PANGKALAN KERINCI — Senin, 9 Mei 2022. Ini hari kesepuluh perjalanan mudik saya menuju Kota Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, dihitung semenjak hari keberangkatan 30 April dari Kota Malang, Provinsi Jawa Timur.
Saya masih berada di wilayah Provinsi Riau dan sempat menginap satu malam di Hotel Irma Bunda, Kota Rengat, Ibu Kota Kabupaten Indragiri Hulu. Dari Rengat, kota tujuan berikutnya ialah Pekanbaru, sang ibu kota provinsi. Posisi Rengat dan Pekanbaru terpisah jarak 202,5 kilometer, dengan wilayah Kabupaten Pelalawan di tengahnya.
Jarak pemisah antara Rengat dan Pangkalan Kerinci (Ibu Kota Kabupaten Pelalawan) hanya 141 kilometer. Tapi terpaan suhu panas yang saya rasakan sejak dari Rengat membuat perjalanan terasa sangat lambat dan cepat bikin penat.
Saking panasnya sinaran matahari, lanskap Jalan Lintas Timur Sumatera (Jalintimsum) Rengat-Pangkalan Kerinci kelihatan terang benderang sehingga saya kerap menyipitkan mata supaya tidak gampang kelelahan dan mengantuk. Mungkin mata saya sudah mengalami fotofobia, yaitu kondisi mata terasa sakit atau tidak nyaman ketika melihat cahaya terang, baik saat terkena pancaran sinar mentari maupun sorot lampu.
Tepat ketika posisi matahari mencapai titik kulminasi atau tengah hari, saya tiba di lokasi Tugu Equator (sesuai ejaan nama asli) di Desa Dusun Tua, Kecamatan Pangkalan Lesung, Kabupaten Pelalawan. Jika diindonesiakan sesuai penyebutan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka penulisan nama Tugu Equator yang tepat adalah Tugu Ekuator.
Perlu diketahui, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui ada 241 negara di dunia dan yang jadi anggota PBB berjumlah 195 negara. Dari 195 negara, hanya 12 negara yang dilintasi garis khatulistiwa, termasuk Indonesia.
Saya mencatat, ada 8 provinsi di Indonesia yang dilalui garis ekuator, yaitu Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Di Pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Barat mempunyai tiga tugu ekuator, masing-masing berada di Kabupaten Pasaman Barat, Bonjol (Ibu Kota Kabupaten Pasaman), dan Nagari Koto Alam di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limah Puluh Kota.
Sedangkan Provinsi Riau punya dua tugu kilometer, yang masing-masing berada di Desa Dusun Tua, dan di Desa Lipat Kain, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Namun cuma Tugu Ekuator di Desa Dusun Tua yang berada di tepi Jalintimsum. Tugu ekuator ini dikenal juga dengan nama Tugu Ekuator Pelalawan.
Tugu Ekuator Pelalawan berjarak 58 kilometer dari Pangkalan Kerinci dan 118 kilometer dari Pekanbaru (Ibu Kota Provinsi Riau), serta terpaut jarak 82 kilometer dengan Rengat.
Usai memotret tugu ekuator atau tugu khatulistiwa setinggi sekitar 5 meter itu, saya menyeberang ke kedai milik keluarga Bapak Elly Kasim, Ketua RW 081 Desa Dusun Tua, untuk beristirahat selama satu jam.
Elly berkisah, lokasi tugu ekuator di Desa Dusun Tua pertama kali ditemukan orang Belanda. Lokasi ini ditandai dengan besi melingkar yang sekaligus jadi gerbang penghubung antara Desa Dusun Tua dan Desa Pangkalan Lesung.
“Dulu, Tugu Ekuator di kampung kami bentuknya bola dunia besar. Lalu ada gapura ‘selamat datang’. Tapi gapuranya kecantol truk pembawa crane (derek jangkung) sampai ambruk, ya dibongkar sekalian,” kata Elly.
Elly mengaku tidak begitu menyukai perubahan desain tugu dan penataan lokasi tugu yang sekarang karena dianggapnya menyusahkan orang-orang yang ingin singgah untuk beristirahat dan berfoto-foto gara-gara terhalang pagar besi setinggi dua meteran. Selain mengurangi keindahan lokasi, pagar besi cukup menyulitkan orang-orang untuk memotret utuh fisik tugu dan tulisan nama tugu yang berukuran besar.
Dulunya lokasi itu terbuka tanpa pagar dan berfungsi sebagai area peristirahatan atau rest area. Area peristirahatan ini dilengkapi dengan penginapan (bernama Pesanggrahan Ekuator yang kini jadi tugu), musala, kantin, kios suvenir, dan tempat parkir yang jembar.
