SURABAYA, Tugujatim.id – Invisible Territories memperlihatkan ruang-ruang perjumpaan yang selama ini tak terlihat oleh banyak masyarakat. Di Biennale Jatim X, melalui pamerannya dari seniman nasional dan internasional meringkas budaya itu dalam wujud karya seni.
Memasuki tempat bak museum yang seolah memperlihatkan sisi sifat tertutup dari sang pemilik, pengunjung diajak menyusuri lorong demi lorong menuju satu ruangan di mana karya-karya seniman Biennale Jatim X tersimpan.
Di deretan taman, di rumput yang hijau. Satu karya Yosep Rizal, berjudul “Makan Makam”. Sekilas, memang hanya berbentuk nisan. Tapi jika dimaknai lebih dalam, huruf-huruf Arab yang ditulis pada papan memberikan kesan bahwa nisan bukan hanya sebatas penanda.
Karya yang menurut Yosep baru selesai 60 persen ini masuk dalam sub tema urban. Tak salah, nisan yang menonjolkan warna silver ini dilatari dari bagaimana seluk beluk makam Kembang Kuning Surabaya.
“Secara konsep, saya terkejut sih pas pertama tau bahwa makam Kembang Kuning jadi tempat prostitusi ‘ilegal’. Jadi idenya adalah bagaimana makam Kembang Kuning secara tidak langsung menjadi perpanjangan,” katanya, pada Jumat (15/12/2023).
Jika melihat sisi historis, makam Kembang Kuning Surabaya yang mayoritas menjadi makam bagi etnis Tionghoa selama ini memang melekat sebagai tempat prostitusi ilegal. Bukan lagi menjadi makam, tempat kedukaan. “Padahal secara teoritis, masyarakat kita punya adab yang tinggi dan menghargai makam. Lalu kenapa itu tidak terjadi pada makam Cina?,” ucapnya.
“Dan saya memilih huruf Arab untuk menuliskan kalimat-kalimat itu adalah imajinasi saya, seandainya semua makam Cina ada tulisan-tulisan Arabnya pasti gak ada orang mau berbuat cabul di situ, secara kan masyarakat Islam kita menganggap semua yang ditulis pakai aksara arab itu suci,” ucap Yosep.
Lalu, memasuki lorong berikutnya, masuk ke dalam satu ruang yang luas, satu karya pembuka. Bergantung di langit-langit, bak tirai yang menjuntai membentuk persegi. Dominasi putih dan setiap sisinya lembaran-lembaran kain dengan raturan warna memberikan kesan penuh cerita. Itulah karya Anas Hope “Renovasi Otak”.
Berbentuk seperti Gorden, Anas mengingatkan bahwa ruang persegi ini sebagai sarana privasi untuk menutup sesuatu yang ada dari luar. “Dari sudut pandang ini, saya mencoba mengaitkan problematis keberlanjutan ekologis dan border personality. Merayakan cara bernalar untuk sarana privasi yang lebih sehat dan keberlanjutan,” katanya.
Tak jauh, pengunjung kembali diperlihatkan sisi historis dari sebuah karya seni milik Asep Saepuloh berjudul “Menggali Ingatan Gumok”. Karya ini tak lepas dari budaya pada masa lampau di Kabupaten Jember.
Dalam penuturannya, pada 2012 Jember memiliki 1.955 Gumok, namun kini menyusut menjadi 600-an lantaran dieksploitasi.
Fenomena ini menjadi khawatiran tersendiri. Oleh sebab itu, Asep menunjukkan melalui karyanya, 18 batu dengan potret cerita masing-masing, tertempel pada lapisan pasir.
“Saya mencoba menggali ingatan Gumok melalui beberapa ingatan warga Kalisat yang tinggal di sekitar Gumok,” ucapnya.
Kemudian, pada karya milik Rakhmi Fitriani berjudul “Fragmen Brantas”. Tiga bingkai berbahan kain, membantuk lukisan dengan ceritanya tersendiri melalui sulaman kain dan benang.
Sungai Brantas, sungai terpanjang kedua di Jawa yang berada di Jawa Timur digali oleh Rakhmi dengan menghasilkan realitas tutupan lahan di sekitar sungai sangat berpengaruh pada aliran Sungai Brantas.
“Setiap fragmen diambil dari gambar citra satelit melalui Google Earth dan diterjemahkan menjadi karya tekstil dengan setiap teksturnya mewakili tutupan lahan dari peta,” jelasnya.
Secara garis besar, pameran Biennale Jatim X pada Invisible Territories merangkum dari tiga wilayah yakni urban, lautan, dan pegunungan. Di mana setiap budaya yang digali memberikan pemahaman kepada pengunjung tentang sisi-sisi yang selama ini tak terlihat di mata umum.
Pameran Invisible Territories dapat diamati di Orasis Art Space Surabaya dari 9 Desember 2023 hingga 6 Januari 2024.
Reporter: Izzatun Najibah
Editor: Lizya Kristanti