TUBAN, Tugujatim.id – Sosok Syekh Maulana Makhdum Ibrahim atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, ulama yang terkenal memiliki banyak keistimewaan karena mengusai berbagi bidang ilmu. Mulai dari keagamaan, filsafat, maupun kesastraan. Tidak hanya itu, putra dari Sunan Ampel atau Raden Rahmatullah ini juga jago dalam ilmu bela diri maupun jadi arsitek hebat yang pernah ada di Nusantara.
Sebelum membahas lebih banyak terkait salah satu anggota dari Wali Sanga ini, terlebih dulu mengenal sosok Sunan Bonang. Raden Maulana Makhdum Ibrahim lahir pada 1465 di Rembang. Dia merupakan putra dari pasangan Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Menilo, putri dari bupati Tuban Tumenggung Arya Teja.
Baca Juga: Coming Soon! Tugu Jatim Gelar Event Gebyar Libur Lebaran, Seperti Apa Keseruannya?
Sunan Bonang mempunyai delapan bersaudara, di antaranya seperti Raden Qosim (Suana Drajat), Siti Syari’ah, dan yang lainnya. Dia banyak menimba ilmu dari ayahandanya Sunan Ampel semasa masih di Padepokan Ampeldenta, Surabaya. Sesama santri kala itu, ada Sunan Giri, Raden Patah, dan lain-lainnya.
Selain menyantri kepada ayahnya, dia juga menuntut ilmu kepada pamannya Syeikh Maulan Ishaq Malaka yang juga merupakan orang tua dari Raden Paku atau Sunan Giri saat akan menjalankan ibadah haji.
Menurut penuturan Pengurus Yayasan Mabarot Makam Sunan Bonang Tuban H. Hidayaturahman menyampaikan, Sunan Bonang berdakwah dengan bijak dan lembut, menggabungkan nilai-nilai Islam dengan tradisi dan budaya lokal. Dia menyadarkan masyarakat bahwa Islam tidak bertentangan dengan kebudayaan mereka. Namun sebaliknya, dia bisa menjadi penguat nilai-nilai luhur yang sudah ada.
Seperti julukan yang diterima beliau yaitu bonang. Sebuah alat musik yang berbentuk gong. Namun ukurannya lebih kecil. Suara yang dikeluarkan lebih bervariasi dan menambah musikalisasi dalam memainkan gamelan.
“Dalam riwayat lain nama dari bonang. Saat dia diajak ayahnya ke Yunnan Tiongkok. Dia disebut Bon Ang. Sedangkan anak dari Sunan Ampel Bong Shi Wo. Ada sebut lainnya juga dia Sunan Bonang dipanggil Nambi yang Song. Nambi kalau dipakai bahasa kita anak ulama,” kata pria yang akrab disapa Gus Dayat pada Senin (18/03/2024).
Dalam dakwahnya, Sunan Bonang banyak dipengaruhi oleh kesustraan dan budaya Jawa. Sebab, saat masih di Kadipaten Tuban, Sunan Bonang mempelajari sastra maupun budaya Jawa, seperti gamelan. Tak heran banyak karya tembang yang dilahirkan oleh Sang Wali, seperti Dhandang Gula, Macapat, dan lain sebagainya.
“Ajaran yang masih dipegang teguh masyarakat Muslim Indonesia, seperti tasawuf dan ketauhidan. Dalam kitab karangan Sunan Bonang yakni Primbon Bonang yang saat ini berada di perpustakaan Leiden Belanda. Kami hanya punya PDF-nya dan sempat diterjemahkan. Di sana banyak pada lelaku atau lelaku yang intisari buku itu diambil dari kitab Ihya ‘Ulumddin karangan Imam Ghozali,” terangnya.
Masuknya Islam memang kali pertama oleh buyutnya Syekh Jumadil Kubro yang berdakwah di pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit, kemudian dilanjutkan kakeknya Syekh Ibrahim Asmaraqandi dan Sunan Ampel.
Dengan ceramah yang menyentuh dan kebijaksanaan yang luar biasa, Sunan Bonang berhasil memenangkan hati banyak orang. Masyarakat pun mulai mengenal Islam dengan cara yang baru yang tidak menghapuskan tradisi mereka, tetapi mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi.
Berkat usahanya yang gigih, Sunan Bonang berhasil membangun masjid-masjid yang menjadi pusat pembelajaran agama dan kebudayaan. Dia tidak hanya menjadi ulama, tetapi juga seorang budayawan yang menghormati warisan nenek moyangnya.
Akhirnya, Pulau Jawa tidak hanya menjadi tempat kaya akan tradisi dan budaya, tetapi juga menjadi tempat di mana ajaran Islam hidup berdampingan dengan harmoni, berkat usaha Sunan Bonang yang menggabungkan keduanya dengan bijak dan penuh kasih sayang.
“Kalau secara geografis kawasan dakwah beliau di Pantura Pulau Jawa bagian timur maupun tengah,” ujarnya.
Sunan Bonang meninggal pada 1525 di daerah Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kemudian, banyak santri dari beliau yang berasal dari Madura, Bawean, maupun luar Jawa.
Murid dari Bawean maupun Madura menginginkan sang guru dikebumikan di tanah mereka. Namun saat melewati pelabuhan Pantai Boom, perahu yang mengangkut jasad beliau berputar-putar.
Salah satu dari muridnya diberikan isyarat kalau dia ingin dimakamkan di tanah leluhurnya di Tuban daerah pesisir utara Jawa yang menjadi basis perjuangan dakwahnya. Makam Sunan Bonang hingga saat ini masih dikunjungi banyak peziarah se-Indonesia.
Writer: Mochamad Abdurrochim
Editor: Dwi Lindawati