MALANG, Tugujatim.id – Alzheimer’s Disease (AD) merupakan salah satu tipe demensia yang paling banyak diderita orang di dunia, di mana para penderita penyakit ini akan mengalami penurunan fungsi kognitif serta perilaku secara progresif.
Berdasarkan laporan WHO, diketahui bahwa terdapat 55 juta penderita AD di mana lebih dari 120 ribu di antaranya meninggal dunia dan diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 10 juta kasus baru per tahunnya.
Sedangkan di Indonesia, pada 2020 diketahui terdapat lebih dari 1,3 juta penderita AD dan diprediksi akan meningkat hingga 3,8 juta penderita pada 2048.
Atas dasar itulah, mahasiswa Departemen Kimia dan Pendidikan Dokter Universitas Brawijaya (UB) Malang berkolaborasi melakukan riset optimasi ekstrak bahan alami sebagai obat pereduksi Alzheimer. Ekstrak bahan alami yang diteliti adalah daun kelor.
Tim riset terdiri dari empat mahasiswa yakni Adi Kurnia Soesantyo (Kimia, FMIPA), Jonathan Linggadiputra (Kimia, FMIPA), Gustav Dasa Sitompul (Pendidikan Dokter, FK), dan Farahiyah Sharfina Saputri (Pendidikan Dokter, FK).
Mereka di bawah bimbingan Dr Husnul Khotimah SSi MKes mengembangkan suatu inovasi ekstrak daun kelor (moringa oleifera) Terenkapsulasi Nanopartikel Emas (MO-AuNP) untuk diuji coba pada tikus model AD.
Penelitian ini didanai oleh Kemdikbudristek dan UB melalui program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Eksakta 2023.
Adi mengatakan bahwa obat Alzheimer yang ada di pasaran belum dapat dijangkau oleh masyarakat dan memiliki efek samping bagi penderita yang mengalami komplikasi. “Saat ini obat Alzheimer yang tersebar luas di pasaran memiliki efek samping tersendiri bagi pasien yang memiliki komplikasi, selain itu obat Alzheimer masih belum dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat,” ucapnya.
Menurut Adi, AD paling banyak disebabkan adanya penumpukan amyloid beta pada sistem saraf otak. Molekul protein ini diproduksi melalui pemrosesan proteolitik protein transmembran, protein prekursor amiloid (APP), oleh β- dan γ-sekretase.
“Pada penelitian ini kami membuat tikus model Alzheimer yang diinduksi dengan amyloid beta, lalu kami induksikan kembali secara rutin dengan obat ekstrak kelor terenkapsulasi emas buatan kami. Selanjutnya kami melakukan beberapa uji terhadap tikus, terutama adalah uji tingkah laku kognitif tikus,” ujar Adi.
Pada hasil penelitian diperoleh bahwa MO-AuNP akan lebih mudah diserap darah menuju sistem saraf dibandingkan ekstrak tanpa dienkapsulasi dalam ukuran nano.
Selain itu, obat yang diinovasikan terbukti mampu meningkatkan kondisi kognitif tikus dan juga mengurangi plak amyloid beta.
Di lain sisi, selain memiliki efek yang menjanjikan, melalui prediksi adsorbsi dan tingkat toksisitas obat, diprediksi MO-AuNP ini memiliki kondisi toksisitas obat yang rendah, namun penyerapan dan pengikatan protein yang tinggi menuju Sistem Syaraf Pusat (SSP).
“Obat ini tengah dalam tahap pengembangan, masih banyak evaluasi dan langkah yang harus ditempuh agar obat siap pakai dan dapat digunakan oleh masyakarat luas. Kami berencana mengembangkan obat ini tidak hanya berhenti pada skala lab dan pada program PKM ini, namun akan terus dikembangkan dan dioptimasi,” tambah Gustav.
Farah melanjutkan bahwa penelitian ini memang sedang dalam tahap pengembangan dan harapannya bisa menjadi alternatif obat yang bisa diakses seluruh masyarakat dengan efek samping minim.
“Meskipun masih penelitian dan masih dalam tahap pengembangan, harapannya nanti obat ini akan dapat dioptimasi lebih lanjut dan digunakan oleh masyarakat Indonesia, sebab obat ini akan bisa menjadi alternatif obat yang baik dan minim efek komplikasi,” ujarnya.
Penelitian ini diharapkan bisa memudahkan treatment pada penderita alzheimer di Indonesia dan sebagai bentuk nyata kontribusi mahasiswa UB untuk penanggulangan darurat Alzheimer di Indonesia saat ini.
Reporter: Yona Arianto
Editor: Lizya Kristanti