SURABAYA, Tugujatim.id – Penyakit demam berdarah dengue (DBD) kini telah mewabah di Indonesia. Kasus DBD itu dijelaskan oleh Doktor Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui media sosial (medsos) melalui metode WHAI.
Doktor atau Dosen Departemen Sistem Informasi ITS Wiwik Anggraeni menyampaikan persoalan ini lewat penelitiannya tentang pembuatan sistem untuk menghitung kasus DBD di Indonesia. Dia menjelaskan, kasus di beberapa wilayah di Indonesia tidak sesuai antara data di komputer dengan kondisi di lapangan. Sebab, masyarakat cenderung mencari informasi suatu gejala penyakit melalui internet.
“Dari jejak digital ini yang dapat kami manfaatkan untuk memprediksi jumlah kasus DBD pada suatu wilayah,” kata Wiwik melalui keterangannya pada Jumat (29/07/2022).
Melalui penelitiannya, Wiwik menciptakan sebuah sistem pemodelan gabungan dari sistem Dekomposisi dan Bidirectional Long Short Term Memory (BiLSTM) yang disebut dengan sistem model WHAI.
“Penelitian ini berjudul Representasi dari Media Sosial, Query Internet, dan Data Surveilans untuk Memprediksi Jumlah Kasus Demam Berdarah Dengue menggunakan Model WHAI,” ujarnya.
Dia mengatakan, penggabungan dua sistem tersebut dilakukan agar pemetaan dan prediksi jumlah kasus DBD lebih akurat dan aktual.
Selain itu, Wiwik menjelaskan, sistem model WHAI bekerja dengan mengombinasikan beberapa variabel tertentu seperti jumlah aktivitas medsos yang terkait penyakit DBD, jumlah kasus yang terdeteksi, jumlah curah hujan, kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, dan temperatur cuaca.
“Data akhir yang diolah dari variabel tersebut akan dibandingkan dengan data kasus jumlah DBD yang terlapor,” jelasnya.
Menurut dia, ditemukan jika Kabupaten Malang dan Kota Surabaya berpotensi rawan DBD.
“Didapatkan daerah Kabupaten Malang dan Kota Surabaya menjadi daerah yang rawan DBD,” imbuhnya.
Penelitiannya tersebut dilakukan juga berlokasi di Kabupaten Malang dan Kota Surabaya. Wiwik memilih Kabupaten Malang sebagai tempat penelitian karena wilayah tersebut cukup luas dan ditambah kondisi geografis yang beragam sehingga mampu memberikan hasil data yang lebih variatif.
“Sementara Surabaya dipilih sebagai salah satu tempat penelitian di kota besar,” jelasnya.
Wiwiek mengungkapkan, ide nama sistem model WHAI diambil dari akronim nama Wiwik Anggraeni dan tiga peneliti lain sekaligus promotor dalam sidang doktor ini, yaitu ProfMauridhi Hery Purnomo, Dr Eko Mulyanto Yuniarti, dan Reza Fuad Rachmadi.
“Sebenarnya penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yang sama berkaitan dengan DBD,” ujar perempuan asal Madiun ini.
Dalam penerapannya, sistem model WHAI sudah mulai diterapkan di Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Wiwik berharap, sistem model WHAI tersebut dapat digunakan tidak hanya untuk DBD, tapi untuk antisipasi wabah lainnya.
“Saya berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk membantu kesehatan pada masyarakat,” ujarnya.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim