JAKARTA, Tugujatim.id – Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Dirjen Dikti Kemendikbud Ristek), Prof Ir Nizam, mengatakan jika Indonesia ingin mencapai generasi emas, maka membutuhkan investasi di bidang pendidikan yang tidak sedikit.
“Kalau kita melihat keberhasilan Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, dibalik itu sekua ada kesungguhan, kerja keras hingga kesadaran. Tidak hanya kesadaran pemerintah atau negara, tapi juga kesadaran bangsa untuk investasi di bidang pendidikan,” terang Prof Nizam saat mengisi materi dalam acara Fellowship Jurnalisme Pendidikan (FJP) Batch 2 dan digelar secara virtual, Jumat (25/06/2021).
Untuk diketahui, program Fellowship Jurnalisme Pendidikan ini digagas oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dan PT Paragon Technology and Innovation. Dan dinakhodai oleh wartawan senior, Nurcholis MA Basyari.
Nizam mengatakan bahwa di Korea Selatan untuk kesadaran investasi di bidang pendidikan itu sudah tinggi. Bahkan investasi para orang tua sudah di atas 35 persen atau seper tiga lebih penghasilan orang tua.
“Ini anak-anaknya haris sekolah dengan baik, dibiayai hingga perguruan tinggi,” tuturnya.
Sayangnya, menurutnya kesadaran untuk berinvestasi inilah yang kurang dimiliki masyarakat Indonesia.
“Kita semua sadar pendidikan itu penting, tapi ketika kita berbicara siapa yang membiayai itu kan urusannya pemerintah. Itulah yang menjadi mindset kita untuk maunya semua gratis, tapi naik pajak juga walaupun cuma 1 persen jadi ribut semua,” ungkapnya.
“Di Eropa seperti Finlandia itu semua gratis, tapi pajaknya bisa sampai 40-60 persen. Inilah kesadaran demografi kita masih kesadaran menuntut hak, belum ada kesadaran memenuhi kewajiban. Kewajiban kita adalah mendidik anak-anak kita, kewajiban kita melakukan investasi di pendidikan, tapi ketika diminta untuk investasi di pendidikan malah turun ke jalan,” sambungnya.
Ia juga mencontohkan jika kasus kenaikan SPP di perguruan tinggi juga merupakan investasi di bidang pendidikan.
“Kasus SPP perguruan tinggi itu naik Rp 100.000,- itu demonya se Indonesia. Padahal ketika ketika ke Starbucks Rp 100.000,- dikeluarkan begitu mudahnya,” tegasnya.
Ia mengatakan kalau pemungutan pajak di Indonesia belum berhasil terserap 100 persen, maka tidak mungkin untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik.
“Di luar negeri seolah-olah terlihat mudah, tapi kita lupa proses dan inginnya instan tanpa mau tahu kalau ini perlu kerja keras,” pungkasnya.