JAKARTA, Tugujatim.id – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana untuk menghapus Ujian Nasional (UN) yang lebih terkait tes evaluasi hasil akhir individu siswa, dengan sistem Asesmen Nasional yang mengukur sistem pendidikan secara menyeluruh. Lantas, banyak pihak kerap beranggapan dihapusnya UN membuat murid tidak termotivasi untuk belajar. Lalu, apa benar?
Kepala Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Anindito Aditomo menilai bahwa motivasi belajar yang tepat sebenarnya lebih kepada pengembangan diri, bukan hanya sekadar nilai Ujian Nasional (UN).
Meski demikian, ia tidak serta menyalahkan jika motivasi belajar karena ujian adalah hal yang salah. Hanya saja, jika motivasi belajar siswa didorong karena mengejar nilai yang sesaat, maka ia tidak akan siap untuk menghadapi dunia yang mendorong terus untuk belajar.
“Itu memang motivasi yang valid (motivasi belajar karena UN, red). Tetapi jika didorong karena itu, maka siswa tidak akan siap untuk belajar sepanjang hayat. Bahwa harus belajar karena untuk mengembangkan diri,” terang Anindito di diskusi publik secara virtual yang diadakan PSPK, Kamis (11/2/2021) sore.
Menurutnya, memang dorongan motivasi tersebut bisa dibagi menjadi dua, yakni motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Di mana dorongan karena mengejar nilai bagus saat ujian nasional masuk dalam kategori ekstrinsik.
“Ketika siswa belajar semata-mata hanya untuk mendapatkan sekolah tinggi, atau yang lebih parah lagi untuk menghindari skor rendah di Ujian Nasional, itu siswa belajar karena motivasi yang ekstrinsik. Sekali lagi, ini alasan yang valid, tetapi tentu ada banyak hal di luar yang harus kita capai,” bebernya.
Ia berharap, dengan adanya Asesmen Nasional yang menghapus UN tersebut sistem pendidikan di Indonesia bakal bisa lebih berpihak kepada anak. Yakni berpihak untuk tumbuh kembang dari para siswa agar mereka terus maju berdasarkan keunikan individu masing-masing.
“Jika siswa tidak dilatih untuk senang untuk mengembangkan dirinya, untuk senang belajar, atau motivasi instrinsik untuk menikmati proses belajar, maka dia sebenarnya handicap (merintangi diri sendiri, red) menghadapi masa depan yang tidak pasti,” terangnya.
Oleh karena itu, dengan adanya program Asesmen Nasional dari pemerintah, ia berharap jika guru bisa lebih berinovasi agar guru bisa mendorong semangat siswa untuk belajar secara mandiri dari faktor instrinsik mereka masing-masing.
“Memang tidak ada jalan pintas. Siswa harus tetap lulus ujian sekolah, dan itu dikembalikan ke bapak ibu guru (menumbuhkan motivasi belajar siswa, red). Artinya, bebannya ada di bapak dan ibu guru,” terangnya kepada 200-an peserta diskusi publik yang banyak dihadiri oleh guru dan kepala sekolah dari seluruh Indonesia tersebut. (Gigih Mazda/gg)