SURABAYA, Tugujatim.id – Lembaga Kajian Kemandirian Pangan (LKKP) Surabaya menyebut kebijakan pelarangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) itu merupakan langkah ekstrem oleh Presiden Jokowi. Seharusnya kebijakan itu disampaikan oleh Kementerian Perdagangan.
“Presiden semacam dipaksa oleh keadaan mengeluarkan larangan ekspor minyak goreng,” ujar Direktur LKKP Heri Purwanto saat ditemui Tugu Jatim pada Sabtu (30/04/2022).
Heri menjelaskan, sebenarnya kebijakan domestic market obligation (DMO) kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri itu kebijakan Kementerian Perdagangan. Namun, menterinya mengakui tidak dapat mengendalikan gejolak pasok dan harga selama enam bulan ini, saat hearing bersama DPR RI.
“Kalau Presiden Jokowi sudah mengambil langkah ekstrem menyetop ekspor. Padahal, itu kinerjanya menteri. Kalau menteri tidak berguna atau tak meringankan kerja presiden, ya ganti saja,” tegasnya.
Apalagi, pejabat eselon satunya justru terlibat dalam skandal ekspor CPO/minyak goreng ilegal. Jadi, harus ditebus dengan penggantian karena yang bersangkutan tidak mempunyai inisiatif untuk mengundurkan diri.
“Langkah cepat Presiden Jokowi ditunggu supaya tidak menimbulkan berbagai spekulasi, pembantu presiden yang merepotkan presidennya tidak pantas dipertahankan,” imbuhnya.
Pelarangan ekspor CPO minyak goreng ini, Heri menyampaikan, bermula karena langka atau hilangnya minyak goreng dari pasaran. Jadi, pemerintah menetapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET).
“Stop ekspor CPO itu asal muasalnya kan karena hilangnya minyak goreng dari pasaran.
Hilangnya barang dari pasaran ini kan sesungguhnya karena pengusaha tidak ingin jual murah,” kata Heri.
Menurut dia, olahan CPO sebagai bahan baku minyak goreng yang dijual ke luar negeri itu menjadi keuntungan bagi pengusaha.
“Sehingga, buat apa CPO diolah jika hanya untuk menambah ongkos, yang harganya lebih murah,” ujarnya.
Sehingga kebijakan yang tidak efektif membuat pemerintah kembali mencabut HET yang mengakibatkan harga melonjak tinggi dan minyak goreng tiba-tiba muncul kembali. Kenaikan harga minyak goreng ini, kata dia, sangat jelas dipengaruhi oleh kenakan harga CPO di pasar dunia. Tercatat Desember 2020 masih pada USD 870/MT (metrik ton), pada Januari 2021 tembus USD 951/MT.
“Sebenarnya Kemendag, untuk menjamin pemenuhan kebutuhan minyak goreng pasar domestik harus wajib DMO para produsen CPO, DMO dipatok sebesar 20 persen dari produksi total CPO,” tuturnya.
Merujuk data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) tahun 2021, produksi total CPO sebesar 46,3 juta ton dengan besaran DMO 9,26 juta ton, sementara konsumsi CPO untuk bahan pangan setara 8,95 juta ton.
“Jelas sekali ada kelebihan di sini, dan surplusnya boleh untuk penggunaan lain. Di antaranya, untuk ekspor,” jelasnya.
Dibandingkan 2022, Heri memprediksi produksi CPO bisa tembus hingga 49 juta ton dengan DMO sebesar 9,8 juta ton.
” Tentunya akan dapat menutupi kebutuhan CPO untuk pangan merujuk pada data GAPKI tahun 2021,” tuturnya.
Dia menambahkan, dengan melihat data GAPKI tersebut, basis argumentasinya tidak ada sehingga wajib ditolak kebutuhan CPO untuk bio disel dikecualikan dari analisis.
“Karena meski dibeli untuk kebutuhan domestik, mengacu kepada harga internasional sebagaimana dikemukakan oleh dirut Pertamina,” terangnya.
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugujatim , Facebook Tugu Jatim ,
Youtube Tugu Jatim ID , dan Twitter @tugujatim