Setiba di Rumah Sakit
Di RS, kami sampai sudah malam sekitar jam 11. Langsung rontgen, saya dan suami satu kamar. Kami langsung dipasang infus saat masuk malam itu supaya obat-obatan cepat masuk dan cepat bekerja. Kami juga mendapat macam-macam obat minum mulai dari obat antivirus, antibiotik, penurun panas, obat untuk lambung, vitamin, baik melalui minum, melalui suntikan vemplon atau langsung ke otot, dan infus tadi.
Kami berusaha tidur walaupun rasanya jelas berbeda dengan di rumah. Di RS, setiap waktu terdengar ada suara. Juga bolak balik terdengar seperti suara tabung oksigen yang didorong.
Hari itu kami juga langsung mengumumkan ke banyak orang melalui grup WA atau langsung japri. Bahwa kami terkena Covid-19 sehingga yang bertemu kami dapat langsung periksa swab PCR, dan kami mohon doa semoga kami segera sehat kembali.
Karena suami tidak pernah sakit yang sampai menginap di RS, sehingga yang paling merasa tidak nyaman pertama kali adalah suami. Jadi untuk membuat tenang, kami juga bertanya macam-macam hal dengan dokter dan perawat. Termasuk bertanya siapa tetangga kamar kami, walau kami juga tidak boleh keluar kamar. Bahkan perawat dan dokter yang masuk ke kamar kami juga harus selalu menggunakan APD. Jadi kami titip salam saja melalui perawat-perawat kepada tetangga kamar kami.
Hari kedua pagi tambah beberapa dokter yang visit, kemudian kami mendapat tambahan beberapa obat lagi. Ada pengencer darah, anti-cholesterol, tambahan antibiotik melalui infus. Hari ini kami tes PCR lagi. Malamnya diberitahu hasilnya kami masih positif.
Oh ya, hari itu salah satu dari yang makan malam bareng di Semarang ternyata ada yang positif juga, sehingga masuk RS juga bersama kami.
Saat itu, kami betul-betul berusaha menjaga semangat dan mood kami, kami saling menanyakan kabar, kami makan banyak, sejak hari pertama masuk RS saya makan dan minum banyak, apa saja yang dikirim oleh teman-teman yang baik hati. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan mereka, walau rasanya asin semua atau manis semua. Pokoknya saya makan saja. Tapi beda lagi dengan suami. Suami sudah mulai tidak mau makan. Saya sempat protes bagaimanapun harus makan banyak.
Saat hari keempat, saya sudah mulai merasa biasa. Keluhan nyaris tidak ada. Tetapi suami mulai merasakan keluhan lain yakni cegukan dan rasa tidak enak di lambung walau sedikit. Tetapi suami masih mengetik macam-macam sendiri dan kami juga masih melakukan olahraga ringan jalan bolak-balik di dalam kamar. Konsumsi makanan minuman yang panas- panas untuk membuat tubuh hangat, seperti teh, wedang uwuh, dan segala macam jamu-jamuan yang dikirim teman-teman yang baik hati.
Hari kelima, keenam, dan ketujuh, suami demam. Dengan obat penurun panas demam hilang, tapi kemudian demam muncul lagi. Keluhan cegukan dan rasa tidak enak pada perut muncul berulang juga. Kondisi ini berlangsung sekitar tiga hari. Kemudian hari kedelapan, alhamdulillah suami sudah tidak demam lagi. Tidak cegukan kembali, kemudian kondisi lanjut membaik.
Di lain pihak, sebagai pemerhati, kami juga merasa wah sudah tidak terdengar suara glodagan tabung oksigen lagi. Jadi kami bertanya ke perawat. “Mbak, kok tidak ada suara tabung oksigen lagi” “Oh itu Bapak … (perawat menyebutkan nama, pen) sudah meninggal, Bu,” jawab mbak perawat. Padahal, beberapa hari yang lalu, pasien ini yang sempat kirim-kiriman salam dengan kami. Begitu mendengar jawaban mbak perawat, rasanya kaget mak duuegggg. Ya Allah, sambil dalam hati kami tetap berdoa. “Berilah kami kesembuhan ya Allah.”
Kemudian siangnya, suami mulai muncul keluhan rasa tidak enak di dada. Kata suami, “Rasanya sakit ma, apalagi kalau tarif nafas.” “Kalau begitu minum obat dulu, setelah minum obat, rasa sakit berkurang.” Tapi keluhan hilang-timbul. Baik sesak dan rasa sakit di dada itu, mulai ini asli saya mulai keriting dan makin penuh doa terus, ya Allah
Hari ke sembilan kami tes PCR, hasilnya saya sudah negatif suami masih positif. Karena saya sudah negatif, saya harusnya langsung pulang, tetapi suami masih positif, jadi saya memilih menemani suami dengan tetap menggunakan masker. Saya tahu ini berisiko, tapi saya tidak mungkin meninggalkan suami saya sendirian dalam kondisi seperti itu. Saya hafal betul bagaimana suami saya. Saya anggap ini adalah bakti dan kewajiban istri, bagian dari ibadah kepada Allah. Jadi tekad saya menemani suami dan insyaallah nanti pulang ke rumah bareng suami. Aaamiinnn. Bismillah.
