Oleh YUSRI FAJAR
Di musim hujan, narasi bencana alam membanjiri media sosial. Orang-orang menciptakan alur cerita mereka masing-masing. Kita bisa menyaksikan berbagai penggalan cerita dengan alur berbeda-beda setiap menit, bahkan setiap detik. Di tengah kepungan banjir, ada yang berkisah dulu air tak pernah sampai masuk rumah mereka, tapi sekarang gerak banjir telah merengsek hingga lantai dalam rumah tempat ribuan jejak hidup mereka terpahat. Kisah lainnya bertutur tentang bayi mungil yang tengah dievakuasi dari lokasi rumahnya yang diterjang banjir. Malang nian nasib si bayi yang seharusnya bisa tertidur nyenyak di sisi orang tuanya, namun dia harus meninggalkan rumahnya. Sementara dalam cerita tragis lainnya, beberapa orang meninggal dunia karena terjebak banjir. Mereka tak bisa menyelamatkan diri. Ironis, di belahan bumi yang lain ada orang yang mati karena lingkungan mereka kekurangan air, sementara di sini orang-orang kehilangan nyawa karena air yang meluap-luap.
Peristiwa bencana alam kemudian diiringi komentar para pejabat yang meninjau lokasi. Ada pejabat yang menduga banjir disebabkan oleh ulah manusia sendiri, seperti kebiasaan membuang sampah sembarangan. Ucapan pejabat ini menuai bantahan dan ucapan saling menyalahkan dari pejabat lain dan warga masyarakat. Bisa dimaklumi, pejabat di tengah bencana alam masih ada yang berpikir memoles citra. Sementara sebagian warga tetap sibuk membela junjungannya masing-masing, sampai lupa berempati pada para korban banjir dan menolong mereka. Kadang pejabat itu lupa bahwa semakin banyak lahan-lahan hijau yang dialihfungsikan menjadi bangunan bisnis dan industri, maka semakin tinggi potensi sebuah wilayah kehilangan resapan air dan ekosistem yang baik. Banjir bisa dipicu oleh kebijakan para pejabat yang tak peduli untuk menjaga eksistensi lahan-lahan hijau karena justru lebih memberi kesempatan para pemilik modal untuk mengeksploitasinya. Ketika musim hujan tiba, bencana datang, sang pejabat baru sadar,”Oh, banjir sudah datang lagi ya. Mari kita ke lokasi.”
Dari tahun ke tahun, bencana alam yang datang berulang tidak hanya menjadi berita dominan di media sosial, namun juga menginspirasi kelahiran karya-karya sastra yang dimuat dalam koran. Bagaimanapun, tuntutan agar koran menyuguhkan tulisan yang aktual, yang tidak basi, yang berkaitan dengan kondisi lingkungan terkini membuat redaktur memilih cerpen-cerpen yang kontekstual dengan peristiwa penting yang menandai suatu musim. Tuntutan ini seakan gayung bersambut dengan para sastrawan yang berulang-ulang mengekspos bencana melalui karya-karya mereka. Tampaknya bencana alam yang datang itu juga mengusik alam kreatif yang ada dalam kepala sastrawan,”Oh, bencana banjir tahun ini datang lagi, mari menulis karya sastra tentang banjir lagi.” Sebelum bencana banjir melanda Jakarta dan daerah lainnya di tahun 2020, khazanah sastra Indonesia telah dihiasi berbagai cerpen tentang banjir. Cerpenis Zainul Muttaqin misalnya, yang saya tahu sepanjang tahun 2018-2019, mempublikasikan dua cerpen bertema banjir yaitu “Banjir Kiriman” (Kompas, 04 Februai 2018) dan “Banjir yang Dikirim ke Campoan”. Jauh hari sebelumnya, cerpenis Abah Marjani menulis cerpen “Banjir di Cibaresah” (Kompas, 28 Oktober 2012). Sementara, cerpen bertajuk “Jika Banjir Jadi Datang ke Jakarta” (Suara Merdeka, 10 Maret 2013) ditulis oleh Alex R. Naigolan. Semua cerpen ini memiliki muatan kritik pada pembangunan yang membuat ekosistem rusak sehingga banjir melanda.
Cerpen-cerpen itu telah mengingatkan kita pada bencana banjir dari waktu-waktu, namun pada waktu-waktu berikutnya setelah cerpen-cerpen tersebut dipublikasikan, banjir terus menerjang tanpa ada antisipasi yang signifikan. Di waktu yang akan datang, mungkin akan ada sastrawan yang akan menulis bencana alam seperti banjir lagi, mengirimnya ke media massa dan jika dimuat, sang sastrawan akan menikmati honor pemuatan. Mungkin tak ada pejabat yang peduli dengan cerpen-cerpen bertema lingkungan itu. Siklus tematik karya sastra ini berputar, berulang, sebagaimana gerak bencana yang tak berhenti, bahkan makin sering terjadi dan makin parah. Mengeksplotasi tema bencana bisa menunjukkan kepedulian dan kritik, namun bisa saja menjadi strategi sastrawan dalam mengkomodifikasi tema aktual yang tengah menjadi pembicaraan demi mimpi publikasi.
