SURABAYA, Tugujatim.id – Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan peristiwa perebutan paksa jenazah Covid-19 di berbagai daerah seperti di Bondowoso, Situbondo, Jember, dan beberapa daerah lain. Hal tersebut terjadi akibat beredarnya kabar di kalangan masyarakat bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit akan dianggap sebagai pasien kasus Covid-19.
Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr Gatot Soegiarto SpPD-KAI FINASIM menjelaskan, saat pandemi seperti ini mekanisme penerimaan pasien baru di rumah sakit dengan sebelum pandemi memiliki perbedaan.
“Sebelum pandemi memang tidak ada keharusan bagi pasien di rumah sakit untuk melakukan screening, apakah menderita penyakit menular atau tidak,” ujarnya.
Akibat adanya pandemi, maka mekanisme penerimaan pasien baru di rumah sakit tentu berbeda. Screening awal yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan ini merupakan cara yang dilakukan untuk mitigasi dampak pandemi.
“Ketika Covid-19 melanda, banyak fakta bahwa dokter dan tenaga kesehatan ternyata ikut terpapar yang tidak jarang membutuhkan perawatan di ICU dan ada yang sampai meninggal dunia. Karena itu, dalam rangka mitigasi dampak pandemi, perhimpunan profesi menyarankan untuk menggunakan
alat pelindung diri (APD) yang lebih tinggi,” terang Gatot.
Selain penggunaan APD yang lebih tinggi, rumah sakit juga mewajibkan screening bagi semua pasien baru, baik yang datang dengan gejala khas Covid-19 atau penyakit tidak spesifik lainnya.
“Nyatanya ada juga ibu hamil yang datang untuk melahirkan ternyata positif Covid-19, pasien yang datang dengan keluhan pada kulit, mata, gastrointestinal atau trauma akibat kecelakaan, kemudian terbukti positif Covid-19,” tuturnya.
Gatot menjelaskan, tes rapid antigen yang dilakukan hanya membutuhkan waktu 30-45 menit untuk melihat hasilnya.
“Tapi, tes ini bisa juga menghasilkan negatif palsu. Untuk itu, bagi pasien yang gejalanya sangat mengarah pada Covid-19, tapi hasilnya (rapid antigen, red) negatif akan tetap diperlakukan sebagai pasien berisiko tinggi dan harus dilayani dengan prosedur yang berlaku. Hal ini saja sudah banyak menimbulkan kecurigaan masyarakat,” jelasnya.
Pemeriksaan swab RT-PCR yang hasilnya lebih akurat terkendala waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasilnya. Untuk mendapatkan hasil swab RT-PCR dibutuhkan waktu lebih dari 24-48 jam.
“Jadi, jika kondisi pasien gawat dan perlu penanganan segera atau bahkan kemudian meninggal di IGD atau ruang isolasi, tapi hasil RT-PCR belum keluar, hal ini sering menjadi pertentangan antara pihak rumah sakit dan keluarga pasien,” katanya.
Dia melanjutkan, rumah sakit dan tenaga kesehatan berkeinginan untuk menerapkan protokol kesehatan yang ada untuk pemulasaraan dan pemakaman jenazah agar tidak terjadi penularan klaster keluarga dan pelayat.
“Tapi, dari pihak keluarga pasien sudah memiliki kecurigaan bahwa pasien akan di-Covid-kan dan berprasangka bahwa rumah sakit serta dokter akan mendapat keuntungan,” imbuh
Gatot.
Selain itu, stigma yang berkembang di masyarakat bahwa jenazah yang dimakamkan sesuai protokol kesehatan tidak sesuai syariah agama menjadi pemicu perebutan jenazah kerap terjadi.
Perbedaan pendapat yang terjadi hendaknya diselesaikan dengan baik melalui edukasi yang dilakukan oleh rumah sakit dan tenaga kesehatan.
“Emosi yang tinggi pada saat kejadian dan adanya prasangka buruk kepada tenaga kesehatan dan
rumah sakit merupakan penghalang yang sangat sulit diatasi. Jika emosi mengalahkan akal sehat,
maka kekacauanlah yang terjadi,” tutupnya.