Oleh Zainul Arifin, member Pondok Inspirasi
Tugujatim.id – Nama saya Zainul Arifin asal Gresik Jawa Timur. Saya merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Sejak SD kelas 4, saya tinggal bertiga bersama kakak dan ibu. Sedangkan ayah saya wafat ketika saya kelas 4. Hal itu sempat membuat diri saya sangat hancur. Meski saat itu saya masih kecil, tapi saya sudah tahu dan merasakan betapa pedihnya kehilangan seorang ayah.
Waktu kelas 3 SD, saya sangat bersemangat untuk sekolah sampai sering peringkat 1 di kelas. Namun ketika ayah saya wafat, dunia seperti berubah. Saya tidak semangat lagi untuk sekolah, mengaji, bermain, dan makan. Saya yang dulu kelas 3 SD peringkat 1 langsung turun kasta ke peringkat 19 dari 25 siswa. Dalam satu minggu pertemuan saya hanya menghadiri 2 kali masuk kelas 4 harinya lagi saya saya membolos. Hal ini membuat saya didatangi ke rumah oleh Bu Guru yang mengajar saya di kelas karena curiga saya jarang masuk kelas.
Akhirnya, saya disamperin di rumah dan yang ketemu guruku hanya ibu. Waktu itu, saya melihat ibu begitu tegar. Padahal saya tahu sendiri, ibu semalaman terus menangis entah itu memikirkan ayah atau menangis karena memikirkan bagaimana mendidik anak dan membiayai hidup anak-anaknya.
Akhirnya malam setelah Bu Guru datang, ibu menghampiri saya lalu memeluk saya sambil berbisik, ‘’Nak, ayo nak semangat sekolahnya, ayah pasti seneng lihat Arifin semangat sekolah lagi,’’ ujar ibu yang seketika ibu langsung menangis sembari mendekap saya.
Semenjak saat itu saya kembali tersadar masih ada orang yang harus saya banggakan, masih ada ibu saya yang selalu support untuk terus sekolah dan melanjutkan pendidikan. Ibu saya membiayai sendiri uang sekolah saya dan kakak yang waktu itu sedang mondok di suatu pesantren di Gresik. Jadi sejak kelas 4 itu juga, saya hanya tinggal berdua dengan ibu. Tidak berselang lama, saya lulus dari SD dengan nilai yang lumayan bagus dan alhamdulillah masuk ke sekolah negeri yang uang biayanya lebih murah dari swasta.
Sejak SD-SMP saya aktif tiap hari membantu ibu untuk berjualan buah dipasar dan hampir tidak ada waktu untuk main. Selesai membatu ibu, kadang sampai malam sekitar jam 11 malam atau jam setengah 12 malam. Tidak jarang juga saya tidur di pasar untuk menemani ibu.
Singkat cerita, waktu SMP, saya mendapatkan tawaran untuk masuk ke salah satu sekolah favorit di kota Sidoarjo lewat jalur beasiswa. Namun syaratnya harus melalui tes terlebih dahulu untuk seleksinya dan melawan pendaftar dari seluruh Indonesia.
Kala itu, saya hanya berbekal yakin dan doa yang sangat banyak dari ibu. Alhmadulilah, waktu itu aku lolos jalur beasiswa. Ibu aku senang sekali sampai meneteskan air mata. Hanya sedikit yang dapat jalur beasiswa. Sisanya merupakan jalur regional yang mana harus mebayar sekitar Rp 50 juta per semester. Saya peluk ibu sambil menangis dan mengucapkan terima kasih sekali ke ibu saya yang selalu support meskipun banyak keterbatasan.
Ketika masuk SMA saya sudah berniat tidak meminta uang lagi ke ibu karena saya sudah yakin bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri meskipun masih sekolah. Saya waktu SMA berjualan gorengan, es , jaket dan baju hasil dari ini lumayan bisa menambah uang jajan hingga saya lulus SMA.
Waktu temen temen pada semangat mau masuk kuliah, saya masih bingung apakah saya bisa kuliah? Karena keterbatasan materi yang saya miliki membuat saya merasa tidak bisa untuk kuliah. Namun, setelah mencari banyak informasi, ternayata ada beasiswa Bidikmisi dan saya mendaftarkan diri.
Sebelumnya tidak pernah terpikir saya bisa kuliah di kampus negeri dan mendapat beasiswa. Namun qodratullah, alhamdulillah saya bisa kuliah di salah satu kampus terbaik di Indonesia yaitu IPB University dan mendapatkan beasiswa Bidikmisi.
Selama kuliah ini, saya berjuang lebih untuk menghidupi diri sendiri dan membuat prestasi. Selama 4 semeter ini saya sudah beberapa kali menjuarai even lomba nasional dan alhamdulillah bisa juga mengirimkan setitik uang untuk ibu saya di rumah.
Dulu ibu saya pernah berkata waktu saya masih SMA, ”Arifin, Ibu ingin Umrah bareng-bareng (antara lain aku,kakak dan ibu).” Pernyataan ibu itu membuat saya tersentuh lalu saya menjawab ”Doain ya bu. Semoga kita dalam waktu dekat bisa umrah.”
Semoga dalam waktu dekat, saya bisa mewujudkan mimpi ibu saya tersebut. Aamiin . . .