Oleh: Rangga Aji, Wartawan Tugu Jatim ID
Tugujatim.id – Yang mencemaskan dari perkembangan teknologi modern ialah, adanya konstruksi perilaku sosial—memakai budaya baru yang dianggap lebih futuristik dan meninggalkan budaya lama yang tampak usang. Dalam hal ini, salah satu yang menjadi “korban” adalah budaya silaturahmi.
Silaturahmi yang dimaksud ialah datang bertamu ke rumah kerabat, kawan, atau bahkan orang yang belum dikenal, dengan iktikad menjalin hubungan positif hingga memunculkan persaudaraan. Budaya “sakral” itu perlahan lenyap, dianggap konvensional, kuno dan ditinggalkan, digantikan oleh rutinitas bercakap-cakap secara virtual.
Perkembangan teknologi membuat kualitas silaturahmi makin kering, hambar, dan tidak renyah. Silaturahmi sekadar dipahami sebagai aktivitas komunikasi maya. Bahkan, justru membuat orang malas berkunjung, sowan, dan bertegur sapa ke rumah kerabat sendiri. Silaturahmi dianggap sebagai budaya yang tertinggal.
Akibatnya, ruang tamu yang dulu hangat dengan obrolan sehat, mendadak dingin dan tidak bertuan. Raut wajah gembira, bahaknya tawa, hingga jejer kue kering yang ada di atas meja tamu menjadi panorama yang jarang ditemui.
Bila direnungkan, saya setuju dengan Pakar Komunikasi dan Motivator Nasional Dr Aqua Dwipayana, CEO Paragon Salman Subakat, Pemred Tugujatim.id Nurcholis MA Basyari, dan CEO Tugu Media Group Irham Thoriq. Bahwa silaturahmi itu penting, silaturahmi membuat ruang tamu menjadi kembali hangat, gurih, dan beraroma harum.
Minggu, 02 Mei 2021, menjadi awal kegiatan silaturahmi saya bersama Irham Thoriq dengan istrinya, Sakina Najwa, mengunjungi kediaman Ali Salim, sosok wartawan senior pada masa keemasan “Surabaya Post” dan eks Direktur “Harian Bhirawa” generasi 1990-an.
Saya datang terlambat, sekitar 5-10 menit, setelah bos Tugu Media Group sampai di rumah Ali Salim. Setelah memarkir sepeda motor butut, kemudian saya membuka pagar, melepas alas kaki, menuju pintu, dan mengetuknya sembari beruluk salam.
Dari dalam ruang tamu, tampak lelaki mengenakan peci putih, kemeja cerah, serta celana kain berwarna hijau pupus, menoleh ke arah pintu, tersenyum lembut dan menjawab salam sambil mempersilakan saya masuk. Beliau adalah Ali Salim.
Ada satu kursi kosong di sebelah kanan beliau, Ali Salim, kemudian saya izin untuk menempati kursi tersebut. Lantas, saya menyimak cengkerama dua orang hebat, Irham Thoriq dan Ali Salim, dengan saksama dan perhatian penuh.
Mulai dari bercakap soal orang-orang pendahulu yang berperan aktif di perusahaan media, saling bertanya apakah mengenal orang ini dan itu, hingga sampai pada topik mengenai silaturahmi, soal luar biasanya sosok Dr Aqua Dwipayana dan Salman Subakat yang pernah mampir di rumah Ali Salim pada 09 Februari 2021 (Hari Pers Nasional) dan 21 April 2021 (Hari R.A. Kartini).
Ali Salim sepakat, silaturahmi makin lama makin kandas. Ruang tamu yang sudah dihias lampu, sofa empuk, meja tamu yang menawan dan pernak-pernik hiasan sedemikian rupa, mendadak tak bermakna karena jarang ada tamu yang singgah.
Ali Salim sepakat, puncak kegiatan silaturahmi yaitu mengunjungi rumah. Ruang tamu perlu dihangatkan kembali dengan percakapan gurih antara tamu dan tuan rumah, ruang tamu wajib dipakai untuk menjalin persaudaraan satu sama lain agar menumbuhkan aroma harum persaudaraan.
Kunjungan silaturahmi kami, Tugu Media Group, benar-benar disambut baik, hangat, dan penuh kasih oleh Ali Salim. Selain iktikad itu, Tugu Media Group juga ingin belajar banyak dari pengalaman Ali Salim sebagai wartawan senior era keemasan “Surabaya Post” dan eks Direktur “Harian Bhirawa” generasi 1990-an. Tentu, kami tidak salah orang untuk menjadikan beliau sebagai tokoh teladan.
“Nyantri” kepada Wartawan Senior Era Keemasan “Surabaya Post” dan Eks Direktur “Harian Bhirawa”
Sebelumnya, “nyantri” memiliki makna belajar dan menjadi murid, dari kata dasar “santri” yang berarti murid. Namun, istilah “nyantri” acap kali identik dengan pondok pesantren atau perguruan tinggi berbasis keislaman. Padahal “nyantri” itu belajar, belajar bisa dimaknai secara umum.
