Tugujatim.id – Kasus sengketa pers yang masih terjadi hingga hari ini patut menjadi otokritik bagi awak media. Berdasar data dari hasil survei Dewan Pers, mendapati 70 persen wartawan di Indonesia masih buta soal Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
KEJ merupakan ‘kitab suci’ atau pedoman wartawan dalam bertugas. Dengan mengimplementasikan KEJ sudah pasti profesionalitas wartawan itu diakui. Selain itu, juga dapat menyelamatkan wartawan atau media itu sendiri dari sengketa hukum yang melelahkan.
Demikian pengantar yang disampaikan Direktur Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) Nurcholis MA Basyari dalam sesinya di Program Fellowship Jurnalisme Pendidikan 2022 Batch IV, Kamis (24/2/2022).
”Meski memang posisi pers sebagai pilar demokrasi yang independen dan bebas dalam menyampaikan aspirasi, tetap harus berpedoman pada KEJ agar terhindar dari sengketa hukum. Jadi memang perlu berhati-hati dan melek hukum,” kata Nurcholis, kembali mengingatkan.
KEJ inilah, lanjut Nurcholis, menjadi pembeda antara media massa (pers) dengan media sosial (medsos). Wartawan sudah jelas beda dengan pegiat medsos, marena jurnalis diikat dengan aturan yang mengikat sesuai UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyoal wartawan profesional.
Wartawan profesional menurut UU No. 40/1999 itu adalah wartawan berkualitas didasarkan dari 4 elemen yakni pengetahuan, skill (kemampuan), kesadaran dan leadership (kepemimpinan).
Dari sekian pembeda wartawan dan pegiat medsos adalam soal kesadaran. Bagaimana seorang wartawan dibebani tanggung jawab sebagai pilar demokrasi saat dia menyampaikan informasi yang berpengaruh besar kepada masyarakat.
Selain itu, wartawan juga harus memiliki jiwa kepemimpinan yang baik karena dalam tugasnya dia tidak bekerja sendiri. ”Tetapi merupakan kerja tim. Kita punya struktur organisasi yang ketat, berbadan hukum hingga terverifikasi dewan pers,” ungkapnya.
”Yang membedakan dari medsos itu juga bahwa media massa itu punya kantor. Alamatnya jelas dan kantornya ada. Jadi tanggung jawab media kepada setiap produk jurnalistiknya juga sudah jelas,” imbuh
Pria yang juga aktif sebagai asesor Uji Kompetensi Wartawan PWI Pusat ini menambahkan, meski memang permasalahan gugatan pers diupayakan tidak sampai ke meja hijau, wartawan tetap harus patuh KEJ.
”Karena nanti dalam pembelaan, Dewan Pers akan melihat dulu produk jurnalistik yang disengketakan, apakah sudah sah sebagai produk jurnalistik atau tidak. Jika sah, maka proses hukumnya akan dilakukan lewat hak jawab,” paparnya.
Sebaliknya, jika wartawan sudah benar-benar yakin bahwa produk jurnalistiknya telah memenuhi unsur kaidah dan jurnalistik, namun tetap masih ada upaya gugatan atau intervensi bahkan intimidasi, wartawan tetap harus berani mempertahankan karyanya.
Sementara itu, wartawan senior selaku mentor di FJP GWPP 2022 Batch IV. Haryo Prasetyo mengajak seluruh stakeholder, termasuk awak media untuk kembali menaati KEJ. KEJ, menurut Haryo adalah cermin profesionalitas jurnalis.
”Selain menjadi cerminan profesionalitas, semua ini juga untuk melindungi profesi kita yang juga rawan hukum,” pungkasnya.
Terakhir, Haryo mengajak awak media bisa sinergis dan berkolaborasi dalam mengarusutamakan isu pendidikan dalam pemberitaan. Dengan semakin banyak isu pendidikan yang tajam, maka isu pendidikan akan juga menjadi perhatian pemangku kebijakan.
”Dengan begitu, sesuai semangat awal dalam program FJP ini, kemajuan bangsa kita bisa beranjak lebih baik lagi, sesuai harapan.
Perlu diketahui, FJP diinisiasi oleh PT Paragon Technology and Innovation berkolaborasi dengan GWPP. FJP yang akan berlangsung hingga Mei 2022 secara virtual melalui Zoom ini, akan mencakup aspek pelatihan, praktik, dan pendampingan.
Ada lima mentor kapabel yang akan mendampingi yakni Nurcholis MA Basyari, M Nasir, Haryo Prasetyo, Frans Surdiasis, dan Tri Juli Sukaryana.
Dalam FJP Batch IV ini kembali dipilih 15 peserta jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya Wartawan tugumalang.id, M Ulul Azmy yang terpilih menjadi salah satu peserta.