Beasiswa Bidikmisi Riwayatmu Kini

Menyikapi situasi Bidikmisi saat ini/tugu jatim
Menyikapi situasi Bidikmisi saat ini. (Foto: Dokumen/Putu Ramadhan)

Oleh: Putu Ramadhan*

Tugujatim.id – Sebuah kesenangan tersendiri bagi mahasiswa jika mendapatkan Bidikmisi. Siapa  yang tidak senang, kuliah gratis dapat uang saku lagi. Persyaratan juga gampang, nominal beasiswa besar lagi. Pantas saja Bidikmisi selalu menjadi beasiswa impian.

Bagi kampus juga demikian, bayangkan, UKT (Uang Kuliah Tunggal) sebesar Rp 2,4 juta. Itu lebih dari cukup daripada memberikan UKT 1 yang nominalnya Rp 500 ribu, mending kasih bidikmisi saja, Rp 2,4 juta. Ya kan? Cuan.

Sebagian orang menganggap Bidikmisi itu hanya untuk orang kurang mampu. Saya tertawa mendengar itu. Dulu iya tapi sekarang tidak lagi. Bidikmisi juga bisa buat orang yang “mampu”. Sekarang banyak  anak bidikmisi yang punya ipong.

Mereka juga menganggap anak Bidikmisi itu aktif, pada ikut kegiatan ini dan itu. Saya tertawa lagi. Mungkin itu dulu ya, sekarang tidak lagi. Justru mereka ngedumel jika disuruh ikut ini dan itu. Contohnya, teman saya, cuma disuruh buat PKM (Program Kreativitas Mahasiswa), sudah mengeluh.

Ngomong PKM, ada tradisi unik untuk mahasiswa Bidikmisi di kampusku dan kabarnya tradisi ini juga berlaku di kampus lain. Setiap satu tahun sekali mahasiswa Bidikmisi wajib membuat PKM untuk diusulkan ke Belmawa.

Minimal masuk ke dalam kelompok. Momen ini menjadi kegiatan ngedumel berjamaah bagi mahasiswa bidikmisi. Bagi saya bukan hal yang memberatkan karena saya suka, tapi bagi mereka ini bentuk penjajahan secara tidak langsung.

Teman-teman saya yang non-Bidikmisi pun juga heran dengan manusia semacam ini. Katanya bertolak belakang sekali dengan saya, pernah suatu saat dia bilang, “sepertinya mahasiswa Bidikmisi yang benar-benar Bidikmisi itu punah,” katanya.

Bagi saya ini hanya sebagian oknum yang tidak bertanggung jawab. Walaupun banyak mahasiswa yang hanya menikmati nominalnya, masih banyak mahasiswa Bidikmisi yang tak seperti ini di luar sana.

Selain tradisi PKM, kami mahasiswa Bidikmisi juga punya tradisi lain. Jika mahasiswa biasanya puasa satu tahun sekali maka kami tidak, kami biasanya punya puasa tambahan bukan Senin-Kamis atau puasa sunah. Tapi ini beneran puasa yang kami jalani setiap semester ganjil.

Bidikmisi sering molor cairnya di semester ganjil itu sebabnya kami sering puasa. Molornya juga kadang parah. Pernah sampai akhir Oktober baru cair. Itu hampir dua bulan puasan.

Saya sempat kepikiran, molornya pencairan Bidikmisi itu disebabkan karena pihak kampus yang telat mengusulkan ke pusat atau karena birokrasinya yang panjang dan banyak aturan? Entahlah, tidak ada sosialisasi secara resmi mengenai alur dan jadwal tetap pencairan Bidikmisi setiap semesternya.

Bagi mahasiswa Bidikmisi abal-abal, ini bukan suatu masalah. Tapi bagi kami mahasiswa Bidikmisi yang beneran ini harus dikoreksi. Sekarang saja molor, hampir satu bulan dan saya sudah nyari pinjaman sana sini, untung banyak relasi.

Nah di momen begini kadang membuat saya sadar kalau mahasiswa Bidikmisi yang pasif dan sering ngedumel itu pasti rugi. Karena mereka tidak punya relasi. Tidak punya ATM berjalan. Sisi positifnya mereka tidak banyak pinjaman.

Kenapa harus semester ganjil? Bagi kami semester ganjil itu semester yang paling banyak pengeluaran, ada yang PLP, Magang, KKN, Penelitian dan lainnya. Kegiatan ini banyak mengeluarkan biaya apalagi jika kegiatan di luar kota. Ekspektasinya  dengan Bidikmisi bisa membantu. Ternyata malah molor.

Kewajiban yang umum untuk anak Bidikmisi itu mempertahankan IPK. Tapi bagi saya bukan hanya sekedar itu melainkan harus lebih dari sekedar IPK bagus. Contohnya, punya prestasi Internasional, minimal prestasi Nasional. Aktif ikut program Kemendikbudristek seperti Kampus Mengajar, MSIB dan lainnya.

Jadi lulusan Bidikmisi tidak hanya mengandalkan IPK, tapi pengalaman dan kompetensi. Lebih bagus jika punya  publikasi jurnal bereputasi.

Sejauh ini program Bidikmisi bagi saya sudah sangat bagus, bahkan setiap tahun ada pembaruan kebijakan yang paling terbaru adalah uang saku disesuaikan dengan daerah masing-masing, ini disebut dengan klasterisasi. Sayangnya belum banyak mahasiswa yang tahu tentang ini.

*Penulis adalah member Pondok Inspirasi