Belajar apa pun, belajar kapan pun dan belajar kepada siapa pun, belajar sepanjang usia hidup, termasuk belajar kepada Ali Salim sebagai wartawan senior.
Kembali duduk di ruang tamu, sembari mengamati dengan saksama. Rasanya tidak sabar mendapat ilmu baru dan mendengar “pahit-manis” pengalaman hidup Ali Salim. Berjibun pertanyaan menari-nari di benak, ingin segera keluar untuk ditanyakan ke empunya. Agar laparnya rasa penasaran, segera kenyang.
Posisi duduk saya benahi, tubuh condong ke kiri, fokus menyimak Ali Salim. Kejadian yang paling saya ingat dari ceritanya, sempat pada saat itu Harian Bhirawa akan dipindahkan ke Kota Malang oleh Dahlan Iskan, karena adanya konflik atau sengketa dengan Wali Kota Surabaya di masa itu.
Namun, sosok Mochammad Said, pemilik Harian Bhirawa, mendadak naik pitam, menarik kembali Harian Bhirawa dari Kota Malang ke Kota Surabaya. Lantas tampuk kepemimpinan diserahkan ke Ali Salim, diamanahi menjadi direktur dari tahun 1990-an sampai pensiun 2015, sekitar 6 tahun yang lalu.
Saya membenarkan posisi duduk. Sembari kembali menyimaknya bercerita, sesekali bos Tugu Media Group menimpalinya dengan pertanyaan-pertanyaan baru, membuat cerita Ali Salim makin dalam dan menarik disimak.
Kejadian berikutnya, Ali Salim merapal Harian Bhirawa dulu dimiliki aparat tentara, Mochammad Said, tidak lama setelah pemilik Harian Bhirawa berpulang, perusahaan koran yang berpusat di Kota Surabaya itu dibangun menjadi perseroan terbatas (PT), setelah sebelumnya berbentuk semacam yayasan.
Ali Salim mengenang, Harian Bhirawa sempat akan kolaps di masa Orde Baru-Reformasi. Dia hanya memegang anggaran Rp 50 juta dari Mochammad Said untuk menjaga nyala api Harian Bhirawa. Ali Salim berupaya menjalin kerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur di tahun 1990-an menggunakan anggaran Rp 50 juta untuk mencetak sirkulasi sekitar 5.000 eksemplar, terbit enam hari dalam seminggu, selama 3 bulan.
Perlahan tapi pasti. Upaya Ali Salim menjaga sirkulasi koran agar berjalan ideal di tahun 1990-an berbuah manis. Harian Bhirawa dapat bertahan hidup dan bernapas dengan lancar sampai sekarang. Ali Salim menyebut, Harian Bhirawa mempunyai 50 lebih pegawai media pada 2021.
Setelah menyimak cerita itu, sesekali bos Tugu Media Group bertanya soal cara menjalin relasi di pemerintahan, tips portal berita online agar bisa berkembang pesat dan bertahan dari jutaan pesaingnya, serta bertanya hal-hal lain yang saya tidak mengingatnya.
Ditimpali oleh Ali Salim, bahwa media baru perlu mengetahui apa yang menjadi pembeda dengan media lain. Fokus saja di spesialisasi itu, jelas Ali Salim pada kami, maka perlahan portal berita online akan mengalami kenaikan. Dikenal dan menjadi rujukan masyarakat.
Ali Salim mengaku, Harian Bhirawa bukan media yang besar-besar amat. Namun, dia dengan tegas mengatakan bahwa perusahaan koran yang pernah dirinya pimpin pada 1990-an itu merupakan tempat kerja yang sehat. Sebab, sirkulasi dana selalu mengalir dengan ideal hingga saat ini.
Harian Bhirawa banyak dikoleksi oleh birokrasi. Sebagai media untuk mengamati dan publikasi kegiatan soal kedinasan, imbuh Ali Salim, acap kali masing-masing dinas justru berlomba-lomba memuat program kerja mereka di Harian Bhirawa. Dari situ, perlahan, Harian Bhirawa dapat menjaga detak jantungnya agar tetap hidup.
Di tengah iklim mengobrol yang begitu hangat dan gurih, Ali Salim tetiba ingat mengenai “mie godog”, beli di salah satu penjual langganan yang paling enak di sudut Kota Surabaya, dibelinya sebanyak 2 bungkus sebelum kami datang.
Ali Salim membuka kertas minyak dan bungkus “mie godog” itu. Aroma lezatnya langsung tercium, menari-nari dan memenuhi ruangan. Memang tidak salah, “mie godog” tersebut begitu legit, enak, dan tidak terkalahkan.
Mendadak ucapan Ali Salim di awal cengkerama mengenai manfaat silaturahmi, ruang tamu yang hangat, serta manfaat yang terkandung dalam silaturahmi, terbukti sekejap di depan mata. Aroma ruangan tidak hanya diisi semerbak pengalaman Ali Salim dan lezatnya “mie godog”, tapi disertai pula kembalinya aroma harum silaturahmi.