Oleh: Nurillah Achmad
Ikan-ikan berkeriapan di dalam akuarium ketika ibumu mengetuk pintu. Kau yang berias ditemani Arini, sahabatmu, tertegun manakala ibumu menyunggingkan senyum sembari membawa senampan tajin berwarna putih dan cokelat, kembang dan damar yang diwadahi buah kecubung. Astaga! Kau mendadak gusar. Raut wajahmu tampak tak nyaman. Ibumu yang mendapati perubahan mimik mukamu berusaha tenang.
“Meski sebentar lagi pestamu akan berlangsung, Ibu mau kau diberkahi leluhur.”
Kau bersikukuh di depan ibumu. Memintanya tak menaruh setalam neptu itu. Kalaupun hendak ditaruh, letakkan saja di kamar. Tak perlu disandingkan di sebelah kue tart.
“Lihatlah, Nak. Kau hidup bahagia selama tujuh belas tahun, itu semua berkah dari nenek moyang.”
“Sekarang sudah beda, Bu.”
“Beda karena kau bukan lagi anak kecil?”
“Ibu bisa melakukannya esok malam. Jangan malam ini!”
Esok malam? Jelas beda, Laksmi. Ini malam Kamis pon. Di mana perutmu ibumu membuncah, hendak melahirkan dirimu yang berulang kali memaksa keluar. Ini hari istimewa. Bukan karena neptu lahirmu saja, tetapi bertepatan pula dengan tanggal kelahiranmu sesuai kalender sekolah.
Dari kau berkulit merah sampai memasuki pintu awal masa dewasa ini, tiap bulan ibumu membuat tajin dua warna. Putih dan cokelat karena ketannya dicampur gula merah, kembang dan damar yang diwadahi buah kecubung. Bahkan ibumu sengaja menanam pohonnya di dalam pot. Setampan lagi berisi tujuh macam camilan yang tak boleh kau sentuh. Camilan-camilan murah yang digemari anak-anak di kampung ketika kau mengunjungi nenekmu di Panduman.
“Sejak zaman dulu sampai generasi Ibu, ulang tahun itu, ya, setiap bulan. Setiap netpu kelahiran,” kata ibumu tiap kali menyulut kapas di buah kecubung.
“Bersyukurlah, Laksmi. Nenek moyang benar-benar memberkahi dirimu. Dari lahir kau tak pernah kekurangan. Apa-apa yang kau inginkan, mudah saja kau dapatkan. Tak seperti ibumu ini. Sewaktu kecil, makan sekali menahan lapar sampai esok pagi.”
Kau tak pernah peduli. Lebih tepatnya, tak mau mendebatkan hal-hal sepele semacam ini. Karena kalau kau menolak, ibumu pasti ceramah panjang lebar, dan kau malas menanggapi. Aku rasa, menjadi ibu itu memang harus cerewet. Kecuali anaknya penurut.
Tetapi untuk malam ini, kau tak mau ibumu melakukan ritual bulanan. Untuk meminta pesta ulang tahun semacam ini saja, kau perlu merengek berhari-hari. Sebab dari dulu, ibumu tak pernah mau. Tentu kau tak mau menghancurkan dengan setalam syarat neptu itu, bukan? Apalagi ditaruh di samping kue tart dan nyala lilin yang megah itu. Betapa malunya dirimu bahkan bukan tidak mungkin, kau akan menjadi gunjingan kawan-kawanmu di media sosial.
***
Rukmini, tak perlu kau bersedih begini. Telah kau capai cinta seorang ibu yang terburai tiap waktu. Bayangkan saja apa-apa yang membuatmu bahagia. Redupkan dadamu dari sepah kecewa.
“Tidakkah Laksmi tahu, kalau tajin, damar dan kembang ini tak hanya wujud cinta seorang ibu? Ini adalah berkah yang dilakukan turun-temurun. Aku mau anakku yang lahir dari rahimku sendiri juga diberkahi leluhur. Tetapi mengapa ia menyebutku tak paham perkembangan zaman?”
Jangan matikan dirimu dengan air mata, Rukmini. Simpuhkan saja keningmu. Tekukkan saja tulang punggungmu. Sebagai ibu, aku tahu bisamu hanya berenang di aliran kedua anak sungai.
“Ke manakah akhir sujudku ini, kalau kasih seorang ibu tak mau dipanjangkan? Bukan aku berharap balas jasa seorang anak. Sebab tak ada air mengalir ke hulu. Tak ada ibu yang mau menumpang hidup pada anak-cucu. Inginku hanya satu. Laskmi tak lupa darah siapa yang mengeras jadi tulang dalam tubuhnya.”
Bersabarlah, Rukmini. Lembar doamu tak akan terkatup. Ada Tuhan di setiap hati yang renggang. Moga-moga Laksmi paham. Kalau adat-istiadat tetap dianjungkan, rendah hati adalah buah yang pasti.
***
Kau masih bersikukuh. Bahkan meminta ibumu tak usah menampakkan muka saja kalau ingin menaruh setampan tradisi itu. Ibumu mengalah. Ia tak mau, pesta ulang tahun yang kau idamkan sejak dulu, dicemari kegigihannya mempertahankan kebiasaan nenek moyang. Ia membiarkanmu larut dalam kesenangan.
