SURABAYA, Tugujatim.id – Fatma Saifullah Yusuf merupakan istri Wali Kota Pasuruan Saifullah Yusuf -baru saja dilantik beberapa waktu lalu (26/02/2021) oleh gubernur Jawa Timur di Grahadi Surabaya. Dia bercerita soal hiruk-pikuk menjadi penyintas Covid-19 pada akhir 2020, membuat orang bergidik mendengarnya.
Fatma membuka ceritanya bahwa bagi penyintas Covid-19 yang sudah berhasil sembuh, pasti mengetahui betul bahwa corona merupakan virus yang berbahaya. Sebaliknya, sebagian orang yang belum pernah terpapar Covid-19, banyak yang meremehkan.
“Keluarga besar (Saifullah Yusuf dan istri, red) pernah merasakan Covid-19, betapa bahayanya Covid-19, kalau orang belum mengalami sendiri pasti meremehkannya. Saya tidak menyadari saat itu, imun tidak bagus dan nge-drop,” terang Fatma dalam Pandemi Talk bertajuk “Berbagi Pengalaman dan Dialog dengan Para Penyintas Covid-19” yang diadakan Humas Unesa Sabtu siang (27/02/2021).
“Terpapar pada waktu di Jakarta (tatkala mengunjungi kakaknya, red),” imbuhnya.
Dalam cerita itu, Fatma mengabarkan bahwa kakaknya meninggal dunia. Saat itu banyak keluarga yang datang untuk menguatkan. Namun, kendati ramai didatangi keluarga, Fatma menegaskan sudah menerapkan protokol kesehatan (prokes).
“Pada saat itu, mengunjungi kakak di Jakarta yang terkena kanker payudara, tapi beliau berpulang (meninggal dunia, red). Kami sudah menerapkan prokes, banyak keluarga yang datang. Saya tidak tahu awal terkenanya gimana, akhirnya 17 orang (dari keluarganya, red) terpapar Covid-19,” ucap lulusan Jurusan Psikologi Universitas Darul Ulum Jombang ini.
Gejala yang dirasakan Fatma kali pertama yaitu panas di tubuh, meriang. Sejak dari Jakarta pulang menuju Surabaya, tubuh Fatma masih panas, belum kunjung reda.
“Awalnya keluarga banyak yang panas, saya menyusul mulai panas, kalau tidak salah tanggal 14-15 November 2020, sampai di Surabaya tidak ada perubahan (tetap panas, red), sudah memanggil dokter di rumah, hasilnya saat itu negatif Covid-19,” ujarnya.
Namun, Fatma terus merujuk ke rumah sakit untuk memastikan ulang dengan PCR tes, ternyata hasilnya positif. Dia mengaku pernapasan agak sesak, panas masih belum kunjung turun.
“Tapi, saat masuk rumah sakit, PCR lagi hasilnya positif. Karena tidak turun panasnya, ada sedikit sesak juga di pernapasan. Saya tidak menunggu lama, saya izin suami (Saifullah Yusuf, red) lebih cepat di rumah sakit untuk observasi,” jelasnya.
Fatma menuju Graha Amerta melakukan swab test. Keesokanharinya hasil yang muncul adalah positif Covid-19 lagi. Lalu menetap di rumah sakit, memakai oksigen untuk menghilangkan sesak napasnya.
“Sampai di Graha Amerta, melakukan swab test, malam itu belum ada hasilnya, baru malam kedua. Hasilnya ternyata positif Covid-19. Saya rasanya terpapar Covid-19, di rumah sakit mulai pakai oksigen, belum parah,” tutur perempuan kelahiran Jombang, 31 Oktober 1967, ini.
Berikutnya, setelah menunggu di Graha Amerta, Fatma dirujuk menuju Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya dengan menaiki ambulans. Tidak ada keluarga yang mendampingi, Fatma menjelaskan, karena ini termasuk virus yang menular. Berbahaya!
“Yang bisa dirujuk ialah Rumah Sakit Dr Soetomo, diantar oleh ambulans, tidak ada keluarga yang menemani sama sekali dan sendirian. Karena posisi saya yang memiliki sakit menular. Anak-anak semua swab test, lalu juga positif,” cetusnya.
Sambil melanjutkan ceritanya, Fatma mengatakan, dari total 17 orang di keluarganya yang terkena Covid-19, dirinya termasuk yang paling parah. Hal ini masuk dalam kategori klaster keluarga.
“Dari 17 orang keluarga, saya yang paling parah. Padahal tidak ada komorbit, hanya sesak saja. Saya tidak merasa yang dirasakan pada umumnya, seperti dan sakit semua, sesaknya bertambah. Tetap memakai kanal oksigen. Sore tidak kuat lagi, diganti masker oksigen dan tidak kuat lagi,” jelasnya.
