JEMBER, Tugujatim.id – Komunitas belajar di Jember fokus pada pembentukan karakter berbasis kearifan lokal dengan menghadirkan aneka permainan tradisional. Mahasiswa bule asal Amerika Serikat pun terpikat turut bermain permainan tradisional bersama anak-anak sanggar komunitas belajar.
Menghadirkan kembali permainan tradisional yang mulai tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi, menjadi upaya komunitas belajar di Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, berfokus pada pembentukan karakter berbasis kearifan lokal.
Pembentukan karakter anak diorientasikan pada lokalitas, melalui permainan tradisional seperti egrang, hingga polo di kolam lumpur. Minggu Ceria menjadi momentum bagi mayoritas anak-anak buruh migran di Kecamatan Ledokombo untuk belajar dan bermain, serta mendorong pembentukan karakter di masa tumbuh kembangnya.
Founder Tanoker, Farha Ciciek menjelaskan, di tempat belajar yang didirikan sejak tahun 2009 itu, menjadi ruang alternatif untuk mengembangkan wawasan inovatif bagi anak-anak.
“Yang mungkin mereka belum dapat di pengajian TPQ maupun di sekolahnya,” ujar Farha Ciciek saat ditemui Tugujatim.id pada Senin (16/9/2024).
Selain itu, anak-anak di Tanoker berkesempatan untuk berinteraksi bersama orang-orang dari berbagai macam suku, ras, dan agama, baik dari Indonesia bahkan dunia. Di saat itu juga, Tanoker terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar hingga menjadi volunteer.
Saat ditemui Tugujatim.id, beberapa institusi pendidikan hadir di Tanoker untuk belajar dan bermain bersama anak-anak Ledokombo. Seperti santri dari SMA Bumi Cendekia Yogyakarta dan UPH College Tangerang.
Sedangkan dari mancanegara, Skaidra Pulley merupakan mahasiswa yang baru lulus dari San Diego State University. Di Tanoker, Skaidra Pulley menjadi volunteer yang menemani anak-anak untuk belajar dan bermain permainan tradisional.
“Jadi disini kita merasakan Indonesia dan dunia, menyadarkan kita, kalau Islam, Islam yang apa? Islam yang mau membuka diri, Islam yang ramah, yang mau bergaul dengan yang lain, sehingga tercipta Bhineka Tunggal Ika,” jelas Farha Ciciek.
Tidak jarang, anak-anak di Tanoker memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Terbukti, saat ditemui Tugujatim.id mereka tanpa malu-malu, menyambut dan bertanya kepada siapa saja yang baru datang. Hal itu pula, menjadi alasan pembentukan karakter anak-anak di Tanoker, yang tidak terlepas dari interaksinya bersama orang-orang dengan latar belakang yang berbeda.
Sementara itu, Skaidra Pulley mengaku, meski kesulitan saat berinteraksi dengan anak-anak karena keterbatasan bahasa, dirinya bisa bermain berbagai permainan tradisional. Tentunya dengan waktu yang terbatas, karena ia juga sedang bekerja sebagai editor jurnal di salah satu kampus yang ada di Kabupaten Jember.
“Saya hanya tiga hari mengikuti kegiatan di Tanoker, meski keterbatasan bahasa cukup menyulitkan saya berinteraksi dengan anak-anak disini, kami tetap bisa bermain bersama dan mereka tampak sangat bahagia,” ujar Skaidra Pulley.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Tugujatim.id
Reporter: Diki Febrianto
Editor: Darmadi Sasongko