Hari kesebelas, alhamdulillah suami negatif dan kami bisa pulang ke rumah.
Kembali ke Rumah Sakit Lagi
Ternyata saat di rumah saturasi O2 suami malah menurun. Terasa sesak dan dada tambah sakit terutama saat tarik nafas panjang. Waduh ini tidak benar, berarti masih harus perbaikan. Sehingga besoknya kami masuk RS kembali, tapi di tempat yang berbeda bukan di zone merah lagi.
Keluhan yang masih ada pada suami ternyata adalah gejala sisa Covid. Beberapa menyebutnya dengan long covid. Ibarat angin puting beliung yang datang pada suatu tempat kemudian meninggalkan kerusakan, setelah itu angin puting beliung tersebut pergi, tapi kerusakan yang ada harus segera diperbaiki. Inilah yang terjadi pada beberapa pasien Covid dengan gejala sisa. Covid menyerang, kemudian meninggalkan kerusakan, kemudian Covid pergi (hasil pemeriksaan PCR sudah negatif), tetapi kerusakan yang ditimbulkan masih ada dan harus segera diperbaiki secara cepat dan tepat agar segera membaik, sembuh dan tidak berakibat fatal.
Hari-hari selanjutnya juga adalah masa penuh ikhtiar dan doa. Terbayang saat itu saya melihat kondisi suami yang sesak. Yang harus menggunakan oksigen bila tidak menggunakan oksigen, saturasi O2 menurun. Yang harus melakukan posisi pron, yang bila berjalan ke toilet memerlukan bantuan. “Masya Allah. Betapa kecilnya kami. Benar-benar kami tidak mengetahui perjalanan apa dan bagaimana yang akan terjadi besok. Yang jelas kami harus terus ikhtiar dan berdoa.”
Berulang kali, saat di dekat suami, saya sampaikan, “Harus semangat ya papa! Harus sehat ya! Kita kan belum mantu adek. Adek kan sekarang sudah kumpul di Jakarta (setelah sebelumnya kost di Yogyakarta dan boarding saat SMA), masih banyak hal yang insyaallah bisa dikerjakan bila sehat. Papa semangat ya!” Suami saya menjawab. “Iya,” saat itu, ia dengan memakai oksigen dengan kondisi masih sesak. Duuhh kalau ingat masih mbrebes mili ini.
Alhamdulilllah saat itu sudah ada HFNC (High Flow Nasal Canul), alat yang dapat langsung mengalirkan oksigen ke pasien dengan tekanan tinggi dan rasa hangat, tanpa tergantung kemampuan pasien menghirupnya, alhamdulillah dengan memggunakan HFNC kemudian terjadi perkembangan dan respon yang bagus pada suami.
Terapi saat itu adalah obat-obatan kombinasi baik melalui infus, suntikan dan minum, penggunaan oksigen melalui HFNC, dan fisioterapi dua kali sehari.
Saat menemani suami saya, tugas saya adalah bolak balik juga mengecek lebih dahulu jenis, jumlah, dan dosis obat yang diberikan. Makanan minuman yang dikonsumsi, baju yang dikenakan basah atau tidak. Karena setiap basah keringatan harus ganti, memberikan semangat apakah melalui pijatan, menceritakan hal hal yang lucu-lucu, dan harus benar benar sabar.
Suami sambil tiduran biasanya juga selalu mendengarkan tausyiah atau cerita cerita wayang kulit. Untuk obat, saat akan diberikan ke suami biasanya saya juga bertanya apa nama obatnya, berapa banyak, kapan saja waktu pemberiannya, dan bila jenis antibiotik, saya cek dengan hasil pemeriksaan resistensi obat suami saya, jangan sampai obat yang sudah resisten dikonsumsi kembali.
Di samping itu, saya juga tetap berupaya menjaga diri sendiri harus tetap sehat. Karena yang ada di pikiran saya siapa nanti yang menjaga suami kalau saya sakit, apalagi karena saya sendiri juga masa pemulihan dari Covid-19, sehingga saya makan banyak. Pesan segala macam masakan dari restoran di RS, ada juga beberapa kiriman makanan saya makan juga.
Saya juga masih mengikuti dua kali acara melalui Zoom Meeting dengan pakaian PSH dan satu lagi PSU Bhayangkari, karena kebetulan acara tersebut memang bagian dari tugas dan tanggung jawab saya.
Saat masih di zone merah, di samping mendapat obat-obatan, kami mendapat minuman probiotik juga. Dan kami rutin konsumsi telur ayam kampung rebus setiap hari 1 butir. Sehingga saat sudah tidak di zone merah lagi, probiotik dan telur tetap kami teruskan, ditambah suplemen ikan gabus yang kami dapat dari teman. Tapi memang suami saya sulit untuk mau terus menerus mengonsumsinya. Ada masa berhenti baru mau lagi. Pokoknya dicoba bagaimana supaya mau makan. Buah juga kami konsumsi, bergantian apel, pisang, dan pepaya.