MOJOKERTO, Tugujatim.id – Kecerdasan buatan atau artificial intelligence dari tahun ke tahun mengalami perkembangan masif. Perusahaan besar teknologi berlomba-loma meluncurkannya, OpenAI dengan ChatGPT, Google menjagokan Bard, serta Microsoft dengan Sydney-nya.
Kemunculan mereka yang hadir dengan beragam fitur, fungsi, serta tampilan semakin berdampak terhadap banyak aspek kehidupan manusia, tak terkecuali dunia pendidikan.
Meski demikian, perkembangan kecerdasan buatan bak dua sisi mata uang; ada yang menyambut baik, ada pula yang beranggapan buruk.
Pakar pendidikan asal Malang, Dr Sakban Rosidi MSi memandang bahwa kehadiran kecerdasan buatan tak selalu berdampak buruk.
Dia mengatakan bahwa kecerdasan buatan bisa menjadi rekan yang berperan memberi masukan persiapan awal masuk kelas. “Menurut saya, ini akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang akan masuk kelas. Diskusi di kelas dan praktiknya akan menjadi sangat fruitful sekaligus melakukan koreksi bila terjadi kesalahan,” ucapnya.
Masih menurut Sakban, tak hanya memberi masukan untuk masuk kelas pembelajaran, kecerdasan buatan dapat memberi saran pemilihan jurusan untuk kuliah. “Dari mini riset saya, seperti kau lihat, chat ini juga lumayan cakap untuk menjadi konselor dalam rangka penjurusan dan memilih proram studi,” imbuh pria kelahiran Kediri itu.
Meski demikian, diakui Sakban, kecerdasan buatan masih menyisakan kelemahan. Terlebih ketika mendapat pertanyaan yang sifatnya eksplorasi. “Kalau pertanyaannya eksplorasi, apalagi meminta evaluasi, ia akan kebingungan. Jawabannya sangat ngambang, dan senantiasa mengembalikan kepada yang bertanya,” ucapnya.
Sementara untuk pertanyaan investigatif, temuan Sakban menunjukkan kecerdasan buatan lumayan bagus melakukan perbandingan. “Untuk pertanyaan investigatif, lumayan bagus dalam melakukan perbandingan dan dialektika. Justifikasinya juga lumayan (kasus Thurstone, Guilford, dan Cronbach),” ujarnya.
Lalu, kata dia, untuk pertanyaan yang meminta penjelasan lebih spesifik seperti pertanyaan tentang DAT, jawaban yang diberikan sangat menyenangkan.
“Problema kita ke depan adalah kesanggupan bermitra dan berpasangan dengan mesin pintar. Manusia harus menguatkan sisi kreatif, intuitif, empatik, dan afektif,” tutup pria yang sudah menggunakan komputer sejak 1983 itu.