai, bahkan Presiden.
Hampir lupa. Jangan beri ruang kecurigaan pada publik bahwa anda sedang memainkan politik iba. Hal itu tak menguntungkan untuk Partai Demokrat. Bermain teori playing victim sungguh tak dapat di-copy paste (disalin) begitu saja. Salah-salah, tak saja dukungan internal yang terancam, kepercayaan masyarakat pun dipertaruhkan! Sudahlah. Konsentrasi anda fokuskan ke dalam. Kurangi buang energi keluar. Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) tak kunjung berlalu. Imunitas tubuh musti terus dijaga. Jika tidak, istri anda, Mbak Annisa Pohan (yang) susah juga. Terlebih, rumah politik anda, bukan? Kalimat penutup ini jangan diambil hati. Saat usai menulis saran ini, penulis sedang minum kopi tegukan terakhir. Saya kira, itu saja, Mas AHY. (*)