Dia hampir tidak kuat, setiap diberi oksigen, sesak napas masih terasa di dada. Kesulitan bernapas. Lalu diganti dengan oksigen aliran tinggi, Fatma menjelaskan, agar makin lancar pernapasannya.
Fatma juga sudah mulai kehilangan indera penciuman dan indera pengecapnya. Saat itu Fatma tidak bisa membau dan merasakan rasa apa pun yang dimakan.
“Diganti dengan oksigen aliran tinggi, yang bisa membantu saya nyaman untuk napas. Dua malam di HCU (High Care Unit, red) mulai indera penciuman dan perasanya hilang, saya merasakan itu semua,” bebernya.
Beberapa kali Fatma tidak sadarkan diri. Banyak kabel dan infus yang memenuhi sudut-sudut tubuhnya. Ada pengentalan darah juga tatkala diobservasi oleh dokter.
“Ada juga alat pengentalan darah. Saya juga tidak bisa turun dari tempat tidur, di dada juga banyak kabel dan diinfus.Ternyata pada hari kedua, tiba-tiba tengah malam sampai Subuh saya tidak sadarkan diri,” lanjutnya.
Selain itu, selama tidak sadarkan diri, Fatma juga tidak mendengar aktivitas apa pun di dalam ruangan HCU. Padahal, biasanya suara sekecil apa pun dari aktivitas dokter dan perawat, Fatma mendengarnya.
“Harusnya saturasi dengan oksigen lebih dari 90-95 itu bagus, tapi pada waktu itu saya nge-drop. Saya tidak mendengar apa pun, tidak tahu apa yang terjadi, saya dibantu agar bisa napas dengan baik,” tegasnya.
Dari ruangan HCU, Fatma menjelaskan, kemudian dipindahkan ke ruangan ICU. Setiap setelah makan, Fatma dibius dan ditidurkan oleh perawat selama kurang lebih 7 jam.
“Siang harinya, saya dipindah ke ICU (Intensive Care Unit, red). Setiap saya ada sesuatu yang dilakukan suster atau dokter, saya ceritakan ke keluarga. Ternyata di sana (ICU, red) saya ditidurkan, saya ngabarin keluarga kalau barusan ditidurkan,” jelasnya.
“Makan dulu, setelah disuapin akan ditidurkan lagi. Saya pagi dirawat dan seterusnya ditidurkan lagi, yang keempat saya sadar ingat sedikit saja, dibangunkan, karena saat ditidurkan bisa sampai 7 jam,” imbuhnya.
Pola semacam itu terus dijalani Fatma sampai 24 hari perawatan di rumah sakit. Fatma mengatakan, dia dapat sembuh karena belum sampai berusia 55 tahun, tidak memiliki komorbit, serta ada kesadaran untuk terus mengabarkan kondisinya pada dokter.
“Saya bisa sembuh karena usia belum 55 tahun, tidak punya komorbit, bergerak sangat cepat saat merasa pengap di pernapasan langsung komunikasi dengan dokter. Kalau terlambat dua hari saja saya sudah tidak bisa diselamatkan. Itu kata dokter,” tuturnya.
Fatma merasa pasrah pada Allah SWT selama dirawat di HCU dan ICU. Tetap mencoba bertahan, hingga akhirnya Fatma beruntung masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup dan sembuh dari Covid-19.
“Saya tidak mengira sampai 24 hari di rumah sakit, sampai lama di sana dan bertahan. Saya pasrah pada Allah, sudah takdir, anugerah diberi sakit dari klaster keluarga. Satu yang berpulang kakak ipar saya, semua sedih apalagi saya,” cetusnya.
“Apa pun yang diberi dokter itu adalah yang terbaik, banyak yang rewel dan itu wajar. Tapi, saya memberi apresiasi pada dokter dan perawat. Di rumah sakit tidak seperti di rumah, ketika saya membutuhkan sesuatu tidak bisa langsung datang (karena dokter dan perawat juga merawat pasien lainnya, red),” ujarnya.
Dalam akhir cerita, Fatma menegaskan bahwa dokter dan perawat selalu memberi pilihan yang terbaik untuk pasiennya. Tapi, memang kadang banyak yang rewel, perlu dipahami juga bahwa banyak orang yang dirawat oleh tenaga medis sehingga perlu sabar.
Fatma menyampaikan cerita itu dengan berbagi pengalaman untuk menambah kesadaran masyarakat bahwa Covid-19 itu berbahaya dan terus melakukan penerapan prokes selama pandemi Covid-19 belum berakhir. (Rangga Aji/ln)