Candi Waji Sumbergirang Mojokerto, Candi Buatan Jadi Simbol Pemersatu Umat Beragama

Terinspirasi Pengamalan Sila Ketiga Pancasila

Candi Waji Sumbergirang.
Suasana Candi Waji Sumbergirang di Dusun Sumbertempur, Desa Sumbergirang, Kecamatan Puri, Mojokerto, yang dibuat untuk kerukunan umat. (Foto: Hanif Nanda/Tugu Jatim)

MOJOKERTO, Tugujatim.id – Anda barangkali mengetahui bahwa umumnya bangunan candi adalah peninggalan dari masa lampau. Namun, ada candi buatan manusia yang unik di Mojokerto. Namanya Candi Waji Sumbergirang. Candi buatan di Dusun Sumbertempur, Desa Sumbergirang, Kecamatan Puri, Mojokerto, itu dibangun untuk mempersatukan antar umat beragama. Bagaimana candi ini bisa dibangun?

Ki Wiro Kadek Wongso Jumeno, pembuat Candi Waji Sumbergirang, membuktikan bahwa tidak semua candi berasal dari peninggalan masa lampau. Mbah Wiro, sapaan Ki Wiro Kadek Wongso Jumeno, menambahkan, sebenarnya candi itu tetenger (penanda) bukan sebagai tempat ibadah.

Karena itu, dia sengaja membangun Candi Waji Sumbergirang itu sebagai penanda untuk keperluan apa pun. Bagi Mbah Wiro, Candi Waji bebas menerima kunjungan, baik resmi maupun tidak. Selain itu, dia tidak keberatan jika candi itu digunakan untuk berkontemplasi maupun sekadar bersantai sambil minum kopi.

“Jadi candi itu tetenger, bukan tempat ibadah. Banyak yang masih belum memahaminya. Maka ya saya bangun candi itu. Semua bebas mau ngapain, asal tidak bikin keributan,” kata Mbah Wiro saat ditemui pada Jumat (03/02/2023).

Sejarah Berdirinya Candi Waji Sumbergirang

Candi Waji memang dibangun oleh Mbah Wiro. Menurut dia, nama Waji merupakan kepanjangan wayahe dadi siji. Artinya, waktunya menjadi satu. Satu yang dimaksud adalah nilai persatuan yang ingin dibangun di Desa Sumbergirang, Kecamatan Puri, Mojokerto.

“Sila ke-3 Pancasila sudah jelas. Persatuan Indonesia. Harus bersatu, dalam arti ya guyub rukun tanpa memandang agama masing-masing,” imbuh Mbah Wiro.

Nuansa Majapahit memang sangat kental saat pengunjung masuk area candi. Berdiri di kawasan pemukiman penduduk, sejak pintu masuk hingga di candi pun banyak ditemui ornamen-ornamen Surya Majapahit. Sebelum masuk Candi Waji, gerbang paduraksa dengan susunan bata merah berdiri gagah dengan tinggi tujuh meter dari permukaan tanah.

Candi Waji Sumbergirang.
Candi Waji Sumbergirang di Dusun Sumbertempur, Desa Sumbergirang, Kecamatan Puri, Mojokerto, tampak samping. (Foto: Hanif Nanda/Tugu Jatim)

Begitu melewati gerbang paduraksa, terlihat di depannya disambut dua patung naga. Candi dengan warna dasar hitam itu memiliki tiga menara. Setiap pucuk candi dilapisi ornamen berwarna emas. Candi yang tinggi delapan meter dari permukaan tanah itu tampak bercorak Hindu-Buddha.

Dari sebelah barat Candi Waji, ditemui sebuah musala yang aktif digunakan untuk salat. Lalu dari sebelah selatan candi terlihat ada lapangan. Pendapo utama terlihat di sebelah utara candi dengan kapasitas yang dapat menampung 300 orang.

Candi Jadi Simbol Pemersatu Umat

Beberapa kali Mbah Wiro berpesan soal kesatuan dan persatuan. Pria kelahiran Mojokerto itu menambahkan, wayahe dadi siji yang menjadi kepanjangan Candi Waji itu merupakan filosofi utama berupaya menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Konsep bersatu itu ingin benar-benar dia rawat sebagai bentuk perwujudan sila Pancasila.

Wayahe dadi siji itu punya makna yang dalam. Selama ini kami selalu dibeda-bedakan karena agama misalnya. Saya ingin memberi wadah bagi bersatunya pemeluk agama di sini,” sambung Koordinator Wisuda Abdi Dalem Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu.

Mbah Wiro juga mengatakan konsep persatuan itu merupakan spirit pluralisme yang menjadi warisan leluhur, khususnya leluhur Mojokerto. Spirit itu ingin dia teruskan karena merasakan banyak masyarakat dipecah belah demi kepentingan pribadi, bahkan kepentingan atas nama agama.

“Jujur, prihatin sekali. Kami ini mudah dipecah, tidak rukun karena kepentingan. Mbok ya ingat pesan leluhur kita, guyub rukun. Kerukunan itu yang utama, tidak memandang latar belakang,” tambah ayah empat anak itu.

Fasilitas Gratis di Area Candi

Dalam kawasan Candi Waji, tak jarang lapangan utamanya digunakan untuk beragam acara sosial. Uniknya, Mbah Wiro tidak memungut biaya sepeser pun untuk memasuki area candi. Sama seperti ketika pengunjung ingin melihat Candi Waji.

“Tidak ada biaya masuk. Warga bisa menggunakan lapangan ini untuk keperluan apa saja. Kayak senam itu juga di sini,” ujar Mbah Wiro.

Dia menuturkan, setiap minggu di kawasan Candi Waji itu diadakan kegiatan kesenian. Kegiatan hiburan itu dia bikin dengan maksud sebagai sarana menyatukan warga. Mereka bisa menikmati suguhan kesenian yang ditampilkan, bisa pula menggelar dagangan di sekitarnya.

“Sudah empat bulan ini tiap minggu kami adakan kegiatan kesenian. Nah, itu maksud saya juga untuk warga bisa menggelar dagangan di sini. Meski acaranya mingguan, tapi kan lumayan membantu perekonomian,” imbuhnya.

Pengerjaan bangunan yang selesai sejak 2016 lalu, banyak pihak mengapresiasi konsep pengamalan Pancasila yang diusung. Warga sekitar pemukiman juga menyambut hangat karena hadirnya Candi Waji dapat mempererat kerukunan antar warga.

“Tak lepas dari pengamalan Pancasila. Ya sila pertama dan ketiga itu. Orang beragama di sini harus rukun. Semangat itu saja yang harus dilestarikan,” tutup pendiri Yayasan Tlasih itu.