SURABAYA, Tugujatim.id – Kasus penganiayaan tersangka Mario Dandy Satrio terhadap David hingga berimbas terkuaknya ayah Mario yang merupakan seorang Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo masih terus menjadi sorotan publik.
Berawal dari gaya hidup Mario yang kerap memamerkan kendaraan mewah seperti mobil Jeep Rubicon dan motor Harley Davidson, masyarakat mencermati harta kekayaan ayahnya, Rafael Alun yang dinilai tak wajar sebagai pejabat Eselon III.
Pasalnya, berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Jakarta Selatan II tersebut memiliki laporan harta kekayaan Rp56 miliar pada 2021.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo yang sebesar Rp14 miliar dan mendekati Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sebesar Rp58 miliar.
Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menyelidiki sumber harta Rafael Alun.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unari) Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo memberikan komentarnya.
Menurutnya, kasus pejabat yang memiliki harta kekayaan yang tak wajar sudah menjadi fenomena gunung es. Artinya, pejabat yang memiliki harta kekayaan tak wajar sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagi publik, namun pejabat yang terlibat mampu menutupinya dengan berbagai rekayasa.
“Kalau kita lihat, fakta yang muncul adalah aset-aset tersebut tidak atas nama sendiri melainkan orang lain. Artinya, ada suatu bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa LHKPN,” ujarnya.
Diketahui, ketika ditelusuri, mobil Jeep Rubicon Rafael Alun ternyata atas nama Ahmad Syarifudin warga Mampang Prapatan. Kemudian, KPK mengungkapkan bahwa Rafael mengaku mobil Jeep Rubicon tersebut bukan miliknya, melainkan telah dijual kepada sang kakak.
Lebih lanjut, Gitadi menjelaskan bahwa mencuatnya kasus Rafael membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menurun, terlebih kepada jajaran Kementerian Keuangan. Sehingga akan berdampak pada pendapatan pajak negara.
“Ketika public distrust meningkat, kemudian ada penurunan keikhlasan dan kemauan masyarakat untuk bayar pajak. Tentu saja yang tersebut sangat berpengaruh,” paparnya.
Untuk itu, Gitadi mengingatkan agar pemerintah dapat melakukan upaya-upaya maksimal guna mengembalikan kepercayaan publik. Sebab, jika tidak segera ditambal dengan upaya yang konkret, maka akan menjadi masalah berkepanjangan.
Kendati demikian, menurut Gitadi, kasus Rafael Alun tersebut menjadi momentum yang tepat bagi LHKPN untuk melakukan perbaikan reformasi kebijakan.
“Sudah waktunya LHKPN untuk diperbaiki sehingga tidak akan ada lagi kasus yang penyembunyian aset dengan mengatasnamakan orang lain. Stakeholders seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK juga harus bersinergi untuk menulusuri kekayaan aset tak terduga dari pejabat publik,” ucapnya.
Selain itu, momentum ini juga menjadi acuan untuk memeratakan keadilan bagi setiap profesi yang sesuai dengan kapasitas, kontribusi, tugas, dan tanggung jawabnya dalam mengelola instansi. Walaupun masalah ketimpangan gaji dan tunjuangan yang diterima masih terjadi.
“Ini momentum yang tepat untuk memeratakan keadilan bagi profesi lain yang memiliki kontribusi masing-masing. Bisa kita lihat, profesi di bidang pendidikan paling kentara bentuk kesenjangannya,” tuturnya.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) tersebut mewanti-wanti agar tidak terjadi unsur politisasi dalam kasus ini. Mengingat saat ini Indonesia sedang mendekati tahun-tahun Pemilu. Stakeholders harus bekerja sama untuk menemukan data akurat yang dapat dimemperkuat sebagai sumber bukti.