JEMBER, Tugujatim.id – Maraknya pemberitaan kasus kekerasan seksual, baik yang menimpa anak-anak maupun perempuan, belum sepenuhnya mewakili sudut pandangan korban.
Beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak, khususnya di Kabupaten Jember, masih ditemukan berita yang menampakkan foto keluarga atau bahkan kerabat dekat korban. Hal itu memungkinkan identitas korban dengan mudah terlacak.
Selain itu, inisial korban yang mudah ditebak publik perlu dikaji ulang untuk menjaga identitasnya. Dosen Sosiologi, Universitas Jember, Rosnida Sari menjelaskan, penggunaan inisial nama korban harus dilakukan oleh seorang jurnalis.
Baca Juga: Dua Motor Adu Moncong di Gedeg Mojokerto, Satu Remaja Tewas
Dalam mengemban tugas sebagai seorang jurnalis, perlu mengaplikasikan cara-cara profesional. Tentunya dengan menghormati hak privasi dan pengalaman yang membuat efek trauma korban di dalam pemberitaan.
“Meski korban meminta untuk disebutkan nama lengkapnya, seorang jurnalis perlu memikirkan kembali dengan cara-cara yang profesional,” ujar Rosnida Sari saat menjadi pemateri di acara bertajuk Menuju Jurnalisme Responsif Gender pada Sabtu (28/09/2024).
Terkait penulisan berita, Rosnida Sari menegaskan, diperlukan pemilihan diksi atau kata yang tepat. Selain itu, kata-kata yang digunakan dalam pemberitaan harus bersifat tidak menghakimi atau bahkan menyudutkan korban kekerasan seksual.
“Seperti mantan korban kekerasan seksual, kata ‘korban’ bisa diganti dengan ‘penyintas’, karena kata korban ini takutnya menimbulkan efek traumatis atau membuat korban mengingat kembali kejadian-kejadian yang menimpanya,” jelas Rosnida Sari.
Tidak kalah penting, seorang jurnalis dalam pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual, harus membuat persetujuan dari korban. Jika korban merupakan anak-anak, bisa meminta persetujuan dari pihak keluarga.
“Terkait boleh tidaknya kasus tersebut diangkat ke media massa,” ujar Rosnida Sari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Writer: Diki Febrianto
Editor: Dwi Lindawati