Semua cerpenis yang saya sebut di atas, menunjukkan kritik dan kepeduliannya pada bencana dengan cara menarasikan penyebab banjir. Alex R Naigolan misalnya menulis dalam cerpennya tersebut,”Kau mengingat beton-beton tajam terus melubangi tanahnya. Gedung-gedung tumbuh lebih tinggi dari pohon-pohon yang kekar di hutan.” Sebuah satir yang dengan gamblang menunjukkan bagaimana kota (Jakarta) terus membangun dan membangun, hingga kalau bisa jangan sampai ada lahan yang terbebas dari beton bangunan. Sayang jika tidak dimanfaakan untuk mengeruk keuntungan. Abah Marjani juga membangun narasi yang kurang lebih sama, bahwa biang keladi banjir adalah sepak terjang manusia sendiri yang superior atas alam. Abah menuliskan ucapan tokoh bernama Maksum dalam cerpennya,”Mungkin karena makin banyak vila berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai makin menyempit….orang-orang makin tak peduli pada ruang untuk air.” Yang menarik dari cerpen Abah Marjani adalah selain mendeskripsikan banjir, cerpen tersebut juga menggambarkan berbagai binatang liar dan berbahaya yang bermunculan mengancam dan membuat penduduk makin susah. Binatang-binatang ini bisa dibaca sebagai metafora orang-orang yang memanfaatkan bencana alam untuk mendapatkan keuntungan. Cerpen-cerpen bermuatan kritik pada kondisi lingkungan ini, paling tidak, jika tidak dibaca dan tidak didengar oleh para pengambil kebijakan dan para kapitalis itu, telah memberikan kesaksian dan mengingatkan berulang-ulang.
Sementara itu, untuk membuktikan derap pembangunan yang menjadi penyebab bencana, cerpenis Zainul Muttaqin mengonstruksi narasi bandingan yang kontradiktif antara lingkungan sebelum pembangunan merajalela dan kondisi setelahnya. Dalam cerpen “Banjir yang Dikirim ke Campoan” Zainul menggambarkan latar terdahulu yang hijau, penuh pepohonan, dan sawah ladang membentang. Ketika banjir menerjang, dugaan penyebabnya seperti yang ditulis oleh Zainul adalah “Mungkin karena banyak hotel dan villa berdiri, jadi makin sedikit resapan air. Bukannya warga disini banyak yang menjual tanahnya. Terlebih bandara juga sudah selesai dikerjakan.” Fenomena yang digambarkan Zainul ini menunjukkan para warga yang tergoda untuk untuk menjual tanahnya untuk pembangunan. Yang tidak diungkapkan Zainul dalam cerpen ini adalah fenomena alih fungsi lahan yang seringkali disertai ancaman dan tindak kekerasan pada mereka yang tak mau menjual lahan. Dalam cerpen “Banjir Kiriman”, Zainul menuliskan sebab banjir yang kurang lebih sama yaitu hilangnya daerah resapan air karena pembangunan gedung-gedung. Yang berbeda dari cerpen “Banjir Kiriman” ini jika dibandingkan dengan tiga cerpen yang lain, “Banjir yang Dikirim dari Campoan”, “Banjir di Cibaresah” dan “Jika Banjir Datang di Jakarta”, adalah pada sentuhan relijiusitasnya, bahwa bencana banjir dianggap cobaan atau juga azab. Namun ironisnya, azab atau cobaan itu seakan hanya bagi para penduduk kelas bawah, korban kebijakan pembangunan.
Di balik fenomena bencana alam yang diduga disebabkan oleh lapuknya kesadaran lingkungan para penghuni suatu daerah itu, sesungguhnya ada kekuatan imperialis yang terus bergerak merusak, mencari lahan-lahan tersisa dan berbagai area yang penuh sumber daya alam. Mereka terus berupaya membangun ‘koloni-koloni’ baru sebagai tempat untuk menancapkan beton, tiang-tiang, mata bor dan menyiapkan mesin-mesin penebang tumbuhan-tumbuhan serta pengeruk sisa-sisa akar untuk kemudian menuju kedalaman mencari minyak, emas atau sumber daya lainnya, tanpa peduli di sekitarnya orang-orang miskin terancam terisolasi, terlunta, kelaparan, sakit, bahkan mati. Tak jarang para imperialis lingkungan itu meneror, mengancam bahkan menghilangkan nyawa mereka yang dianggap menghalangi nafsu materialistiknya. Kita tunggu apakah cerpen-cerpen bertema bencana yang akan muncul di hari depan akan juga menyuarakan perlawanan sengit pada para imperialis lingkungan.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya;
Novelnya “Tamu Kota Seoul” (2019)