Memaknai Tradisi Mayoran ala Santri

mayoran tugu jatim
Mayoran santri putra. Foto: dok Pondok Pesantren Darunnajah Al-Manshory

Oleh: Rizky Zainal Fanani*

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia yang dikenal memiliki berbagai tradisi yang begitu unik. Tradisi yang ada di pondok pesantren menjadi keunikan yang patut dikaji. Pesantren memiliki beberapa tradisi yang keberadaannya telah mengakar kuat dan menjadi ciri khas setiap pesantren, seperti tradisi keagamaan yaitu shalat berjamaah, khatmil Qur’an, bersedekah, puasa Senin Kamis, istigasah, pengajian kitab kuning, maupun sorogan.

Namun, tradisi dalam pesantren tak hanya tradisi keagamaan, namun ada juga tradisi sosial seperti kerja bakti, sarungan, dan mayoran. Dari banyaknya tradisi itu saya ingin berfokus pada tradisi mayoran. Yaitu makan bersama di atas nampan atau di atas pelapah daun pisang. Makanan yang disajikan dengan nampan ini sering disebut sebagai mayoran.

Mayoran merupakan tradisi yang ada di lingkungan pesantren, khususnya pesantren salaf. Makan bersama atau yang lebih dikenal mayoran di pesantren adalah kata-kata yang sering digunakan oleh santri untuk melakukan kegiatan makan bersama dalam satu wadah. Wadah itu bisa berupah pelapah daun pisang, bisa juga dengan nampan atau talam. Satu daun pisang banyak tangan merupakan pelajaran berharga.

Pelajaran membangun karakter kebersamaan dan kesederhanaan dalam lingkungan pesantren. Satu nasib, satu tanggung jawab, satu rasa. Tidak ada beda pembagian antara mereka yang memberi banyak atau sedikit, antara yang iuran dan yang tidak iuran, antara yang masak nasi dan yang menggoreng lauk.

Semua santri makan bersama pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Makan bersama ala santri ini juga menjadi latihan praktis yang menjauhkan santri dari rasa iri dan dengki. Mayoran dengan banyak tangan dalam satu wadah atau daun pisang merupakan momen yang sangat disukai oleh semua santri. Bukan karena mewah atau lezatnya makanan, tapi karena kebersamaan dan keserdahaan itulah yang membuat momen tersebut tidak bisa terlupakan ketika kelak sudah tidak nyantri lagi.

Peserta mayoran biasanya mengolah menu makanan di dapur yang disediakan untuk santri, walau menunya sederhana dan tukang masaknya lebih dari satu atau keroyokan. Tapi teman-teman santri tetap makan dengan lahap. Mereka tetap menikmati kelezatan makanan bukan dari rasa makanan yang ia makan, melainkan dari kebersamaan dan keserdahaan yang ia ciptakan.

Pada dasarnya mayoran merupakan salah satu bentuk rasa syukur. Santri makan bersama dengan nampan besar atau pelapah daun pisang, biasanya untuk merayakan sesuatu yang dikenang, seperti ulang tahun, sukses khatam Al-Qur’an, lulus ujian, dll. Namun, tidak jarang santri selalu makan bersama, setidaknya di atas piring untuk dua orang. Hal ini menunjukkan bahwa para santri mengakui rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta. Selain makan bersama, para santri juga cenderung minum bersama teman-temannya yang lain. Hal ini mencerminkan sikap santri yang rendah hati.

Terasa bangga menjadi santri. Segala sesuatu yang dilakukan dengan mencontoh Rasulullah SAW. Tidak bisa dipungkiri bahwa Nabi mengajarkan tentang makan bersama sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عن وحشي بن حرب رضي الله عنه أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا: يا رسول الله إنا نأكل ولا نشبع ؟ قال: فلعلكم تفترقون قالوا: نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله يبارك لكم فيه رواه أبو داود

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, disebutkan bahwa para sahabat Nabi bertanya mengapa mereka tidak merasa kenyang saat makan. Nabi Muhammad SAW akhirnya memerintahkan untuk makan bersama dan membaca Basmalah. Demikianlah Allah mengirimkan berkah. Nasihat Nabi diikuti oleh para sahabat dan keluarganya.

Menurut Masyayikh Ponpes Darun Najah, Gus Ahmad Maulana, tradisi mayoran ala santri adalah bentuk santri untuk mengamalkan dawuh para masayikh bahwa ittihad wal wahdah, persatuan dan kebersamaan, khususnya santri harus tetap dijaga dengan baik. Mayoran juga memiliki makna simbolis. Pada dasarnya, semua manusia itu sama di mata Allah SWT. Tidak memandang perbedaan suku, budaya, latar belakang keluarga, warna kulit, bahasa dan lainnya. Saat masuk pesantren semua santri dianggap sama. Tidak ada batasan yang memisahkan kaya maupun miskin, tidak peduli anak pejabat, anak presiden, dan lain sebagainya.

Makan secara bersama-sama bukan hanya dimaknai secara simbolis saja, tetapi di balik itu semua terdapat sunah yang diajarkan. Seperti yang ada dalam hadist di atas bahwa Nabi Muhammad SAW menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk makan bersama sehingga terdapat keberkahan di dalamnya.

Oleh karena itu, kiai-kiai sebagai pimpinan di pesantren mengajarkan betapa pentingnya menjalin kerukunan satu sama lain. Ini merupakan bentuk hablum minannas atau menjalin dan menjaga hubungan sesama umat manusia.

*Penulis merupakan Mahasiswa IAI Al-Qolam Malang.