Oleh: Devita Tri Ernawati-009, Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang
MALANG, Tugujatim.id – Prof Dr KH Haedar Nashir MSi, Ketua Umum PP Muhammadiyah adalah kader otentik Muhammadiyah. Sejak di usia yang masih belia, dia aktif sebagai ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) 1983-1986 (sebagai ketua I, bidang pengkaderan), kemudian Departemen Kader PP Pemuda Muhammadiyah 1985-1990, Sekretaris Badan Pendidikan Kader (BPK) PP Muhammadiyah 1985-1995.
Selain itu, pria kelahiran 25 Februari 1958 ini juga menjadi ketua Badan Pendidikan Kader dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah (BPKPAMM) PP Muhammadiyah 1995-2000, Sekretaris PP Muhammadiyah 2000-2005, Ketua PP Muhammadiyah 2005-2015, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015 tepatnya pada Muktamar ke-47 Makassar (Mu’arif, 2005).
Dilihat dari riwayat organisasinya, sosok Haedar Nashir bukan orang baru di kalangan Muhammadiyah dan terlihat sangat konsisten dan benar-benar menekuni Muhammadiyah. Sejak muda, tidak ada organisasi lain, selain organisasi internal Muhammadiyah yang digeluti.
Also Read
Sosok Haedar Nashir tergolong sangat produktif menulis, terutama berkaitan dengan pemikiran ideologi Muhammadiyah. Bagi pelanggan majalah Suara Muhammadiyah, sudah pasti sangat akrab dengan tulisan-tulisannya dalam rubrik khusus bernama “bingkai”.
Melalui karya-karya tulisnya, Haedar mampu membingkai pikiran warga Muhammadiyah dalam nuansa “Islam Washatiyah”. Pikiran-pikirannya senantiasa menjadi rujukan wajib, bagi siapa pun yang ingin membicarakan Muhammadiyah. Haedar dikenal sebagai pimpinan Muhammadiyah yang low profile, tidak suka bermanufer politik. Sehari-hari cukup mengurus Muhammadiyah, mengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai dosen.
Banyak aktivis Muhammadiyah, memandang tokoh ini sebagai adalah penjaga gawang ideologi Muhammadiyah. Haedar sosok yang beraliran “khitois” karena ketaatannya pada garis-garis haluan organisasi. Dia memiliki wawasan kebangsaan, keislaman, dan kemuhammadiyahan yang luas serta mendalam.
Politik Nilai Dalam bukunya yang berjudul Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010), Haedar mengungkapkan, betapa Muhammadiyah sungguh “kenyang” dengan hiruk pikuk dunia politik. Muhammadiyah merasakan betul betapa rumitnya bersentuhan dengan dunia politik. Kegelisahan Haedar menunjukkan pengalaman panjang Muhammadiyah bersentuhan dengan politik. Muhammadiyah semacam ada ketakutan terhadap bahaya politik kekuasaan. Meski begitu, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bercorak sosio-keagamaan tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaannya justru harus menyatu dengan wawasan kekuasaan (Mu’arif, 2005).
Tapi, yang perlu dijaga adalah bagaimana agar Muhammadiyah tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Melainkan berpikir strategis dalam rangka menatap masa depan yang agak jauh dari diri kita sekarang (PP Muhammadiyah, Islam, dan dakwah). Selain itu, Muhammadiyah juga berupaya untuk tetap menjaga khittah dan prinsipnya agar tak terlibat dalam politik praktis. Seperti diketahui memasuki tahun politik 2019, Muhammadiyah diguncang isu keberpihakan politik. Namun, melalui Haedar Nashir, Muhammadiyah menegaskan tetap akan kembali ke khittah dan kepribadian organisasi, yaitu organisasi sosial keagamaan (Nashir. H, 2008). (adv)