TASIKMALAYA, Tugujatim.id – Tim Jelajah Jawa-Bali, Mereka yang Memberi Arti melakukan eksplorasi di desa adat Kampung Naga, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (01/09/2022). Butuh waktu sekitar empat jam untuk tim jelajah mengeksplorasi dan berbincang dengan warga desa adat.
Salah satu yang ditemui adalah Maun, 88. Di desa adat Kampung Naga, Maun menjabat sebagai Punduh. Dalam struktur desa adat, Punduh adalah orang nomor dua setelah Kuncen atau juru kunci. Selain keduanya, ada juga lebek atau pengatur keagamaan. Sedangkan tugas Punduh adalah mengatur tata perilaku warga kampung adat.
”Misal ada orang yang melanggar aturan kampung adat dan negara, sudah diingatkan tapi tetap melanggar, maka bisa diusir. Tapi, sampai sekarang masih belum ada warga yang diusir,” kata Maun.
Untuk larangan yang tak boleh dilanggar di sana, di antaranya ngadu atau memfitnah. Selanjutnya ngamadat yakni memakai narkoba, minum minuman keras, hingga judi online atau offline.
”Terakhir ngewadon atau bermain perempuan,” imbuhnya.
Tiga tokoh di kampung adat yakni kuncen, punduh, dan lebek, sifatnya adalah garis keturunan. Dalam arti, tidak dipilih warga.
”Sebelum saya yang menjadi punduh ya kakak saya, sebelumnya lagi orang tua saya,” katanya.
Dia mengakui, menjadi punduh adalah tanggung jawab besar dan sebisa mungkin dia menjadi teladan yang baik.
”Meski ini tidak ada gajinya, tapi kepercayaanlah yang harus dijaga,” katanya.
Sementara itu, Cahyan, 52, salah seorang warga mengatakan, Kampung Naga juga ada struktur rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW)-nya.
”Tapi yang lebih punya pengaruh dan didengar warga adalah tokoh adat. Tapi, kami tetap patuh pada setiap aturan pemerintah,” imbuhnya.
Untuk diketahui, desa adat Kampung Naga ini berada di sebuah lembah. Untuk mendatanginya, dari parkiran mobil, Anda harus berjalan kaki sekitar 20-30 menit. Setelah itu, Anda menuruni sekitar 444 anak tangga.
Di tempat ini, tidak ada aliran listrik. Warga Kampung Naga tak memakai aliran listrik bukan karena menolak kemajuan. Tapi, takut ada korsleting listrik yang membuat rumah terbakar. Sebab, rumah di desa adat ini sangat berdempetan dan dibuat dari kayu serta anyaman bambu. Rumah di sini tidak ada yang memakai bahan semen sama sekali.
Dari sekitar 101 kepala keluarga (KK), hanya ada sekitar 5 keluarga yang mempunyai televisi. Itu pun televisi hitam putih yang dihidupkan dengan Accu. Sedangkan untuk handphone, mayoritas warga tidak punya.
”Misal kayak keluarga saya, ada empat orang, handphone satu rumah cukup satu. Dan banyak juga rumah yang sama sekali tidak punya handphone,” kata Cahyan.
Karena itu, warga Kampung Naga bisa dibilang hidup dengan alam. Tim jelajah terlihat menyaksikan anak-anak yang sangat asyik bermain dengan teman-temannya di alam terbuka.
”Mainnya kami ya seperti ini. Saya tidak pernah pakai handphone, tapi tetap enjoy,” kata Rapka, 8.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.