Selain sebagai area peristirahatan, lokasi tugu juga berfungsi sebagai taman terbuka yang ditumbuhi beraneka tanaman bunga dan pohon besar seperti palem dan cemara. Tanaman peneduh yang tersisa hanya satu pohon sialang dan satu pohon jengkol.
Desa Dusun Tua dihuni sekitar 300 keluarga. Keberadaan tugu model lawas memberikan manfaat ekonomi kepada sebagian warga. Warga bisa mendapat penghasilan tambahan dengan menjual suvenir dan madu. Elly mengklaim, madu sialang produksi Pangkalan Lesung bermutu tinggi, keaslian dan khasiatnya terjamin. Harganya murah pula.
“Sekarang sepi pengunjung setelah lokasi tugu dipagari besi tinggi dan lama-lama usaha warga kami itu mati. Jengkel kami sudah di kepala, tapi kami bisa apa?” ujar Elly.
Elly menekankan, renovasi lokasi yang sekarang sebenarnya sudah bagus walau tak sebagus model yang lama. Makanya, Elly dan warga Desa Dusun Tua sangat berharap pagar besi tinggi yang memagari tugu dibongkar seluruhnya supaya pengunjung gampang mampir dan warga setempat mendapat keuntungan seperti dulu. Elly tak rela kampungnya sekarang jadi daerah perlintasan belaka.
Saya dan Pak Elly berbincang selama sekitar setengah jam. Saya sudah bersiap meneruskan perjalanan tapi saya urungkan sewaktu melihat dua pria berfoto di Tugu Ekuator dan keduanya juga menyinggahi kedai Pak Elly untuk rehat dan mencatat.
Saya menyapa dan mengajak mereka berbincang. Namun, mereka membalas dengan bahasa isyarat yang menandakan mereka penyandang disabilitas tunarungu. Alhasil, kami menggunakan tulisan tangan untuk berkomunikasi.
Mereka berdua bernama Arie Wibowo, 33 tahun, warga Kota Kudus, Provinsi Jawa Tengah, dan Hanif, 55 tahun, warga Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Mereka menunggang sepeda motor sport Yamaha Vixion warna hitam.
Arie menuliskan, dia dan Hanif berangkat dari Kudus pada 5 Mei dengan tujuan untuk menghadiri pertemuan besar disabilitas tunarungu di Kota Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara, Minggu, 15 Mei. Arie tidak memperjelas nama kegiatan yang mereka ikuti.
Dari kota kelahiran Wakil Presiden Adam Malik (wakil presiden ketiga) itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Kepulauan Weh di Provinsi Aceh untuk mengunjungi Tugu Kilometer Nol Indonesia, dengan rencana melalui rute Kota Kabanjahe (Ibu Kota Kabupaten Karo) terus melewati Kota Blangkejeren (Ibu Kota Kabupaten Gayo Lues), Kota Takengon (Ibu Kota Kabupaten Aceh Tengah), Kota Bireuen (Ibu Kota Kabupaten Bireuen), terus ke Kota Jantho (Ibu Kota Kabupaten Aceh Besar), dan Banda Aceh untuk kemudian menyeberang ke Sabang.
“Tapi kami juga ingin lewat Kota Medan terus ke Banda Aceh,” kata Arie, seraya menunjukkan peta rute di kertas dan mengandalkan petunjuk Google Maps.
Kami tak bisa leluasa berkomunikasi selain karena memakai tulisan tangan sehingga tak banyak informasi yang saya peroleh, juga karena kami sadar hanya mampir sejenak di kedai Pak Elly dan sisa jarak perjalanan kami sama-sama masih sangat panjang.
Saya mengajak Arie dan Hanif berangkat bersama meninggalkan Tugu Ekuator dan Pak Elly. Tentu saja sepeda motor tua saya tak sebanding kencangnya dengan sepeda motor yang dikemudikan Arie. Saya tak ingin jadi penghambat perjalanan mereka, maka saya putuskan membiarkan mereka meneruskan perjalanan dan saya berbelok ke bengkel resmi Honda di Sorek, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan.
Kami berpisah di Sorek setelah sama-sama menyusuri jarak 17 kilometer dari Tugu Ekuator Pelalawan. Beberapa hari kemudian Arie mengabari sudah mengunjungi Titik Nol Kilometer Indonesia di Sabang, lalu balik ke Pulau Jawa lewat rute Jalan Lintas Barat Sumatera, dari Meulaboh (Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat) dan seterusnya.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim