Kasus Penimbunan Solar di Pasuruan
PASURUAN, Tugujatim.id – Jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Kota Pasuruan menghadirkan analis hukum ahli muda di Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Arief Rahman Hakim sebagai saksi ahli dalam kasus penimbunan solar di Pasuruan, Jawa Timur. Sidang itu dilakukan di Pengadilan Negeri (PN) Pasuruan, pada Kamis (2/11/2023).
Melalui sambungan video call, Arief menjelaskan bahwa pihaknya telah mengecek izin PT Mitra Central Niaga (MCN) melalui sistem informasi milik BPH Migas.
Dia menyebut bahwa PT MCN hanya tercatat memilik izin sebagai perusahaan transportir atau pengangkutan saja. Dia juga memastikan bahwa PT MCN tidak mengantongi izin niaga.
“Kalau ketentuan UU Migas, kalau diperjualbelikan izinya niaga. Tapi kalau izin pengangkutan, hanya boleh menyalurkan BBM dari depo-depo ke penyalur seperti SPBU,” jelas Arief.
Arief menjelaskan bahwa saat polisi mengungkap kasus ini, harga solar subsidi masih mengacu pada Kepmen ESDM Nomor 218 Tahun 2022. Di mana solar subdisi dijual secara resmi dengan harga yakni Rp6.800 per liter.
Namun, dari hasil BAP penyelidikan Bareskrim Polri, didapati bahwa PT MCN menjual kembali solar subsidi dengan harga yang dijual lebih mahal, yakni minimal Rp9000 per liternya. Menurut Arief, hal ini sudah mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap UU Migas. “Ini sudah masuk pelanggaran ketentuan pasal 55 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas,” ujar Arief.
Pelanggaran ini bukan hanya terkait penjualan kembali solar, namun juga berkaitan dengan cara PT MCN dalam mengumpulkan hingga menyimpan solar. Di mana para terdakwa melakukan kecurangan dalam pembelian solar bersubsidi secara berulang-ulang. Kecurangan dilakukan lewat modus pemakaian barcode dan plat nomor yang berganti-ganti. Solar tersebut juga ditimbun di instalasi tangki-tangki di dua gudang di Kota Pasuruan.
Arief menjelaskan bahwa BBM bersubdisi harusnya hanya boleh dikonsumsi para pelaku usaha mikro, perikanan, pertanian, hingga pelayanan umum, bukan industri. “BBM subsidi pemerintah ini tujuannya untuk stimulus perekonomian. Kalau konsumsi swasta harusnya non subsidi,” jelasnya.
Menanggapi keterangan saksi ahli, penasehat hukum terdakwa, Rahmat Sahlan Sugiarto menyebut bahwa PT MCN sudah punya Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang sudah didaftarkan secara Online Single Submission (OSS) di website OSS.go.id.
Dalam izin tersebut tertulis bahwa PT MCN punya SIUP OSS dengan klasifikasi baku lapangan usaha (KBLI) perdagangan besar bahan bakar padat, cair, dan gas. Rahmat mengatakan bahwa SIUP OSS itu sudah tertera izin atas nama menteri, kepala lembaga, gubernur sampai bupati, wali kota.
“Kalau pendapat saya, ahli menerangkan sesuai yang dia ketahui. Mungkin dia ahli di hukum migas, tapi mungkin kurang tahu soal perizinan, karena memang kerjanya di migas, bukan di BKPM,” ujar Rahmat.
Dia juga mempertanyakan terkait pengakuan saksi ahli yang menyebut bahwa penyidik Bareskrim Polri hanya menunjukkan satu gudang saja kepadanya, yakni gudang yang berada di Kelurahan Gentong, Kecamatan Gadingrejo. Di mana gudang tersebut statusnya disewa oleh terdakwa Abdul Wachid atas nama pribadi.
Sementara menurutnya, gudang di Kelurahan Mandaran, Kecamatan Panggungrejo yang dia sebut secara resmi dimiliki PT MCN justru tidak ditunjukkan. “Padahal gudang Mandaran itu ada izinnya resmi. Pertanyaan saya ini sebenarnya penyidik mau batasan kasusnya di mana, apakah di Haji Wahidnya saja, apa beserta PT MCN, apa juga ke pihak-pihak lain?” pungkasnya.
Sebelumnya, dalam kasus penimbunan solar di Pasuruan ini, JPU menetapkan tiga orang terdakwa, yakni Abdul Wachid selaku pemilik modal dari PT MCN, kemudian Bahtiar Febrian Pratama selaku pengelola keuangan, dan Sutrisno selaku koordinator sopir.
Ketiganya didakwakan Pasal 55 UU RI No 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan pasal 40 ayat 9 UU RI No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Reporter: Laoh Mahfud
Editor: Lizya Kristanti