Nahdlatul Ulama Tolak Tegas Sistem Khilafah, Wacanakan Fikih sebagai Jalan Wujudkan Keharmonisan Dunia

KH Mustofa Bisri dan Yenny Wahid saat membacakan piagam forum Muktamar Internasional Fikih Peradaban di puncak Resepsi Harlah Seabad NU di GOR Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (07/02/2023). (Foto: tangkapan layar)

SIDOARJO, Tugujatim.id – Nahdlatul Ulama (NU) melalui forum Muktamar Internasional Fikih Peradaban menyatakan dengan tegas untuk menolak sistem khilafah. NU sebagai organisasi Islam yang besar di Indonesia lebih memilih jalan lain dengan mewacanakan fikih sebagai jalan untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih harmonis.

Piagam hasil Muktamar Internasional ini dibacakan dalam dua versi bahasa pada Puncak Resepsi Harlah Seabad NU di GOR Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (07/02/2023). Dalam versi bahasa Arab dibacakan oleh KH Mustofa Bisri dan dalam bahasa Indonesia dibacakan putri Gusdur Yenny Wahid.

Dalam piagam tersebut, Nahdlatul Ulama menolak pandangan fikih klasik tentang gagasan penyatuan umat di bawah sistem negara khilafah.

“Tekad Satu Abad Nahdlatul Ulama, NU berpandangan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat,” ucap Yenny Wahid.

Selain itu, dia mengatakan, cita-cita untuk mendirikan kembali negara khilafah memang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia. Namun, di sisi lain dalam konteks berhubungan dan berhadapan dengan kaum non-muslim, itu tidak pantas untuk diusahakan. Apalagi sampai dijadikan sebagai sebuah aspirasi.

Hal ini terbukti dalam upaya pendirian negara ISIS yang ramai beberapa tahun terakhir. Di mana usaha seperti ini justru akan berakhir dalam kekacauan dan justru berlawanan dengan tujuan-tujuan pokok agama atau maqashidu syariah.

Maqashidu syariah sendiri punya lima prinsip, yakni menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, hingga menjaga harta.

“Dalam kenyataannya, usaha-usaha untuk mendirikan kembali negara khilafah, nyata-nyata bertabrakan dengan tujuan-tujuan pokok agama tersebut. Ini karena usaha semacam ini akan menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik,” imbuh Yenny Wahid.

NU pun berpendapat jika saja pendirian negara khilafah akhirnya berhasil, usaha-usaha ini justru bisa meruntuhkan tatanan sistem bangsa dan negara. Konflik berbau kekerasan akan muncul dan menimpa sebagian besar wilayah di berbagai belahan dunia.

Apalagi dalam sejarah telah ditunjukkan bahwa kekacauan akibat perang pada akhirnya akan selalu berdampingan dengan penghancuran yang luas. Di antaranya penghancuran rumah-rumah ibadah, hilangnya banyak nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, hingga harta benda.

“Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia, al-ummah al-islamiyyah, adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non-muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam, ukhuwah basyariyyah,” lanjut Yenny Wahid.

NU mengakui bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta piagamnya memang tidak sempurna dan masih mengandung masalah hingga sekarang. Meski begitu, NU menyadari bahwa piagam PBB sejak awal dibuat dalam upaya mengakhiri perang yang sangat merusak.

Perang merupakan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional yang tidak harmonis dalam sejarah manusia.

“Karena itu, Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis,” ucap Yenni.

Dibandingkan dengan cita-cita dan usaha menyatupadukan seluruh umat Islam dalam sistem negara khalifah atau negara tunggal sedunia, Nahdlatul Ulama lebih memilih jalan lain. Caranya dengan jalan mengajak umat Islam untuk menjalankan visi baru, yakni melalui pengembangan wacana baru tentang fikih. Terutama fikih yang bisa menangkal eksploitasi atas identitas, mencegah penyebaran kebencian antar golongan, menciptakan solidaritas dan rasa saling menghargai perbedaan di antara sesama manusia, antar budaya, hingga di antara bangsa-bangsa di dunia.

“Serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. Visi yang seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariah,” tutup Yenni.

Untuk diketahui, dalam Piagam Muktamar Internasional Fikih Peradaban Nahdlatul Ulama dihasilkan dalam forum yang dihadiri oleh ratusan ulama dan perwakilan 15 pakar dari berbagai negara. Muktamar Internasional Fikih Peradaban telah dilaksanakan sebelumnya dan dibuka oleh Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin di Hotel Shangri-La, Kota Surabaya, Senin (06/02/2023).