Kawan-kawanmu berkumpul di ruang tengah. Balon, terompet belum lagi kue tart yang tingginya hampir menyerupai Galih, adik sepupumu, berdiri megah. Adegan meniup lilin kini di ujung waktu. Betapa engkau piawai bersandiwara. Potongan kue paling atas, kau berikan pada ibumu yang konon katanya orang yang paling kau kasihi. Ibumu menangis. Kau memeluknya. Lalu tak lama kemudian kau bernyanyi-nyanyi ria. Pesta dimulai. Gegap gempita terdengar. Denting gelas dan piring berhamburan.
Tapi ada yang luput dari keramaian.
***
Kuakui, aku bukan orang yang paham kemajuan zaman. Android, gedung-gedung besar dan segala tetek bengeknya itu tak sepenuhnya membuatku nyaman. Bukan aku membencinya, sebab aku tak punya kuasa apa-apa atas hidup ini kecuali atas dosaku sendiri. Tetapi bahasa kasih sayang yang Laksmi sampaikan, tak benar-benar sampai. Sebagai ibu yang memeliharanya sembilan bulan di dalam rahim, menyusuinya tak lebih dari dua puluh empat bulan, aku tahu itu kalimat jemu.
Ah, padahal aku merasa dia baru lahir kemarin. Aku merasa, ia baru saja merayakan banyak malam Kamis pon dengan tajin, damar dan kembang. Bukankah, sewaktu di kampung dulu, Simbah –ibuku– tak pernah lupa merayakannya tiap bulan? Lepas azan magrib, Simbah mengambil buah kecubung, dibuanglah biji-bijinya, diisi dengan minyak jelantah, lantas diberi kapas. Lalu Laksmi mengendap-ngendap. Mengambil camilan di talam sebelah. Dan itu berhasil membuat Simbah mengomel keras-keras.
“Jangan kau ambil, Laksmi! Ini makanan bukan untukmu. Nanti setan bakal betah di kepalamu,” begitu kata Simbah berulang-ulang. Begitupula Laksmi yang kembali mengulangi keusilan ini tiap bulan.
“Sepertinya setan-setan makin kerasan di kepalamu. Aku harus banyak berdoa. Agar kau tak dikencingi setan yang justru membuatmu kian bebal.”
Aku tersenyum. Sebab Simbah bakal cepat-cepat masuk kamar. Merapal doa begitu panjangnya. Semata-mata agar anakku selamat dunia akhirat. Semata-mata agar leluhur tak pernah luput mengawasinya.
Tetapi kini, di tengah keramaian ini, aku merasa sunyi. Diam-diam aku menyelinap. Maafkan aku, Laksmi. Bukan aku tak sanggup bersandiwara seolah-olah aku baik-baik saja. Namun, mengeram perasaan adalah kewajiban seorang ibu. Dan aku memutuskan berdoa di dalam kamar ini, sebagaimana Simbah berdoa dulu.
Tak usah ucapkan apa-apa lagi, Rukmini. Diam dan temaram bulan sebentar lagi berduka. Bekali-lah Laksmi dengan bening kasih sayang agar ia mampu menemukan kehidupan ketimbang hidup tanpa pemahaman. Mari, Rukmini. Telah tiba waktunya kau berdekap malam. Telah tiba waktunya kutunjukkan padamu jalan pulang.
***
Seorang perempuan belia meraung-raung tak karuan. Pesta ulang tahun yang harusnya berlangsung meriah nan menyenangkan nyata-nyata gempar. Perempuan tua yang tak lain si ibu gadis belia itu ditemukan meninggal di dalam kamar. Menelungkup di samping tajin, damar dan kembang.
Pestamu telah usai, Laksmi. Ucapan duka tak kunjung henti terucap. Aku tahu sudut hatimu yang paling rentan belum bisa menerima. Sebab sebelumnya kau campakkan ibumu yang mulai renta.
“Aku tidak mencampakkannya!”
Tapi kau membuatnya mengelus dada. Tak sekali. Ribuan kali ia menetaskan air mata.
“Aku hanya memintanya tak menaruh setalam ritual di samping kue tart. Itu benar-benar ketinggalan zaman.”
Ketinggalan zaman? Kau katakan perempuan itu tak paham kemajuan? Kalau dia benar-benar tak tahu zaman, tak mungkin dia membiarkanmu larut dalam pesta meriah. Ini bukan soal uang, bukan soal perkembangan. Ini murni doa ibu yang ingin membekalimu sebagaimana nenek moyang berbuat begitu.
Ah, sudahlah, Laksmi. Kini kau sendiri. Belajar-lah memahami kalau kesementaraan adalah hal pasti. Sebagai ayah yang mati terlebih dulu, aku mau kau ingat jalan pulang bukan terhanyut dalam gemerlap kehidupan.
Dan engkau, Rukmini, tenanglah, tak usah sedih begini. Telah tiba waktunya kita pergi. Mari doakan Laksmi dari sini. Semoga ia mengerti, kalau turun ke bumi tak ubahnya menumpang mandi. (*)
Nurillah Achmad. Menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Jember. Emerging writers dalam Ubud Writers & Readers Festival 2019. Saat ini bertempat tinggal di Jember, Jawa Timur.